Ilustrasi: Visualisasi Kesepakatan Formal (Akad)
Akad adalah fondasi utama dalam setiap transaksi dan hubungan hukum dalam Islam, mulai dari pernikahan (akad nikah) hingga jual beli (akad jual beli). Secara bahasa, akad berarti mengikat. Dalam terminologi syariat, akad merujuk pada ikatan janji yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, yang memiliki konsekuensi hukum dan mengikat secara syar'i. Memahami seluk-beluk akad sangat penting, sebab sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum sangat bergantung pada terpenuhinya rukun dan syarat sah akad tersebut. Banyaknya perbedaan pandangan dan kompleksitas dalam praktik muamalah kontemporer sering kali menimbulkan segudang pertanyaan.
Pentingnya akad berakar pada prinsip keadilan dan transparansi. Allah SWT memerintahkan manusia untuk menepati janji (QS. Al-Maidah: 1). Dalam konteks ekonomi dan sosial, akad memastikan bahwa setiap hak dan kewajiban terdefinisikan dengan jelas. Tanpa akad yang sah, hubungan ekonomi berpotensi berubah menjadi penindasan atau riba. Akad yang benar akan menghasilkan keberkahan, sementara akad yang cacat dapat membatalkan transaksi atau bahkan menjerumuskan pelakunya pada hal yang haram.
Secara umum, rukun akad meliputi empat hal pokok: Ashabul 'Aqidain (dua pihak yang berakad, yaitu sharih/penjual dan mustahib/pembeli), Ma'qud 'Alaih (objek akad, seperti barang atau jasa), Shighat al-'Aqd (ijab kabul atau kesepakatan), dan Mahal al-'Aqd (tempat atau tujuan akad). Jika salah satu rukun ini hilang, akad tersebut berpotensi batal atau tidak sah secara hukum Islam.
Dalam banyak kasus muamalah sederhana (seperti membeli sebungkus nasi), akad lisan (ijab kabul) sudah dianggap sah, asalkan jelas dan tidak ada keraguan. Namun, untuk transaksi besar, kompleks, atau yang melibatkan hak kepemilikan jangka panjang (misalnya properti atau pernikahan), akad tertulis sangat dianjurkan, bahkan diwajibkan oleh regulasi negara. Penulisan berfungsi sebagai alat pembuktian (dalil) dan penegasan niat yang lebih kuat, sesuai dengan anjuran Al-Qur'an mengenai pencatatan utang.
Ini adalah pertanyaan penting dalam fikih muamalah. Akad Shahih (Sah) adalah akad yang memenuhi semua rukun dan syarat sahnya. Akad Fasid (Rusak) adalah akad yang rukunnya terpenuhi tetapi terdapat cacat pada syaratnya (misalnya, objek yang diperjualbelikan tidak jelas). Akad fasid masih bisa diperbaiki (istilah) jika cacatnya dihilangkan. Sementara itu, Akad Batil (Batal) adalah akad yang hilang salah satu rukunnya atau syaratnya bertentangan langsung dengan syariat (seperti jual beli khamr), sehingga sejak awal dianggap tidak pernah terjadi.
Transaksi modern memerlukan analisis mendalam. Contohnya, asuransi konvensional seringkali dianggap fasid atau batil karena unsur gharar (ketidakjelasan) dan maisir (judi) yang melekat pada pembagian risiko. Oleh karena itu, lembaga keuangan syariah harus menciptakan akad alternatif yang sah, seperti Takaful (asuransi kolektif berbasis tolong-menolong), Murabahah (jual beli dengan margin keuntungan), atau Ijarah (sewa), yang masing-masing memiliki struktur akad yang berbeda dan telah dikonsultasikan dengan ulama fiqih muamalah.
Salah satu area yang paling sering menimbulkan keraguan adalah objek akad (Ma'qud 'Alaih). Objek akad harus memenuhi beberapa kriteria ketat: harus ada (maujud), harus halal (bukan barang najis atau haram seperti narkotika), harus mampu diserahterimakan (Qabdh), dan harus diketahui dengan jelas (ma'lum). Misalnya, dalam akad salam (pesanan di muka), barangnya harus jelas spesifikasinya, meskipun penyerahannya ditunda. Ketidakjelasan spesifikasi (gharar) adalah pintu masuk utama yang dapat merusak kesahihan akad.
Perkembangan zaman terus menciptakan bentuk-bentuk transaksi baru. Oleh karena itu, memiliki pemahaman dasar mengenai rukun dan syarat akad hanyalah langkah awal. Para pelaku ekonomi Muslim harus proaktif dalam mencari edukasi lanjutan mengenai fatwa-fatwa terbaru dari dewan syariah terkait instrumen keuangan kontemporer. Dengan landasan akad yang kokoh, transaksi yang dilakukan tidak hanya sah di mata hukum positif tetapi juga diterima dan diberkahi oleh Allah SWT. Mempertanyakan dan mengkaji ulang akad adalah bentuk ketaatan untuk menjaga integritas harta dan hubungan antarmanusia.