Pendahuluan: Konflik antara Kesucian dan Kebersihan
Lafaz “Bismillahirrahmannirrahiim” (Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) merupakan fondasi utama dari setiap tindakan seorang Muslim. Lafaz agung ini adalah pintu pembuka keberkahan, pengingat akan keesaan dan kekuasaan Ilahi, serta perisai dari godaan setan. Mengucapkan Bismillah sebelum memulai aktivitas, sekecil apa pun itu, adalah anjuran syariat yang sangat ditekankan. Namun, bagaimana jika aktivitas tersebut dilakukan di tempat yang secara syariat dianggap kotor atau najis, seperti kamar mandi atau toilet?
Pertanyaan mengenai hukum membaca Bismillah di kamar mandi telah menjadi topik diskusi yang mendalam dalam literatur fiqh Islam selama berabad-abad. Konflik utamanya terletak pada pertentangan antara anjuran untuk senantiasa berzikir kepada Allah (dzikrullah) dengan kewajiban untuk menjaga adab dan mengagungkan (ta’zhim) nama-nama-Nya di tempat yang tidak layak. Kamar mandi, dalam konteks syar’i, adalah tempat yang secara inheren dipenuhi dengan najis, kotoran, dan juga menjadi sarang bagi jin dan syaitan.
Oleh karena itu, artikel ini akan mengupas tuntas pandangan para ulama dari berbagai mazhab mengenai etika dan hukum pengucapan lafaz Bismillah—atau zikir apapun—di dalam kamar mandi, serta memberikan panduan praktis berdasarkan prinsip penghormatan tertinggi terhadap Asmaul Husna.
Garis pemisah antara ruang di luar (tempat berzikir) dan ruang di dalam (tempat najis).
Landasan Fiqh: Mengagungkan Nama Allah (Ta'zhim)
Dalam syariat Islam, terdapat prinsip mendasar yang mengatur interaksi Muslim dengan lafaz-lafaz Allah (Asmaul Husna), yaitu ta’zhim, yang berarti pengagungan atau penghormatan yang maksimal. Prinsip ini adalah kunci untuk memahami hukum membaca Bismillah di tempat yang dianggap rendah atau kotor.
Adab Dzikir dan Penghormatan
Para fuqaha (ahli fiqh) sepakat bahwa dzikir lisan, termasuk Bismillah, harus dilakukan dalam kondisi yang paling mulia dan terhormat. Tempat-tempat yang dianjurkan adalah masjid, majelis ilmu, atau tempat yang bersih. Sebaliknya, tempat-tempat yang secara khusus dikaitkan dengan kotoran dan najis adalah tempat yang harus dihindari untuk dzikir lisan. Larangan ini bukan karena dzikir itu sendiri menjadi buruk, melainkan karena perbuatan tersebut mengurangi kemuliaan dan martabat lafaz Allah, yang merupakan bentuk ketidak-adaban (su'ul adab).
Imam An-Nawawi, salah satu ulama besar mazhab Syafi'i, menjelaskan dalam kitab-kitabnya bahwa menghormati nama Allah adalah kewajiban. Oleh karena itu, seseorang hendaknya menahan diri dari mengucapkan nama-nama suci di tempat yang tidak pantas, seperti saat buang hajat atau di kamar mandi, kecuali jika ada kebutuhan atau alasan syar’i yang kuat.
Dalil Umum Larangan Dzikir di Tempat Kotor
Meskipun tidak ada hadis secara spesifik yang berbunyi, "Jangan baca Bismillah di kamar mandi," hukum ini ditarik melalui analogi (qiyas) dan pemahaman terhadap hadis-hadis yang berkaitan dengan adab buang hajat dan larangan membawa sesuatu yang mengandung lafaz Allah ke tempat najis.
Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah melepaskan cincinnya (yang bertuliskan 'Muhammad Rasulullah') sebelum memasuki kamar mandi. Ini menunjukkan kehati-hatian Nabi dalam menjaga kehormatan lafaz suci dari lingkungan kotoran.
Dari tindakan Nabi Muhammad ﷺ tersebut, ulama menyimpulkan bahwa jika membawa benda bertuliskan lafaz Allah saja dimakruhkan atau dilarang (tergantung kondisi), maka mengucapkannya secara lisan, yang merupakan interaksi langsung dengan lafaz suci tersebut, tentu harus dihindari sebagai bentuk ta’zhim.
