Mengurai Diskursus: Meninjau Isu Kesalahan Aqidah dalam Konteks NU

Kebenaran Aqidah

Ilustrasi Konseptual Tinjauan Aqidah

Pengantar Diskursus

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia yang secara historis berpegang teguh pada ajaran Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) dengan corak pemikiran yang moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), dan berimbang (i'tidal). Meskipun demikian, dalam dinamika sosial dan keagamaan yang kompleks, isu mengenai potensi terjadinya kesalahan aqidah NU seringkali muncul dalam wacana publik. Penting untuk dipahami bahwa ketika isu ini diangkat, ia seringkali merujuk pada perbedaan interpretasi doktrinal, terutama dalam ranah praktik keagamaan yang dianggap melenceng dari kaidah baku oleh kelompok lain yang lebih puritan.

Perdebatan ini biasanya berputar pada isu-isu teologis spesifik, seperti pandangan terhadap tradisi (tradisionalisme), praktik ziarah kubur, penggunaan tawasul, hingga interpretasi terhadap sifat-sifat Allah (sifat 20). Mayoritas ulama dan pengurus NU sendiri sangat tegas mempertahankan kemurnian aqidah mereka sesuai pandangan empat mazhab fiqh dan literatur teologi klasik yang mereka anut. Namun, kritik eksternal sering menyoroti amaliyah sebagian kalangan awam yang mungkin secara tidak sadar telah memasukkan unsur-unsur yang dianggap bid'ah atau bahkan syirik oleh kelompok yang memiliki pemahaman aqidah yang lebih ketat (seringkali merujuk pada salafisme/wahabisme).

Titik Sentral Perdebatan

Salah satu area paling sering disalahpahami adalah konsep kesalahan aqidah NU yang dikaitkan dengan tawasul dan ziarah. Bagi NU, praktik ini adalah bentuk penghormatan dan cara memohon syafaat melalui perantara orang-orang saleh yang telah meninggal. Dalam kerangka teologi Asy'ariyah dan Maturidiyah yang menjadi rujukan utama NU, tawasul dibolehkan selama niatnya tidak meyakini bahwa yang disembah adalah wali atau nabi tersebut, melainkan Allah melalui wasilah mereka. Kritikus dari luar sering menuduh ini sebagai bentuk syirik kecil (syirkul asghar) karena dianggap menyamakan makhluk dengan pencipta.

Selanjutnya, konsep "kesalahan" ini juga muncul dalam perbedaan metodologi ijtihad. NU cenderung sangat menghargai warisan keilmuan ulama terdahulu (taqlid yang terarah), sementara kelompok lain menekankan kembali pada pemahaman tekstual (literal) terhadap Al-Qur'an dan Sunnah tanpa mediasi pemikiran ulama klasik. Ketika suatu amalan yang dilakukan oleh warga NU tidak ditemukan secara eksplisit dalam dalil primer, ia sering dicap sebagai kesalahan aqidah oleh mereka yang mengutamakan pemahaman tekstual murni. Padahal, bagi NU, amalan tersebut sudah teruji secara historis dan memiliki landasan ijtihad yang kuat dari para mujtahid terdahulu.

Pembelaan dan Klarifikasi Struktural

Penting untuk membedakan antara ajaran resmi yang dipegang oleh struktur organisasi NU, dan praktik kultural di tingkat akar rumput. Secara doktrinal, NU selalu menegaskan bahwa aqidahnya adalah Tauhid yang lurus sesuai tuntunan kitab-kitab akidah standar seperti Syarah Jauharah al-Tauhid atau Sanusiyyah. Setiap kali muncul dugaan kesalahan aqidah NU yang dibawa oleh oknum atau pemahaman yang menyimpang, struktur NU (baik PBNU maupun badan otonom seperti LBM) biasanya sigap memberikan klarifikasi dan penegasan kembali terhadap prinsip ASWAJA.

Tantangan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana menjaga konsistensi pemahaman teologis di tengah arus globalisasi informasi dan munculnya berbagai aliran pemikiran baru. Isu ini sering dimanfaatkan sebagai alat polarisasi. Oleh karena itu, upaya peneguhan kembali aqidah melalui bahtsul masail rutin, pengajian, dan penerbitan literatur keagamaan menjadi vital agar pemahaman yang moderat dan berlandaskan tradisi tetap menjadi benteng utama. Memahami NU berarti memahami bahwa mereka beroperasi dalam spektrum yang luas, namun fondasi aqidahnya tetap berada dalam koridor teologi Sunni tradisional yang diakui secara luas.

🏠 Homepage