Kelahiran seorang anak merupakan nikmat terbesar yang dianugerahkan Allah SWT kepada hamba-Nya. Sebagai wujud syukur atas karunia ini, umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan ibadah yang mulia, salah satunya adalah **Aqiqah**. Aqiqah bukan sekadar tradisi turun-temurun, melainkan sebuah sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang memiliki landasan kuat dalam syariat Islam. Memahami risalah aqiqah menurut sunnah sangat penting agar ibadah ini dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW.
Secara etimologis, kata "Aqiqah" berarti memotong atau membelah. Dalam konteks syariat, Aqiqah adalah penyembelihan hewan ternak sebagai tanda syukur atas kelahiran seorang anak. Hukum melaksanakan aqiqah mayoritas ulama (termasuk empat mazhab utama) adalah **sunnah muakkadah** (sunnah yang sangat dianjurkan). Beberapa ulama bahkan berpendapat hukumnya adalah wajib, namun pendapat yang paling masyhur adalah sunnah.
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Samurah bin Jundub RA, Rasulullah SAW bersabda: "Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama." Hadis ini menegaskan betapa pentingnya amalan aqiqah dalam kaitannya dengan keselamatan dan keberkahan anak.
Jumlah hewan yang disembelih dalam pelaksanaan aqiqah memiliki ketentuan spesifik berdasarkan jenis kelamin anak yang baru lahir:
Sebagian ulama membolehkan penggantian jumlah hewan jika kesulitan, misalnya menyembelih seekor untuk laki-laki, namun yang utama adalah mengikuti tuntunan Rasulullah SAW yaitu dua ekor untuk laki-laki dan satu ekor untuk perempuan.
Waktu terbaik untuk melaksanakan ibadah aqiqah adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran anak. Inilah yang paling sesuai dengan praktik Rasulullah SAW dan sahabat.
Jika karena suatu hal pada hari ketujuh belum dapat dilaksanakan, diperbolehkan menundanya hingga hari ke-empat belas (minggu kedua) atau hari ke-dua puluh satu (minggu ketiga). Jika sampai hari ke-21 pun belum terlaksana, maka ia tetap dianjurkan untuk dilaksanakan pada hari-hari setelahnya, kapan pun ia mampu. Namun, keutamaan tertinggi tetap pada hari ketujuh.
Hewan yang digunakan untuk aqiqah harus memenuhi syarat yang sama dengan hewan qurban. Hewan tersebut haruslah hewan ternak yang sehat dan bebas dari cacat. Syarat-syaratnya meliputi:
Salah satu aspek penting dalam risalah aqiqah adalah tata cara pembagian dagingnya. Sunnah yang dianjurkan adalah bahwa daging hasil sembelihan aqiqah tidak dijual, dan pembagiannya memiliki preferensi tertentu, meskipun ada sedikit perbedaan pendapat di antara ulama mengenai pembagian mentah atau matang. Mayoritas ulama menganjurkan pembagian dalam keadaan mentah kepada fakir miskin dan kerabat.
Secara umum, hasil daging aqiqah dapat dibagi menjadi tiga bagian:
Perlu dicatat, sebagian ulama menganjurkan agar semua daging dibagikan dalam keadaan mentah, sementara yang lain membolehkan sebagiannya dimasak untuk disuguhkan kepada para tetangga dan kerabat sebagai bentuk syukuran. Yang terpenting adalah niat berbagi kebahagiaan dan melaksanakan sunnah Rasulullah SAW.
Pelaksanaan aqiqah membawa banyak hikmah yang mendalam. Selain sebagai ekspresi syukur kepada Allah SWT atas titipan anak, aqiqah juga berfungsi sebagai penebus dari potensi bala atau musibah yang mungkin menimpa anak tersebut, sebagaimana pemahaman dari beberapa riwayat. Aqiqah juga merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan berbagi kebahagiaan dengan sesama, terutama kaum duafa, melalui pembagian dagingnya.
Dengan memahami dan melaksanakan risalah aqiqah menurut sunnah, seorang muslim telah menunaikan hak anak yang baru lahir dan meneladani ajaran Rasulullah SAW dalam menyambut anggota keluarga baru dengan penuh keberkahan.