Sighat Akad Ilustrasi Jabat Tangan dan Cincin Pernikahan

Memahami Esensi Sighat Pernikahan dalam Islam

Pernikahan dalam Islam bukan sekadar ikatan sosial atau urusan administratif semata. Ia adalah sebuah ibadah agung yang disaksikan oleh Allah SWT dan mengandung konsekuensi hukum serta spiritual yang mendalam. Inti dari sahnya pernikahan terletak pada terpenuhinya rukun dan syarat yang telah ditetapkan syariat, dan di antara pilar terpenting tersebut adalah adanya sighat pernikahan. Sighat, secara harfiah berarti "ucapan" atau "formula", merupakan ijab kabul yang menjadi penentu legalitas ikatan suci ini.

Definisi dan Kedudukan Sighat

Sighat pernikahan merujuk pada serah terima resmi antara wali (atau yang mewakilinya) dan calon mempelai pria, yang di dalamnya terdapat dua unsur utama: Ijab dan Qabul. Ijab adalah ucapan penyerahan (misalnya dari wali perempuan), sedangkan Qabul adalah ucapan penerimaan (oleh mempelai pria). Keduanya harus sinkron, jelas maknanya, dan dilakukan dalam satu majelis, meski para ulama memiliki sedikit perbedaan pandangan mengenai batasan waktu antara Ijab dan Qabul tersebut.

Kedudukan sighat ini sangat vital. Tanpa adanya ijab qabul yang sah, pernikahan dianggap batal demi hukum syar’i, meskipun kedua belah pihak telah berkumpul, mengadakan resepsi mewah, atau bahkan telah melakukan hubungan suami istri. Sighat adalah manifestasi verbal dari kerelaan kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam hubungan yang diridai Allah. Ini membuktikan bahwa dalam Islam, niat baik saja tidak cukup; diperlukan ekspresi yang jelas dan terstruktur.

Komponen Kunci dalam Formula Sighat

Agar sebuah sighat pernikahan dianggap sah, beberapa komponen harus terpenuhi dalam rangkaian Ijab dan Qabul tersebut. Pertama, harus jelas pihak-pihak yang terlibat: calon suami, calon istri (diwakili wali), dan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Kedua, objek akad (pernikahan) harus jelas, yaitu siapa yang dinikahkan dengan siapa. Ketiga, mahar (maskawin) harus disebutkan atau disepakati, karena mahar merupakan syarat sahnya akad nikah menurut mazhab Syafi'i dan Hanbali, meskipun mazhab Hanafi dan Maliki menganggapnya sebagai kewajiban setelah akad sah.

Contoh klasik dari sighat yang dianjurkan adalah menggunakan lafaz yang tegas dan langsung merujuk pada pernikahan, seperti:

Penggunaan kata seperti "kawin" atau "nikah" sangat dianjurkan. Meskipun beberapa ulama membolehkan lafaz kinayah (sindiran) jika konteksnya sangat jelas dan tidak ada keraguan, mayoritas ulama sepakat bahwa lafaz sharih (tegas) lebih aman untuk menjaga kesucian akad pernikahan dan menghindari kerancuan hukum.

Pentingnya Bahasa dalam Sighat

Bagaimana dengan bahasa yang digunakan dalam sighat pernikahan? Secara historis, bahasa Arab adalah bahasa yang paling sering digunakan karena merupakan bahasa Al-Qur'an dan Hadits. Namun, dalam perkembangannya, para fuqaha (ahli fikih) sepakat bahwa akad nikah sah jika dilakukan dengan bahasa apa pun yang dipahami oleh kedua belah pihak (wali dan mempelai pria) serta para saksi.

Di Indonesia, praktik yang umum adalah menggunakan bahasa Arab untuk Ijab dan Qabul, diikuti terjemahan atau penegasan dalam Bahasa Indonesia. Ini dilakukan untuk menjaga kekhusyukan mengikuti sunnah, sekaligus memastikan semua pihak memahami substansi dari janji yang mereka ucapkan. Intinya, formula yang diucapkan harus menyampaikan makna pernikahan tanpa keraguan sedikit pun mengenai kerelaan dan penerimaan. Jika salah satu pihak salah ucap atau tidak mengerti apa yang diucapkannya, maka akad tersebut berpotensi batal dan memerlukan peninjauan ulang. Oleh karena itu, persiapan menjelang akad, termasuk gladi resik akad nikah, sangat penting untuk memastikan kelancaran prosesi ini.

Menjaga Keabsahan di Era Modern

Di era modern, kemudahan komunikasi terkadang menimbulkan tantangan baru terhadap keabsahan sighat pernikahan. Misalnya, apakah akad bisa dilakukan melalui telepon atau video call? Secara umum, mayoritas ulama kontemporer cenderung membatasi keabsahan akad jarak jauh ini karena sulitnya memastikan kehadiran saksi yang mendengar langsung dan terhindarnya dari gangguan teknis yang dapat merusak kejelasan sighat. Akad harus terjadi dalam satu majelis yang dapat diverifikasi secara fisik, di mana wali, mempelai pria, dan minimal dua saksi hadir bersamaan.

Kesimpulannya, sighat pernikahan adalah fondasi ritualistik yang memastikan legalitas hubungan suami istri dalam pandangan syariat Islam. Ia harus diucapkan dengan sengaja, jelas maknanya, mencakup Ijab dan Qabul, serta disaksikan oleh pihak yang memenuhi syarat. Memahami dan melaksanakan sighat ini dengan benar adalah langkah pertama menuju terwujudnya rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

🏠 Homepage