Memahami Pilar Keimanan: Aqidah Ibnu Katsir

Aqidah ATSAR

Representasi visual keteguhan sumber ajaran Islam.

Imam Al-Hafizh ‘Imaduddin Isma’il bin Katsir Ad-Dimasyqi, atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Katsir, adalah salah satu ulama terkemuka di abad ke-8 Hijriyah. Selain dikenal sebagai mufassir agung melalui kitab fenomenalnya, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, pemikiran dan landasan teologis (aqidah) beliau menjadi rujukan penting, terutama dalam tradisi Sunni mazhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Mempelajari aqidah Ibnu Katsir berarti menyelami pemahaman Islam yang murni, bersumber langsung dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana dipahami oleh para Sahabat dan Tabi'in.

Keterikatan Kuat pada Salafush Shalih

Prinsip utama yang mendasari seluruh pandangan teologis Ibnu Katsir adalah kepatuhannya yang mutlak terhadap manhaj (metodologi) Salafush Shalih. Bagi Ibnu Katsir, masalah-masalah akidah adalah masalah yang telah selesai dibahas dan ditetapkan oleh generasi awal umat Islam. Oleh karena itu, beliau sangat menghindari inovasi (bid'ah) dalam tata cara beragama dan keyakinan. Ketika menjelaskan sifat-sifat Allah, misalnya, beliau berpegang teguh pada apa yang telah dinaskan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah tanpa melakukan ta'thil (peniadaan), tamtsil (penyerupaan), atau tahrif (pengubahan makna).

Aqidah Ibnu Katsir sangat terpoles oleh pemahamannya yang mendalam terhadap hadis. Kitab-kitab beliau, baik tafsir maupun sirah (seperti Al-Bidayah wa An-Nihayah), selalu menampilkan penegasan bahwa dalil naqli (teks) adalah otoritas tertinggi dalam penetapan keyakinan. Jika sebuah keyakinan tidak memiliki dasar kuat dari nash, maka keyakinan tersebut patut dipertanyakan validitasnya dalam pandangan beliau. Ketegasan ini memposisikannya sebagai pembela utama tradisi Sunni yang kokoh.

Sikap Terhadap Kalam dan Filsafat

Salah satu ciri menonjol dalam aqidah Ibnu Katsir adalah sikap skeptisnya terhadap ilmu kalam (teologi rasional) yang berkembang pesat pada masanya. Meskipun beliau hidup di tengah dominasi pemikiran Asy'ariyah yang banyak menggunakan pendekatan rasional, Ibnu Katsir cenderung bersikap hati-hati dan cenderung menolak penggunaan logika spekulatif yang bertentangan dengan teks agama. Beliau melihat bahwa perdebatan filosofis sering kali menjauhkan umat dari kebenaran yang jernih.

Prinsip "Asal dalam ibadah adalah tauqif (terikat dalil)" sangat ditekankan. Dalam pembahasan tentang Rububiyyah (keesaan Allah sebagai Pencipta) dan Uluhiyyah (hak untuk disembah), aqidah beliau sangat lurus. Beliau menegaskan bahwa hanya Allah semata yang berhak mendapatkan ibadah, menolak segala bentuk perantaraan yang mengarah pada syirik, sesuai dengan pemahaman murni Tauhid Ibrahimi.

Pentingnya Mempelajari Aqidah Beliau Saat Ini

Di era informasi saat ini, di mana berbagai aliran pemikiran dan penyimpangan akidah mudah tersebar, mempelajari aqidah yang dianut oleh ulama seperti Ibnu Katsir menjadi sangat relevan. Pemahaman ini berfungsi sebagai benteng. Dengan berpegang teguh pada manhaj beliau—yaitu kembali kepada Al-Qur'an, As-Sunnah, dan pemahaman Sahabat—umat dapat menyaring informasi yang datang dan mempertahankan fondasi keimanan yang kokoh, bebas dari keraguan filosofis atau penyimpangan sekte.

Aqidah Ibnu Katsir adalah cerminan kejernihan akidah Islam yang tidak ternoda oleh interpretasi berlebihan. Ini adalah ajaran yang mengajak seorang Muslim untuk menerima apa yang datang dari wahyu secara utuh, tanpa memaksakannya masuk ke dalam kerangka berpikir yang diciptakan oleh akal manusia. Inilah warisan keilmuan beliau yang terus menerangi jalan umat Islam hingga hari ini, memastikan bahwa keimanan tegak di atas pilar yang tidak tergoyahkan.

🏠 Homepage