Akad nikah, dalam konteks pernikahan modern, adalah momen sakral yang mengikat janji suci antara mempelai pria dan wanita. Namun, bagi masyarakat Sunda, prosesi ini seringkali diperkaya dan dibingkai oleh serangkaian akad adat Sunda yang sarat makna dan filosofi luhur. Prosesi adat ini bukan sekadar formalitas, melainkan penegasan komitmen terhadap nilai-nilai leluhur, tatanan sosial, dan harmoni spiritual.
Berbeda dengan daerah lain, pernikahan adat Sunda menempatkan unsur alam, kesederhanaan yang anggun, serta penghormatan mendalam terhadap orang tua dan sesepuh sebagai inti dari setiap ritual. Ketika momen akad tiba, ketegangan sekaligus keindahan budaya terpancar jelas.
Makna di Balik Prosesi Sakral
Inti dari pernikahan Sunda tetaplah akad nikah yang sesuai syariat (jika mayoritas Muslim), tetapi rangkaian sebelum dan sesudah akad lah yang membedakannya. Setiap tahapan memiliki makna simbolis yang mendalam, mengajarkan tanggung jawab baru bagi kedua insan yang akan membangun rumah tangga.
1. Nincak Endog (Menginjak Telur)
Salah satu ritual ikonik sebelum atau sesudah ijab kabul adalah 'Nincak Endog'. Pengantin pria menginjak sebutir telur ayam kampung yang telah dihias cantik. Ritual ini melambangkan kesiapan mempelai pria untuk mengambil peran sebagai kepala rumah tangga, memikul tanggung jawab, serta menghormati dan membimbing istrinya. Setelah diinjak, mempelai wanita kemudian membasuh kaki suaminya, simbol dari pengabdian dan rasa hormat yang harus dijaga.
2. Munjungan atau Sawér
Prosesi akad adat Sunda seringkali dilanjutkan dengan Munjungan, yaitu sesi sungkeman yang lebih formal kepada kedua belah pihak orang tua. Namun, yang paling memeriahkan suasana adalah Sawér. Dalam Sawér, orang tua atau sesepuh akan menaburkan beras kuning, uang receh, kembang tujuh rupa, dan parutan kelapa ke atas kepala kedua mempelai. Ini adalah doa restu agar pasangan baru selalu diberkahi kelimpahan rezeki, kesuburan, dan kebahagiaan.
Berbeda dengan beberapa adat lain yang lebih menekankan kemewahan, filosofi Sunda menekankan pada kecukupan (cukup dina harti, cukup dina nyawa) yang tercermin dalam Sawér.
Busana dan Perlengkapan Akad
Penampilan dalam akad adat Sunda juga memiliki kekhasan tersendiri. Pengantin wanita (Nyi Raden) biasanya mengenakan Siger, mahkota megah yang melambangkan kemuliaan dan kebijaksanaan seorang wanita. Sementara pengantin pria (Pangeran) mengenakan Bendo (penutup kepala) dan busana yang disesuaikan, seringkali dengan warna-warna yang selaras dengan nuansa keemasan atau merah marun.
Perlengkapan lain yang sering hadir adalah:
- Kembang Tujuh Rupa: Melambangkan tujuh hal yang harus dijaga dalam pernikahan.
- Panghulu: Tokoh adat atau penghulu yang memimpin prosesi resmi.
- Panghulu dan Hantaran: Benda-benda yang dibawa sebagai simbol kesanggupan calon suami.
Keharmonisan dalam Kesederhanaan
Meskipun prosesi adatnya cukup panjang, spirit utama dari pernikahan Sunda adalah kesederhanaan yang bermakna (someah). Penekanan bukan pada seberapa mahal dekorasi, melainkan seberapa tulus doa dan janji yang terucap saat akad. Inti dari semua ritual adalah mencapai Sakinah, Mawaddah, Warahmah, yang dalam bahasa Sunda diterjemahkan sebagai kehidupan yang tenteram, penuh cinta, dan saling menyayangi.
Memahami akad adat Sunda berarti memahami kearifan lokal yang mengajarkan bahwa pernikahan adalah penyatuan dua keluarga, bukan hanya dua individu. Setiap langkah ritual adalah pengingat bahwa ikatan suci ini harus dijaga dengan rasa hormat, ketulusan, dan kesinambungan tradisi yang diwariskan turun-temurun.
Hingga kini, banyak pasangan Sunda yang memilih mengintegrasikan elemen adat ini ke dalam resepsi modern mereka, memastikan bahwa warisan budaya ini tetap hidup dan relevan, sekaligus menjadi saksi bisu janji suci yang diikrarkan di hadapan Tuhan dan alam semesta.