Pernikahan, dalam perspektif hukum Islam, bukanlah sekadar perjanjian sosial biasa. Ia adalah sebuah akad (kontrak) yang mengikat dua insan di hadapan Allah SWT dan saksi-saksi. Inti dari akad nikah ini terletak pada dua elemen fundamental yang harus saling bersesuaian: Ijab (penawaran) dan Qabul (penerimaan). Tanpa adanya qabul yang sah, seluruh rangkaian prosesi pernikahan dianggap batal secara syar'i. Memahami seluk-beluk qabul nikah sangat penting untuk memastikan keabsahan hubungan suci tersebut.
Qabul nikah adalah momen puncak di mana mempelai wanita (atau walinya) secara eksplisit menyatakan persetujuan penuhnya atas penawaran pernikahan yang diajukan oleh mempelai pria. Dalam konteks fiqh muamalah, qabul harus memenuhi kriteria tertentu agar dianggap sah secara hukum agama. Kesalahan dalam pengucapan atau pemahaman terhadap makna qabul dapat menimbulkan keraguan besar terhadap status pernikahan yang telah dilangsungkan.
Visualisasi kesepakatan suci (Qabul)
Prosedur pengucapan qabul harus memenuhi beberapa syarat esensial agar akad pernikahan sah. Pertama, **Kejelasan Lafaz**. Qabul harus diucapkan dengan jelas, dapat dipahami oleh penghulu dan saksi, dan tidak boleh samar-samar. Seringkali, lafaz yang digunakan adalah "Saya terima nikahnya..." diikuti nama mempelai wanita dan mahar yang telah disepakati.
Kedua, **Kesamaan Majelis**. Ijab dan Qabul harus terjadi dalam satu majelis akad. Artinya, tidak boleh ada jeda waktu yang terlalu lama antara penawaran dan penerimaan, apalagi sampai kedua belah pihak berpindah tempat secara signifikan, karena hal itu bisa memutus kesinambungan akad.
Ketiga, **Kesesuaian Materi**. Qabul harus merujuk secara pasti pada ijab yang telah diucapkan. Jika ijab menawarkan pernikahan dengan mahar tertentu, qabul tidak boleh menolaknya atau mengubah mahar tersebut tanpa kesepakatan baru. Jika terjadi perubahan substansial, maka itu bukan qabul, melainkan penawaran balik yang memerlukan ijab baru.
Keempat, **Kesesuaian Waktu dan Niat**. Orang yang mengucapkan qabul harus dalam keadaan berakal (baligh dan berakal sehat) dan memiliki niat sungguh-sungguh untuk menerima pernikahan tersebut, bukan sekadar bermain-main atau bercanda.
Dalam tradisi Islam, terdapat dua skenario utama mengenai siapa yang melakukan qabul. Pada umumnya, jika mempelai wanita telah mencapai usia baligh dan mampu memberikan persetujuan lisan, dialah yang berhak mengucapkan qabul secara langsung. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap otonomi pribadi mempelai wanita dalam menentukan jodohnya.
Namun, dalam mazhab Syafi'i dan praktik di banyak negara, wali nikah (biasanya ayah kandung) yang melakukan ijab, dan mempelai pria yang melakukan qabul. Atau, dalam beberapa kondisi, wali yang mewakilkan qabul kepada orang lain, meskipun pandangan yang lebih kuat adalah qabul harus datang dari pihak yang dinikahi (si wanita). Jika wali yang mengucapkan qabul atas nama putrinya, harus dipastikan bahwa wali tersebut memiliki izin dari putrinya atau bertindak berdasarkan kapasitasnya sebagai wali mujbir (wali yang memiliki hak memaksakan pernikahan, meskipun hak ini sangat dibatasi dalam konteks modern).
Terlepas dari siapa yang mengucapkan, prinsip utamanya tetap sama: harus ada persetujuan eksplisit yang mengikat. Keberhasilan proses ini sangat bergantung pada pemahaman semua pihak mengenai formalitas hukum yang berlaku di wilayah mereka, yang biasanya mengacu pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, yang menekankan pentingnya persetujuan kedua belah pihak.
Ketika ijab dan qabul telah terjadi sesuai syarat, maka seketika itu juga ikatan pernikahan dianggap sah dan mengikat secara hukum dan agama. Status mereka berubah dari dua individu menjadi sepasang suami istri yang halal untuk menjalani kehidupan bersama, termasuk hak dan kewajiban timbal balik. Keabsahan ini mengukuhkan hak waris, hak saling mewarisi, kehalalan hubungan seksual, dan kewajiban nafkah.
Oleh karena signifikansinya yang besar, proses qabul nikah selalu disaksikan oleh minimal dua orang saksi pria yang adil (muslim, baligh, berakal, dan merdeka). Kehadiran saksi berfungsi sebagai verifikasi eksternal atas terjadinya akad, sehingga menghindari perselisihan di kemudian hari. Saksi memastikan bahwa tidak ada paksaan tersembunyi dan bahwa lafaz ijab-qabul benar-benar terucap. Singkatnya, qabul nikah adalah fondasi yang menopang bangunan rumah tangga muslim.