Pondasi Keimanan: Memahami Aqidah Hasan al Banna

Ilustrasi Pilar Aqidah Visualisasi pilar-pilar keimanan sebagai fondasi. Tauhid Nubuwwah Kitab Suci Akhirat Takdir

Hasan al Banna, seorang ulama dan pendiri Ikhwanul Muslimin, tidak hanya dikenal karena gerakan dakwahnya, tetapi juga karena penegasan metodologisnya terhadap fondasi keimanan Islam. Aqidah yang diajarkan dan ditekankan oleh beliau merupakan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang dihayati secara integral dan aplikatif dalam kehidupan. Aqidah bukan sekadar seperangkat teori yang dihafal, melainkan prinsip hidup yang membentuk karakter dan perilaku seorang Muslim.

Karakteristik Utama Aqidah Menurut Hasan al Banna

Aqidah dalam pandangan Hasan al Banna haruslah berakar kuat pada sumber utama Islam: Al-Qur'an dan As-Sunnah. Beliau menekankan bahwa pemahaman keimanan harus bebas dari taklid buta (mengikuti tanpa dalil) dan harus dihayati dengan akal yang sehat serta hati yang murni. Tiga pilar utama yang selalu beliau tekankan dalam kerangka keimanan adalah:

1. Keimanan yang Terinternalisasi (Iman Qauli, Qalbi, wa Amali)

Aqidah yang benar harus meliputi tiga aspek. Pertama, pengakuan lisan (*qauli*), yaitu mengucapkan syahadat dengan benar. Kedua, pembenaran hati (*qalbi*), yaitu keyakinan yang mantap tanpa keraguan sedikit pun terhadap rukun iman. Ketiga, pembuktian melalui amal perbuatan (*amali*). Bagi Hasan al Banna, iman yang hanya ada di lisan tanpa dibuktikan dengan amal saleh adalah iman yang rapuh dan tidak sempurna. Inilah yang membedakan konsep keimanan yang diusung beliau; iman harus menghasilkan tindakan nyata dalam segala aspek kehidupan, baik ibadah ritual maupun muamalah sosial.

2. Kesatuan (Tauhid) sebagai Sentral

Inti dari seluruh ajaran Islam adalah Tauhid—pengesaan Allah SWT. Aqidah Hasan al Banna menempatkan Tauhid Rububiyah (Allah sebagai Pencipta), Uluhiyah (Allah satu-satunya yang berhak disembah), dan Asma wa Sifat (nama dan sifat Allah) sebagai fondasi tak tergoyahkan. Penekanan ini bertujuan untuk meluruskan segala bentuk penyimpangan akidah, baik itu dalam bentuk pemujaan terhadap selain Allah, takhayul, maupun pemisahan antara urusan dunia dan akhirat.

3. Implikasi Sosial dan Etika Keimanan

Berbeda dengan pemikiran yang memisahkan ranah spiritual dan sosial, Hasan al Banna mengajarkan bahwa aqidah yang sahih harus termanifestasi dalam kepedulian sosial. Ketika seseorang beriman kepada Hari Pembalasan, ia akan termotivasi untuk berlaku adil dan berbuat baik kepada sesama. Keimanan kepada takdir (Qada dan Qadar) tidak lantas menumbuhkan sikap pasrah yang fatalistik, melainkan memotivasi untuk berikhtiar maksimal, sebab hasil akhir adalah hak prerogatif Allah. Ini adalah sintesis antara spiritualitas yang mendalam dan tanggung jawab sosial yang tinggi.

Pentingnya Mempertahankan Aqidah yang Murni

Dalam konteks zamannya, Hasan al Banna melihat bahwa umat Islam terancam oleh berbagai ideologi asing dan kemunduran spiritual. Oleh karena itu, pemurnian akidah menjadi langkah awal yang krusial sebelum melakukan reformasi di bidang lain. Tanpa aqidah yang kokoh, upaya perbaikan ekonomi, politik, atau pendidikan akan mudah goyah dan kehilangan arah. Aqidah adalah kompas yang menentukan arah gerak seorang individu maupun kolektif. Ia adalah benteng pertahanan dari keraguan, penyimpangan, dan perpecahan.

Secara ringkas, aqidah menurut Hasan al Banna adalah kerangka pemahaman keimanan yang dinamis, berbasis dalil shahih, dan selalu menuntut manifestasi nyata dalam setiap aspek kehidupan seorang Muslim. Ini bukan hanya persoalan keyakinan pribadi, melainkan cetak biru untuk membangun peradaban yang Islami.

🏠 Homepage