Memahami Akad Hibah: Pengertian, Syarat, dan Implementasinya

Pemberi Penerima Objek Akad Hibah

Ilustrasi Sederhana Proses Akad Hibah

Akad hibah merupakan salah satu bentuk perjanjian yang sangat umum dalam kehidupan bermasyarakat, baik dari perspektif hukum perdata maupun hukum Islam. Secara fundamental, hibah adalah pemberian sukarela dari seseorang (penghibah) kepada orang lain (penerima hibah) tanpa adanya imbalan atau kontraprestasi. Konsep ini mengandung nilai sosial yang tinggi, mendorong kedermawanan, dan seringkali digunakan sebagai sarana perencanaan waris atau dukungan sosial.

Dalam konteks hukum positif di Indonesia, ketentuan mengenai hibah diatur secara spesifik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1690. Sementara itu, dalam perspektif Islam, hibah memiliki kedudukan yang kuat dan dianjurkan sebagai amal kebajikan. Meskipun tujuannya sama—perpindahan hak milik tanpa bayaran—terdapat sedikit perbedaan dalam rukun dan syarat formalitas pelaksanaannya antara hukum positif dan syariah.

Rukun dan Syarat Sah Akad Hibah

Agar akad hibah dianggap sah dan mengikat secara hukum, baik penghibah, penerima hibah, maupun objek hibah harus memenuhi syarat tertentu. Rukun utama yang harus ada dalam akad hibah meliputi:

Perbedaan Formalitas Menurut Hukum Positif dan Syariah

Perbedaan signifikan sering muncul pada tahap formalitas penyerahan dan penerimaan hak milik. Dalam KUHPerdata, Pasal 1667 menyebutkan bahwa hibah atas benda tidak bergerak (seperti tanah dan bangunan) harus dilakukan dengan akta otentik (akta notaris) agar sah. Jika hibah hanya berupa barang bergerak yang tidak berwujud (misalnya uang), penyerahan tunai sudah cukup.

Sementara itu, dalam fikih Islam, penekanan lebih diletakkan pada penyerahan (qabdh) nyata atas objek hibah. Ketika akad telah selesai (ijab kabul), kepemilikan berpindah seketika, meskipun terkadang dianjurkan untuk dilakukan secara tertulis untuk tujuan pembuktian di kemudian hari. Jika objek hibah adalah barang bergerak, penyerahan fisik adalah kunci. Jika objeknya adalah benda tidak bergerak (tanah), ulama kontemporer umumnya menganjurkan pencatatan resmi demi kepastian hukum dan menghindari sengketa.

Pencabutan dan Batasan Akad Hibah

Salah satu karakteristik penting dari hibah adalah sifatnya yang mengikat setelah diserahkan secara sempurna, namun dalam kondisi tertentu, hibah dapat dicabut. Menurut KUHPerdata, hibah umumnya tidak dapat ditarik kembali, kecuali dalam kasus-kasus yang diizinkan oleh undang-undang, seperti jika penerima hibah melakukan perbuatan penganiayaan berat terhadap penghibah, atau jika ada kondisi-kondisi khusus yang ditentukan dalam perjanjian awal.

Dalam hukum Islam, pencabutan hibah (terutama antara suami-istri atau orang tua kepada anak) diperbolehkan dalam kondisi tertentu, meski mayoritas ulama memandang hibah yang sudah selesai adalah mengikat. Namun, jika hibah tersebut belum diserahkan sepenuhnya (belum terjadi qabdh), maka penghibah masih memiliki hak untuk menariknya kembali. Batasan lain yang krusial adalah bahwa penghibah tidak boleh menghibahkan harta yang merupakan bagian dari harta bersama (jika tidak seizin pasangan) atau harta yang masih menjadi tanggung jawab utang yang belum terbayar.

Implikasi Pajak dan Administrasi

Di Indonesia, hibah yang sah dan telah dipenuhi rukunnya, khususnya benda tidak bergerak, memerlukan proses administrasi yang lengkap. Meskipun penghibah tidak menerima uang, transaksi ini tetap memiliki konsekuensi perpajakan. Dalam konteks Pajak Penghasilan (PPh), hibah seringkali dikecualikan dari objek PPh bagi penerima, asalkan memenuhi syarat tertentu dan dilaporkan dengan benar. Namun, proses balik nama sertifikat tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan melibatkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), meskipun tarifnya mungkin berbeda dibandingkan jual beli, tergantung regulasi daerah setempat.

Oleh karena kompleksitas yuridis dan administratif ini, sangat disarankan bagi para pihak yang akan melakukan akad hibah, terutama atas aset bernilai tinggi seperti properti, untuk berkonsultasi dengan notaris atau ahli hukum. Memastikan semua rukun terpenuhi dan formalitas diadministrasikan dengan benar adalah kunci untuk menjamin legalitas dan ketenangan transaksi di masa mendatang. Akad hibah adalah bentuk amal yang mulia, namun pelaksanaan yang tepat memastikan kemuliaan tersebut terlindungi oleh hukum.

🏠 Homepage