Memahami Akidah Khawarij: Sejarah dan Implikasi

Pengenalan Tentang Khawarij

Khawarij, secara harfiah berarti "mereka yang keluar," adalah salah satu sekte atau kelompok sempalan awal dalam sejarah Islam. Kemunculan mereka berakar pada gejolak politik dan perselisihan sengit yang terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, terutama pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Doktrin dan akidah mereka sering kali dianggap ekstrem dan menyimpang dari arus utama ajaran Sunni maupun Syiah, terutama dalam hal penentuan status seorang Muslim.

Secara historis, titik balik utama yang melahirkan Khawarij adalah peristiwa Tahkim (arbitrase) antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan setelah Pertempuran Shiffin. Sekelompok besar pendukung Ali merasa dikhianati karena menerima arbitrase, yang mereka anggap sebagai pelanggaran terhadap otoritas Tuhan. Frasa terkenal mereka saat memisahkan diri adalah "La Hukma Illa Lillah" (Tidak ada hukum kecuali milik Allah), yang meskipun pada dasarnya benar, diterapkan dalam konteks yang menolak otoritas manusia secara mutlak, termasuk pemimpin yang sah.

Simbolisasi perpecahan ideologi Sunni/Mayoritas Khawarij Perbedaan Akidah

Visualisasi sederhana mengenai perpecahan ideologis.

Pilar Utama Akidah Khawarij

Akidah Khawarij dicirikan oleh beberapa prinsip inti yang membuat mereka berbeda secara radikal dari pandangan ortodoks. Salah satu doktrin paling kontroversial mereka adalah mengenai konsep takfir (pengkafiran). Khawarij memiliki standar yang sangat tinggi dan kaku terhadap keimanan.

Bagi mereka, melakukan dosa besar (seperti berbohong, minum khamr, atau bahkan kesalahan fatal dalam kepemimpinan) berarti seseorang telah keluar dari Islam (murtad). Konsekuensinya, mereka menganggap semua pemimpin Muslim yang melakukan dosa besar atau membuat keputusan yang mereka tolak sebagai Thagut (penyembah berhala) dan harus diperangi.

Doktrin ini juga mencakup penolakan terhadap otoritas khalifah yang dipilih secara populer jika khalifah tersebut melakukan penyimpangan kecil menurut standar ketat mereka. Hal ini memungkinkan mereka untuk membenarkan pemberontakan bersenjata terhadap penguasa Muslim yang sah, bahkan jika penguasa tersebut pada dasarnya adalah seorang Muslim. Selain itu, mereka menolak konsep 'status iman antara dua status' (iman dan kufur), menegaskan bahwa seseorang harus 100% mukmin atau 100% kafir.

Dampak Jangka Panjang dan Relevansi Kontemporer

Meskipun kelompok Khawarij historis seperti Azariqah dan Najdat melemah seiring waktu dan dihancurkan oleh kekuatan kekhalifahan, benih-benih akidah mereka tidak pernah sepenuhnya hilang. Pemikiran ekstrem ini mengalami kebangkitan dalam berbagai bentuk sepanjang sejarah Islam.

Dalam konteks modern, banyak kelompok militan atau ekstremis kontemporer yang tindakannya dan pembenaran ideologisnya memiliki kemiripan signifikan dengan akidah Khawarij awal. Penggunaan takfir yang luas terhadap sesama Muslim yang berbeda pandangan politik atau mazhab, pembenaran pembunuhan terhadap sipil atau pejabat pemerintah yang mereka anggap "dosa," serta penolakan terhadap sistem pemerintahan sekuler atau yang dianggap tidak Islami secara murni, semuanya mencerminkan warisan metodologi Khawarij.

Para ulama arus utama secara konsisten menolak metodologi Khawarij karena mengarah pada kekacauan sosial (fitnah) dan pembunuhan massal. Mereka menekankan pentingnya toleransi, penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an secara kontekstual, dan mengakui adanya ruang kesalahan bagi seorang pemimpin Muslim tanpa harus langsung menyatakannya kafir. Memahami akidah Khawarij bukan hanya kajian sejarah, tetapi juga penting untuk melawan ideologi kekerasan modern yang mencoba membenarkan tindakannya dengan narasi keagamaan yang sempit dan eksklusif. Pemahaman yang benar tentang akidah ini membantu membedakan antara kritik yang konstruktif dan ekstremisme yang merusak.

🏠 Homepage