Ilustrasi: Staf Penghubung dan Pengamanan
Kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) tidak hanya melibatkan aktor utama, tetapi juga mengungkap jaringan kompleks yang melibatkan orang-orang terdekat Ferdy Sambo, khususnya para ajudan dan asisten pribadinya. Mereka menjadi saksi kunci, bahkan terkadang terlibat langsung dalam upaya awal penutupan kasus.
Dalam struktur komando kepolisian, ajudan memiliki posisi yang sangat strategis. Mereka adalah perpanjangan tangan atasan langsung, bertugas mengatur jadwal, mengawal, dan menjadi penghubung utama. Dalam kasus ini, para ajudan Ferdy Sambo—seorang Kadiv Propam Polri berpangkat jenderal bintang dua—memiliki akses penuh ke lingkungan domestik rumah pribadi di Jakarta Selatan, tempat insiden berdarah itu terjadi.
Posisi sebagai ajudan sering kali dianggap sebagai jalur cepat menuju kepercayaan dan promosi. Oleh karena itu, loyalitas yang ditunjukkan kepada atasan sangat tinggi, sebuah dinamika yang ternyata menjadi bumerang ketika lingkaran kepercayaan tersebut harus dihadapkan pada proses hukum yang transparan. Para ajudan ini, yang seharusnya menjadi penjaga integritas institusi, justru terseret ke dalam pusaran upaya menghalangi penyidikan.
Beberapa nama ajudan yang paling sering disebut dalam persidangan dan proses penyidikan adalah Bharada Richard Eliezer (Bharada E) dan Bripka Ricky Rizal (Bripka RR). Meskipun Bharada E akhirnya berubah status menjadi Justice Collaborator (JC), peran awalnya sangat sentral. Ia adalah eksekutor lapangan yang diperintahkan langsung oleh Ferdy Sambo untuk menembak Yosua.
Sementara itu, Bripka RR, yang juga merupakan ajudan dekat, memainkan peran sebagai pengawas dan saksi yang awalnya memberikan keterangan tidak benar. Keterlibatannya menunjukkan bagaimana struktur perintah dari atas menciptakan respons otomatis di kalangan staf yang lebih rendah. Mereka tidak hanya bertindak sebagai saksi pasif, tetapi juga aktif dalam skenario yang dibangun untuk mengelabui penyidik awal.
Dampak dari keterlibatan ajudan ini melampaui sekadar peran dalam kasus pembunuhan. Hal ini mengguncang citra institusi kepolisian secara keseluruhan. Ketika orang-orang terdekat yang seharusnya menjaga kehormatan pimpinan justru terlibat dalam rekayasa kasus, hal itu menimbulkan keraguan besar terhadap sistem pengawasan internal di tubuh Polri.
Perjalanan persidangan para ajudan ini menjadi pelajaran berharga mengenai dilema moral. Mereka dihadapkan pada pilihan antara loyalitas buta kepada atasan atau tanggung jawab terhadap kebenaran dan hukum. Keputusan Bharada E untuk jujur dan bekerja sama dengan JC menjadi titik balik yang krusial, membuka jalan bagi terungkapnya peran dominan Ferdy Sambo yang sebelumnya sulit dibuktikan.
Selain ajudan lapangan, sorotan juga mengarah pada peran staf lain yang diduga turut membantu dalam upaya perusakan barang bukti atau penyebaran narasi palsu. Hal ini mencakup dugaan keterlibatan personel lain dalam pengamanan CCTV di sekitar lokasi kejadian. Ini menunjukkan bahwa upaya menutupi kejahatan membutuhkan koordinasi dan partisipasi dari beberapa tingkatan staf, membuktikan adanya jaringan perlindungan yang terstruktur di sekeliling tersangka utama.
Intinya, para ajudan Ferdy Sambo bukan sekadar staf administratif. Mereka adalah garda terdepan yang posisinya dimanfaatkan untuk menjalankan perintah, baik yang bersifat rutin maupun yang bersifat kriminal. Kasus ini menyoroti betapa berbahayanya posisi kekuasaan absolut yang tanpa pengawasan, di mana staf di bawahnya merasa tertekan untuk mematuhi, meskipun perintah tersebut bertentangan dengan nurani atau hukum. Ujungnya, mereka semua harus mempertanggungjawabkan tindakan masing-masing di hadapan pengadilan.