Hukum Spesifik Membaca Bismillah di Dalam Kamar Mandi
Membahas kamar mandi modern memerlukan pembedaan yang cermat. Namun, secara umum, hukum membaca Bismillah di tempat buang hajat terbagi menjadi dua pandangan utama di kalangan ulama:
1. Pendapat Mayoritas: Makruh Tahrim atau Haram (Dzikir Lisan)
Pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali cenderung memakruhkan secara keras (makruh tahrim) atau bahkan mengharamkan dzikir lisan di dalam area di mana najis atau kotoran berada, terutama saat sedang buang hajat. Mereka berpegangan pada kaidah adab dan penghormatan terhadap Syiar Allah.
- Mazhab Hanafi: Sangat memakruhkan dzikir lisan di kamar mandi. Mereka menekankan bahwa kehormatan lafaz Allah harus dijaga, dan kamar mandi adalah tempat yang dikhususkan untuk membuang najis, yang bertentangan dengan kemuliaan dzikir.
- Mazhab Syafi'i: Umumnya menyatakan makruh. Jika dzikir dilakukan bukan pada saat buang hajat, kemakruhannya lebih ringan, tetapi tetap dihindari karena ruangan itu sendiri dianggap sebagai tempat yang tidak mulia.
- Mazhab Hanbali: Cenderung lebih ketat, terutama jika dzikir tersebut diucapkan saat menampakkan aurat atau sedang mengeluarkan kotoran.
Inti dari pendapat mayoritas ini adalah bahwa membaca Bismillah secara lisan di kamar mandi dianggap sebagai kekurangan adab terhadap Allah SWT, meskipun niat orang yang mengucapkannya adalah baik.
2. Pengecualian dan Keterbatasan Hukum
Hukum ini memiliki beberapa pengecualian yang harus dipahami, terutama dalam konteks kehidupan modern:
A. Batasan Kamar Mandi (Modern vs. Tradisional)
Dalam konteks fiqh klasik, kamar mandi (al-khalā'/al-mustarah) sering kali merujuk pada lubang kotoran yang terbuka atau tempat buang hajat yang tidak terpisah dari area mandi. Dalam kamar mandi modern (toilet tertutup dengan flush dan terpisah dari ruang mandi), sebagian ulama kontemporer memberikan sedikit kelonggaran, terutama jika area buang hajat terpisah secara fisik atau tertutup.
Meskipun demikian, kehati-hatian tetap diutamakan. Ruangan tersebut masih terhitung sebagai tempat keluarnya kotoran, dan penghormatan terhadap Bismillah harus tetap dijaga. Oleh karena itu, meskipun kamar mandi modern lebih bersih, hukum adabnya tidak sepenuhnya hilang.
B. Dzikir Qalbi (Dzikir dalam Hati)
Hampir semua ulama sepakat bahwa larangan tersebut hanya berlaku untuk dzikir lisan (yang diucapkan). Dzikir qalbi (mengingat Allah di dalam hati) tetap diperbolehkan, bahkan dianjurkan, di dalam kamar mandi. Mengapa? Karena dzikir qalbi adalah kondisi hati yang senantiasa terhubung dengan Pencipta, dan ia tidak melibatkan lafaz yang diucapkan yang dikhawatirkan terkena najis atau mengurangi kemuliaan lafaz suci.
Jika seseorang teringat pada Allah atau merasa cemas dan secara refleks hatinya berzikir, hal itu tidak termasuk dalam larangan. Yang dilarang adalah mengucapkan "Bismillah" dengan lisan secara sengaja.
C. Kasus Batuk atau Bersin
Jika seseorang batuk atau bersin di dalam kamar mandi, yang biasanya direspons dengan ucapan "Alhamdulillah," para ulama menyarankan agar ia menahan diri. Jika terpaksa mengucapkannya, ia harus mengucapkan dalam hati atau dengan suara yang sangat pelan yang hanya didengar oleh dirinya sendiri, sebagai kompromi antara anjuran memuji Allah (saat bersin) dan menjaga adab di tempat kotor.
