Aqiqah adalah salah satu sunnah muakkad dalam Islam yang sangat dianjurkan bagi orang tua yang dikaruniai seorang anak. Praktik ini melibatkan penyembelihan hewan ternak sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas rahmat kelahiran seorang buah hati. Namun, sebelum membahas tata cara dan hukumnya secara syariat, penting untuk memahami terlebih dahulu akar katanya. Lantas, menurut bahasa aqiqah berarti apa?
Secara etimologi atau menurut bahasa aqiqah berarti "memotong" atau "rambut bayi". Kata ini berasal dari bahasa Arab, yaitu 'Aqqa (عَقَّ), yang memiliki beberapa makna turunan terkait pemotongan. Beberapa ulama bahasa mendefinisikan aqiqah sebagai rambut yang tumbuh di kepala bayi saat ia lahir. Oleh karena itu, tindakan menyembelih hewan ternak ini dinamakan aqiqah karena bertepatan dengan momen pencukuran atau pemotongan rambut bayi tersebut.
Makna linguistik ini memberikan petunjuk awal mengenai esensi dari ritual tersebut: menandai dimulainya kehidupan baru sang anak dengan sebuah tindakan pemotongan atau perpisahan dari kondisi sebelum kelahiran, yang diwujudkan melalui penyembelihan hewan kurban. Ini adalah penanda awal bahwa anak tersebut kini telah menjadi bagian dari komunitas muslim dan perlu dibersihkan dari segala hal yang mungkin mengganggunya, termasuk rambut lahirnya.
Meskipun aqiqah melibatkan penyembelihan hewan, ia memiliki perbedaan mendasar dengan ibadah kurban yang dilakukan saat Idul Adha. Kurban adalah ibadah yang dilakukan atas dasar ketaatan umum kepada Allah dan mengikuti sunnah Nabi Ibrahim AS, biasanya dikaitkan dengan hari raya tertentu. Sementara itu, aqiqah secara spesifik terikat dengan peristiwa kelahiran anak.
Hikmah di balik pelaksanaan aqiqah sangat mendalam. Pertama, sebagai wujud rasa syukur yang paling nyata kepada Allah SWT atas anugerah terindah, yaitu keturunan. Kedua, aqiqah berfungsi sebagai penebus dari nazar orang tua jika mereka pernah bernazar untuk melakukan ibadah tertentu apabila dikaruniai anak. Ketiga, secara sosial, daging hasil aqiqah dibagikan kepada fakir miskin, kerabat, dan tetangga, sehingga menguatkan tali silaturahmi dan menunjukkan kepedulian sosial sejak dini.
Pencukuran rambut bayi yang menyertai penyembelihan juga memiliki makna tersendiri. Rambut dianggap sebagai bagian tubuh yang perlu "dibersihkan" sebelum anak memasuki kehidupan sosialnya. Seringkali, berat rambut yang dicukur tersebut kemudian dijadikan patokan untuk bersedekah dalam bentuk perak atau emas, meskipun ini hanyalah kebiasaan yang melengkapi inti dari pelaksanaan aqiqah itu sendiri.
Dalam pelaksanaannya, aqiqah mengikuti aturan yang mirip dengan hewan kurban, namun dengan jumlah yang lebih ringan. Jumlah hewan yang disembelih mengikuti jenis kelamin anak:
Syarat-syarat hewan yang digunakan (kambing atau domba) sama dengan syarat hewan kurban, yaitu harus bebas dari cacat yang jelas, cukup umur (umumnya minimal usia enam bulan untuk domba dan satu tahun untuk kambing), dan sehat fisiknya. Tujuannya adalah agar apa yang dipersembahkan kepada Allah adalah yang terbaik, sebagai bentuk penghormatan atas karunia yang diberikan.
Meskipun secara bahasa arti aqiqah hanyalah 'memotong' atau 'rambut bayi', waktu pelaksanaannya dalam syariat memiliki panduan yang jelas. Mayoritas ulama menyunnahkan pelaksanaan aqiqah pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Hari ketujuh ini dianggap waktu yang ideal untuk menyambut kedatangan bayi secara resmi dalam lingkungan keluarga besar dan masyarakat melalui hidangan syukur.
Jika karena alasan tertentu (misalnya kondisi finansial atau kesehatan bayi) pelaksanaan pada hari ketujuh tidak memungkinkan, maka dapat ditunda hingga hari keempat belas atau hari kedua puluh satu. Intinya adalah pelaksanaan ibadah ini tidak boleh ditunda terlalu lama karena memiliki keterkaitan erat dengan keberkahan dan perlindungan bagi bayi.
Jadi, jika kita merangkum, menurut bahasa aqiqah berarti pemotongan atau rambut bayi. Namun, dalam konteks ibadah, aqiqah jauh lebih kaya maknanya. Ia adalah manifestasi syukur, pembersihan spiritual, dan sebuah janji komitmen orang tua terhadap pendidikan agama sang anak. Dengan menyembelih hewan dan membagikan dagingnya, orang tua tidak hanya menunaikan sunnah Nabi Muhammad SAW, tetapi juga menanamkan nilai berbagi dan kepedulian sosial kepada kehidupan baru yang telah dianugerahkan Tuhan. Proses ini memastikan bahwa momen bahagia kelahiran selalu diiringi dengan ibadah yang tulus dan manfaat sosial yang luas.