Akidah Ibnu Taimiyah: Pemurnian Tauhid

T

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah salah satu figur intelektual Islam yang paling berpengaruh, terutama dalam bidang akidah atau teologi. Karyanya merepresentasikan sebuah upaya gigih untuk memurnikan pemahaman keesaan Allah (Tauhid) dari segala bentuk bid'ah dan penyimpangan yang menurutnya telah merusak kemurnian ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Akidah yang dianutnya dikenal sebagai metodologi yang sangat ketat berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah, sebagaimana dipahami oleh generasi sahabat dan salafus saleh.

Fondasi Utama: Kembali kepada Salafus Saleh

Inti dari manhaj akidah Ibnu Taimiyah adalah prinsip ittiba’ (mengikuti) secara buta terhadap pemahaman para pendahulu yang saleh (Salafus Saleh). Ia menolak keras interpretasi teologis yang bersifat spekulatif atau filosofis yang dianggapnya tidak bersumber langsung dari nash syar'i. Bagi Ibnu Taimiyah, jalan keselamatan umat terletak pada konsistensi dalam mengikuti jejak Nabi dan para sahabat, tanpa menambah atau mengurangi interpretasi yang tidak memiliki dasar kuat dalam tradisi Islam awal.

Sikap Terhadap Sifat-Sifat Allah (Asma' wa Sifat)

Salah satu area perdebatan paling sengit yang ia tangani adalah masalah nama dan sifat Allah (Asma' wa Sifat). Ibnu Taimiyah teguh menganut metode Itsbat (penetapan) tanpa tahrif (penyelewengan makna), ta'thil (peniadaan), tamtsil (penyerupaan), dan takyif (pertanyaan bagaimana).

Prinsipnya adalah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, dengan keyakinan bahwa sifat-sifat tersebut ada dan sesuai dengan keagungan Allah, tanpa menyerupai makhluk-Nya. "Allah beristiwa di atas 'Arsy, sebagaimana Dia tetapkan bagi diri-Nya, tanpa bagaimana (kayfiyyat)," adalah ringkasan pendek dari pendekatan ini.

Penolakan terhadap Bid'ah dan Kekeliruan Kalam

Ibnu Taimiyah mengkritik tajam mazhab-mazhab kalam (teologi rasionalis) yang dominan pada masanya, seperti Asy'ariyah dan Maturidiyah, meskipun ia menghormati ulama-ulama mereka. Ia berpendapat bahwa upaya mereka menggunakan logika filosofis Yunani untuk membuktikan atau menafsirkan akidah justru menjauhkan umat dari kesederhanaan dan kemurnian tauhid. Kritik ini seringkali diarahkan pada konsep-konsep seperti konsep kalam nafsy (firman batin Allah) atau penafsiran sifat-sifat Allah secara metaforis yang ekstrem.

Dalam konteks tasawuf, ia juga mengkritik praktik-praktik yang dianggapnya menyimpang dari syariat, seperti penggunaan wasilah (perantaraan) kepada orang mati, ziarah kubur yang berlebihan, dan praktik-praktik sufi tertentu yang ia pandang sebagai bentuk takhayul atau syirik kecil. Baginya, penghormatan terbesar kepada wali dan orang saleh adalah dengan mengikuti petunjuk ajaran mereka, bukan dengan mengkultuskan kuburan atau memohon pertolongan kepada mereka setelah mereka wafat.

Dampak dan Warisan Pemikiran

Meskipun ajarannya sering menimbulkan kontroversi di kalangan arus utama pada masanya, pengaruh Ibnu Taimiyah tidak dapat diabaikan. Pemikirannya memberikan landasan kuat bagi gerakan pemurnian tauhid yang muncul kemudian. Ketegasannya dalam menolak bid'ah dan fokusnya pada otoritas teks (Al-Qur'an dan Sunnah) menjadikannya rujukan utama bagi banyak ulama yang ingin mengembalikan umat kepada manhaj salaf. Karyanya yang monumental, seperti Majmu' Fatawa dan Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, terus dipelajari hingga saat ini sebagai referensi mendalam mengenai bagaimana mempertahankan akidah yang kokoh dan murni.

Singkatnya, akidah Ibnu Taimiyah adalah seruan untuk kembali kepada sumber otentik Islam, menolak kerumitan filsafat yang tidak perlu, dan membangun pemahaman keagamaan di atas fondasi tekstual yang kuat dan teruji oleh praktik generasi pertama umat Islam.

🏠 Homepage