Adab Praktis yang Dianjurkan (Sunnah)
Syariat telah memberikan solusi yang sempurna untuk masalah ini, yaitu dengan menentukan waktu spesifik untuk membaca Bismillah dan doa-doa perlindungan sebelum memasuki kamar mandi. Dengan melakukan adab-adab ini, seorang Muslim tidak perlu membaca Bismillah di dalam ruangan, karena perlindungan sudah didapatkan sejak di luar.
1. Doa Sebelum Masuk Kamar Mandi (Bismillah dan Isti'adzah)
Rasulullah ﷺ mengajarkan sebuah doa yang harus dibaca SEBELUM kaki melangkah masuk, di ambang pintu kamar mandi. Doa ini berfungsi ganda:
- Mengucapkan Bismillah (sebagai permulaan yang baik).
- Meminta perlindungan dari jin laki-laki dan jin perempuan (syaitan) yang suka bersemayam di tempat-tempat kotor.
Lafaznya adalah: “Bismillah. Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khabaa’its.” (Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari syaitan laki-laki dan syaitan perempuan).
Mengucapkan Bismillah di luar, sebelum memasuki kamar mandi, adalah waktu yang disyariatkan dan menghindarkan Muslim dari melanggar adab di dalam ruangan. Setelah itu, tidak ada kebutuhan atau anjuran untuk mengucapkannya lagi di dalam.
2. Doa Setelah Keluar Kamar Mandi
Setelah keluar dan kembali ke area suci, sunnahnya adalah mengucapkan doa: “Ghufranaka.” (Aku memohon ampunan-Mu).
Para ulama menjelaskan hikmah dari doa ini, di antaranya: memohon ampunan karena waktu di kamar mandi adalah waktu yang terputus dari mengingat Allah (dzikir lisan), atau memohon ampunan karena merasa lemah tidak mampu mensyukuri kenikmatan Allah yang telah membuang kotoran dari tubuh.
Analisis Mendalam: Membawa dan Menyimpan Bismillah di Kamar Mandi
Untuk melengkapi pemahaman tentang pengucapan Bismillah, penting juga untuk mengkaji hukum membawa atau menyimpan benda yang mengandung lafaz Bismillah di kamar mandi. Prinsip ta’zhim yang berlaku pada dzikir lisan juga berlaku pada lafaz tertulis.
Hukum Membawa Lafaz Allah Tertulis
Seperti telah disebutkan, Ibnu Umar RA pernah melepaskan cincinnya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah makruh tahrim (sangat dimakruhkan) atau haram membawa masuk Mushaf Al-Qur'an, kertas yang bertuliskan ayat Al-Qur'an, atau kertas yang memuat nama Allah, Rasulullah, atau nama-nama suci lainnya, ke dalam kamar mandi kecuali jika terdapat kekhawatiran barang tersebut hilang atau dicuri jika ditinggalkan di luar.
Jika lafaz Bismillah tertulis pada barang yang diperlukan (misalnya, dompet atau mata uang yang memuat tulisan Arab), ulama menyarankan agar barang tersebut disembunyikan atau diletakkan di saku yang tidak terlihat, sebagai bentuk penghormatan. Namun, jika lafaz tersebut ada pada ponsel atau perangkat elektronik lainnya, hukumnya lebih ringan, terutama jika layar dalam keadaan mati, karena tulisan tersebut tidak permanen seperti di atas kertas.
Konflik Niat dan Adab
Seringkali, seseorang ingin membaca Bismillah di kamar mandi karena niat baik, misalnya untuk mencegah waswas atau karena ingin memulai mandi wajib (ghusl) dengan nama Allah. Bagaimana Islam menanggapi konflik niat yang baik ini?
Syariat Islam mengajarkan bahwa adab mendahului perbuatan. Penghormatan terhadap Asma Allah (ta’zhim) adalah prioritas. Oleh karena itu, meskipun niatnya adalah untuk mendapatkan keberkahan memulai mandi dengan Bismillah, syariat telah menuntun agar Bismillah diucapkan sebelum masuk. Mandi wajib dapat dimulai dengan niat di dalam hati, sementara Bismillah (lisan) ditinggalkan hingga berada di luar. Jika Bismillah terpaksa diucapkan, maka ia harus diucapkan dalam hati (dzikir qalbi).
Para ulama menegaskan bahwa ta’zhim (pengagungan) adalah bagian dari takwa yang lebih besar. Melakukan perbuatan sunnah (membaca Bismillah) di tempat yang tidak layak justru bisa jatuh ke dalam makruh tahrim atau haram, yang konsekuensinya lebih besar daripada manfaat sunnah yang dikejar.
Perbedaan Kamar Mandi Modern Tertutup
Dalam kamar mandi modern, seringkali kloset (tempat buang hajat) berada di ruangan yang sama dengan bak mandi dan shower. Jika ruangan ini sangat bersih, apakah hukumnya berubah?
Beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa jika area buang hajatnya tertutup rapat dan ruangan mandi bersih, maka kemakruhan dzikir lisan bisa sedikit berkurang. Namun, mereka tetap bersepakat bahwa hukum asal (menahan dzikir lisan) adalah yang paling hati-hati (ahwat) dan paling sesuai dengan adab syar’i. Kamar mandi tetap dihitung sebagai 'baitul khalaa' (rumah kotoran) meskipun keadaannya rapi dan wangi. Kehati-hatian adalah fondasi utama dalam penghormatan terhadap lafaz Allah.
Anjuran untuk berzikir (Bismillah) di luar batas kesucian dan menahan diri di dalamnya.
Meluaskan Aplikasi Fiqh: Mengagungkan di Setiap Tempat
Prinsip ta’zhim (pengagungan) terhadap nama Allah tidak hanya berlaku di kamar mandi, tetapi juga menjadi pedoman dalam banyak aspek kehidupan Muslim, menegaskan bahwa iman tidak hanya berbentuk ritual, tetapi juga etika dan adab.
Dzikir di Tempat-Tempat Umum yang Kotor
Jika larangan membaca Bismillah berlaku di kamar mandi, bagaimana dengan tempat-tempat lain yang juga kotor, seperti tempat pembuangan sampah atau pasar ikan yang penuh darah dan kotoran? Para ulama membedakan antara tempat yang kotor secara incidental dan tempat yang secara syar’i ditetapkan sebagai tempat najis yang permanen.
Kamar mandi atau WC adalah tempat yang secara permanen didedikasikan untuk pembuangan najis. Sementara itu, meskipun pasar ikan atau tempat sampah kotor, ia tidak secara permanen difungsikan sebagai tempat buang hajat. Oleh karena itu, hukum dzikir di tempat-tempat umum yang kotor sifatnya makruh (tidak sampai makruh tahrim seperti kamar mandi), dan tidak wajib menahan Bismillah di sana, meskipun tetap dianjurkan menjauh dari area kotoran secara langsung jika ingin berdzikir lisan.
Menghormati Bismillah dalam Kehidupan Sehari-hari
Ketaatan seorang Muslim terhadap adab Bismillah di kamar mandi adalah cerminan dari ketaatan yang lebih luas dalam menjaga lisan. Hal ini mencakup:
- Tidak menggunakan Bismillah dalam konteks yang merendahkan atau bercanda.
- Menyebut Bismillah dengan penuh kekhusyukan dan kesadaran, bukan sekadar kebiasaan lisan.
- Tidak menulis Bismillah di tempat yang mudah diinjak atau dibuang ke tempat sampah.
Prinsip dasarnya adalah bahwa lafaz suci ini harus diperlakukan dengan hormat, karena ia mewakili entitas yang paling Agung, yaitu Allah SWT.
Penghormatan ini adalah ibadah tersendiri. Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah sering menekankan pentingnya adab dalam berinteraksi dengan wahyu dan nama-nama Allah. Mereka berpendapat bahwa menjaga kehormatan dzikir di tempat-tempat yang tidak layak adalah bagian dari kesempurnaan tauhid dan pengakuan terhadap keagungan Allah. Kelalaian dalam adab ini, meskipun kecil, bisa berakibat pada berkurangnya keberkahan dan pahala dari dzikir itu sendiri.
Implikasi Psikologis dan Spiritual
Ada juga hikmah spiritual di balik larangan ini. Kamar mandi adalah tempat yang dikuasai oleh syaitan, seperti yang disebutkan dalam doa isti’adzah (meminta perlindungan). Syaitan senang jika nama Allah disebut di tempat kekuasaan mereka atau dalam kondisi yang merendahkan. Dengan menahan diri dari dzikir lisan di kamar mandi, seorang Muslim secara spiritual menegaskan batas antara kesucian ilahi dan kenajisan duniawi, menolak memberikan kesempatan kepada syaitan untuk mencampuri lafaz suci.
Fokus utama seorang Muslim saat di kamar mandi adalah menyelesaikan hajatnya dengan cepat dan menjaga kebersihan. Ini adalah waktu istirahat (jeda) dari dzikir lisan, yang kemudian akan disambung kembali dengan doa Ghufranaka setelah keluar. Ini mengajarkan disiplin waktu dan pemisahan fungsi ruangan.
Kekuatan Dzikir Qalbi: Mengingat Allah dalam Sunyi
Jika dzikir lisan dilarang, maka satu-satunya cara seorang Muslim dapat tetap terhubung dengan Allah di kamar mandi adalah melalui dzikir qalbi (hati). Penting untuk memahami perbedaan mendasar antara kedua jenis dzikir ini dan mengapa yang satu diperbolehkan dan yang lain dilarang.
Definisi Dzikir Qalbi
Dzikir qalbi adalah kondisi di mana hati seseorang senantiasa sadar akan kehadiran dan pengawasan Allah (muraqabah), memuji-Nya tanpa harus menggerakkan lisan. Ini adalah tingkatan dzikir yang paling tinggi karena mencerminkan hubungan spiritual yang konstan, tanpa dipengaruhi oleh kondisi fisik atau lingkungan sekitar.
Di kamar mandi, dzikir qalbi dapat berbentuk rasa syukur, mengingat kewajiban wudhu setelah selesai, atau mengingat ajal. Semua ulama sepakat bahwa kondisi hati ini tidak dilarang, bahkan dianjurkan, karena menjaga hati agar tidak lalai dari Allah adalah tujuan utama kehidupan seorang Muslim.
Mengapa dzikir qalbi tidak melanggar adab? Karena adab yang dilanggar di kamar mandi adalah adab terhadap lafaz suci (huruf dan bunyi vokal yang membentuk nama Allah). Ketika dzikir hanya di hati, tidak ada lafaz yang terekspos pada najis atau lingkungan yang tidak mulia. Oleh karena itu, jika seseorang ingin memulai mandi wajib atau mencuci tangan dan ingin mendapatkan keberkahan, ia cukup meniatkannya di dalam hati, “Aku niat mandi wajib, Bismillah dalam hati.”
Penerapan dalam Wudhu dan Ghusl
Prosedur wudhu atau mandi wajib (ghusl) seringkali dilakukan di dalam kamar mandi. Menurut jumhur ulama, niat adalah syarat sah, dan niat tempatnya di hati. Sedangkan Bismillah adalah sunnah wudhu.
Jika wudhu dilakukan di dalam kamar mandi, seorang Muslim disarankan untuk mengucapkan Bismillah sebelum masuk. Ketika memulai wudhu di dalam, ia cukup berniat dalam hati. Jika ia khawatir wudhunya tidak sempurna tanpa Bismillah, maka ia cukup mengucapkannya dalam hati (dzikir qalbi) saat membasuh tangan pertama, atau menunggu hingga ia berada di area yang lebih bersih (misalnya wastafel yang terpisah dari kloset) untuk mengucapkan Bismillah dengan lisan.
Perlu ditekankan kembali bahwa meskipun wudhu adalah tindakan pembersihan, proses ini sering dimulai di dekat kloset, sehingga hukum larangan dzikir lisan tetap berlaku sebagai bentuk kehati-hatian maksimal terhadap adab syar’i. Penghormatan kepada Allah tidak boleh dikorbankan demi mengejar kesempurnaan sunnah (Bismillah lisan) di tempat yang dilarang.
Para ahli fiqh menekankan bahwa dalam kasus wudhu di kamar mandi, meninggalkan sunnah Bismillah secara lisan lebih utama daripada melanggar adab (makruh tahrim) dengan mengucapkannya di tempat najis. Ini menunjukkan bagaimana prinsip adab dan ta’zhim dapat memodifikasi prioritas amal ibadah.
Perdebatan Fiqh dan Mazhab Terkait Dzikir di Kamar Mandi
Meskipun mayoritas ulama sepakat pada makruh tahrim/haramnya dzikir lisan, nuansa dalam perdebatan tetap ada, terutama terkait definisi "kamar mandi" dan "keperluan mendesak."
Pandangan Mazhab Maliki
Mazhab Maliki cenderung sangat ketat dalam masalah adab. Mereka melihat kamar mandi sebagai salah satu tempat terburuk untuk mengingat Allah secara lisan. Mereka menyamakan hukum dzikir di kamar mandi dengan hukum membawa Mushaf ke tempat najis, menekankan bahwa dzikir adalah interaksi spiritual yang membutuhkan kesucian maksimal.
Imam Malik rahimahullah menekankan bahwa orang yang sedang buang hajat harus sepenuhnya fokus pada kebutuhannya dan menahan segala bentuk komunikasi lisan, termasuk dzikir dan salam, sebagai bentuk menjauhkan diri dari hal-hal mulia di lingkungan najis.
Pandangan Mazhab Hanbali dan Kebutuhan Mendesak
Ulama Hanbali, seperti Ibnu Qudamah, juga sangat ketat. Namun, mereka membahas satu pengecualian penting: jika seseorang di dalam kamar mandi mengalami situasi yang membutuhkan dzikir untuk perlindungan (misalnya, takut akan bahaya, atau terkejut), sebagian ulama memperbolehkan dzikir lisan dalam suara yang sangat pelan.
Contohnya, jika seseorang tersandung dan hampir terjatuh, secara refleks mungkin ia mengucapkan ‘Ya Allah’. Dalam kondisi darurat seperti ini, hukum larangan dzikir bisa diringankan, karena ini bukan dzikir yang diniatkan sebagai ibadah sunnah, melainkan sebagai bentuk permohonan bantuan darurat kepada Allah SWT. Namun, ini adalah pengecualian, bukan aturan umum.
Ulama Kontemporer dan Ruang Terpisah
Saat ini, banyak rumah yang memiliki kamar mandi yang sangat besar, di mana toilet (kloset) terpisah dinding atau sekat dengan area mandi. Ulama modern, seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, pernah ditanya mengenai masalah ini. Beliau menjelaskan bahwa jika dzikir diucapkan di area mandi yang jauh dari najis, hukumnya lebih ringan (mungkin hanya makruh tanzih, atau diperbolehkan). Namun, jika dzikir diucapkan di area yang sama dengan kloset, apalagi saat buang hajat, maka larangan tersebut tetap berlaku kuat.
Oleh karena itu, dalam kamar mandi modern yang terbagi, seorang Muslim harus memastikan posisinya. Jika ia berada di area yang bersih dan suci (misalnya saat mencukur janggut di depan cermin wastafel), dzikir lisan diperbolehkan. Tetapi, saat berada di area kloset, ia harus menahan lisan dan hanya berdzikir dalam hati.
Pemisahan ini menunjukkan bahwa hukum fiqh sangat sensitif terhadap lokasi fisik najis. Semakin jauh dari sumber najis, semakin ringan hukum larangannya, tetapi kehati-hatian (ahwat) tetap menganjurkan penahanan lisan di seluruh ruangan yang bernama 'kamar mandi' jika itu adalah ruangan tunggal.
Kesimpulan dan Rekomendasi Praktis
Hukum membaca Bismillah secara lisan di kamar mandi, berdasarkan konsensus umum para fuqaha, adalah makruh tahrim atau bahkan haram, sebagai bentuk ta’zhim (penghormatan) terhadap nama Allah SWT yang Agung.
Larangan ini didasarkan pada prinsip adab, di mana lafaz suci tidak boleh diucapkan di tempat yang didedikasikan untuk kotoran dan najis. Syariat telah memberikan jalan keluar yang sempurna untuk tetap mendapatkan keberkahan Bismillah, yaitu dengan mengucapkannya (bersama doa perlindungan) sebelum memasuki ambang batas kamar mandi.
Ringkasan Rekomendasi Praktis:
- Sebelum Masuk: Wajib membaca doa masuk kamar mandi, termasuk Bismillah: “Bismillah. Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khabaa’its.”
- Di Dalam (Dzikir Lisan): Hindari mengucapkan Bismillah atau dzikir lisan apa pun. Tahan lisan meskipun sedang melakukan wudhu atau mandi wajib.
- Di Dalam (Dzikir Hati): Diperbolehkan dan dianjurkan untuk mengingat Allah di dalam hati (dzikir qalbi), berniat, atau bersyukur tanpa menggerakkan lisan.
- Setelah Keluar: Segera ucapkan “Ghufranaka” sebagai permohonan ampunan.
- Benda Tertulis: Jangan membawa masuk benda yang bertuliskan lafaz Allah atau Al-Qur'an, kecuali jika ada kekhawatiran yang sah terhadap hilangnya benda tersebut.
Dengan menerapkan adab ini, seorang Muslim telah menjalankan kewajibannya dalam menghormati Asmaul Husna sekaligus memastikan bahwa seluruh tindakannya, bahkan dalam urusan membuang kotoran, tetap berada dalam bingkai syariat dan mendapatkan perlindungan Ilahi. Adab adalah mahkota ibadah; menjaganya di kamar mandi adalah ujian kecil terhadap kesungguhan kita dalam menghormati Yang Maha Agung di setiap ruang dan waktu.
Kajian mendalam ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mengatur setiap detail kehidupan, bahkan hingga ke hal-hal yang sering dianggap remeh seperti adab di toilet. Keseimbangan antara kebersihan fisik (membersihkan najis) dan kebersihan spiritual (menjaga kehormatan lafaz suci) adalah tanda kesempurnaan syariat.
Keagungan nama Allah harus dijaga, dilindungi, dan diletakkan pada posisi tertinggi dalam hati dan lisan kita, jauh dari segala sesuatu yang merendahkan, termasuk kotoran yang dihasilkan oleh tubuh kita sendiri. Dengan demikian, ketika kita keluar dari kamar mandi, kita kembali ke dunia luar dengan lisan yang siap kembali berdzikir dan hati yang senantiasa terhubung dengan kesucian. Prinsip ini tidak hanya sekadar fiqh, tetapi juga pendidikan spiritual tentang pentingnya ta’zhim yang mutlak.
Semua uraian mengenai hukum dan adab membaca Bismillah di kamar mandi ini kembali pada satu inti pokok: menjaga kesucian hubungan antara hamba dengan Penciptanya. Ketika seorang Muslim mampu menahan diri dari mengucapkan Bismillah di tempat kotor demi ta'zhim, ia telah membuktikan bahwa penghormatannya kepada Allah melampaui kebiasaan lisan, menjadi manifestasi nyata dari ketakwaan yang mendalam.
Ketaatan terhadap adab ini juga menjadi penanda penting bagi individu yang mencari kesempurnaan dalam ibadah. Bukan hanya melaksanakan rukun dan wajib, tetapi juga menyempurnakan setiap sunnah dan adab. Dalam fiqh, menjaga diri dari makruh tahrim (sesuatu yang sangat dibenci) adalah tindakan yang lebih diprioritaskan daripada mengejar sunnah (membaca Bismillah) di tempat yang tidak layak. Ini adalah pelajaran tentang prioritas dalam syariat.
Perbedaan antara tempat najis dan tempat suci harus selalu jelas dalam pikiran seorang Muslim. Ruang ibadah (masjid) dan tempat kotoran (kamar mandi) memiliki hukum yang bertolak belakang. Dzikir adalah makanan jiwa, tetapi ia harus disajikan di wadah yang mulia. Kamar mandi, meskipun perlu untuk kehidupan, bukanlah wadah yang mulia untuk lafaz Allah.
Mari kita tingkatkan kesadaran kita tentang pentingnya ta’zhim ini. Setiap kali kita mendekati pintu kamar mandi, momen tersebut harus menjadi pengingat bagi kita untuk mengakhiri dzikir lisan sejenak, beralih ke dzikir hati, dan meminta perlindungan penuh dari Allah SWT, baru kemudian melanjutkan aktivitas pribadi kita. Ketika kita keluar, lafaz Bismillah dan dzikir lainnya kembali kita hidupkan, penuh energi dan kesucian, menyambut kembali hubungan lisan kita dengan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Adab ini mengajarkan disiplin lisan. Lisan yang terbiasa menahan diri dari hal-hal yang tidak layak akan lebih mudah digunakan untuk hal-hal yang mulia. Menghormati Bismillah di ambang batas kamar mandi adalah latihan spiritual yang sederhana namun memiliki bobot besar di sisi Allah, menunjukkan kepatuhan yang tulus terhadap tuntunan adab para Nabi dan ulama salaf.