Memahami Aqidah Maturidi dalam Islam

M Keseimbangan

Ilustrasi konsep keseimbangan dalam pemikiran teologi.

Pengantar Aqidah Maturidi

Aqidah Maturidi merupakan salah satu corak pemikiran teologi Sunni yang paling dominan di dunia Islam, khususnya di kalangan penganut mazhab Hanafi. Nama aliran ini diambil dari pendirinya, Imam Abu Mansur al-Mataridi (wafat 333 H/944 M), seorang ulama besar dari Transoxiana (Asia Tengah). Maturidiyah muncul sebagai respons terhadap tantangan pemikiran filosofis dan teologis pada masanya, bertujuan untuk mempertahankan prinsip-prinsip dasar Islam (Ahlussunnah wal Jama’ah) dengan menggunakan pendekatan rasional yang terukur.

Berbeda dengan beberapa aliran teologi lainnya, Maturidiyah dikenal karena pendekatannya yang moderat dan kompromistis antara mengandalkan dalil naqli (wahyu: Al-Qur'an dan Sunnah) serta dalil aqli (akal sehat). Bagi Maturidiyah, akal memiliki peran penting dalam memahami kebenaran agama, namun akal tidak bisa berdiri sendiri tanpa bimbingan wahyu. Keseimbangan inilah yang menjadi ciri khas utama dalam metodologi pemikiran mereka.

Dasar-Dasar Utama Aqidah Maturidi

Pemikiran teologis Maturidiyah dibangun di atas beberapa pilar fundamental yang membedakannya dari aliran lain. Salah satu pembahasan terpenting adalah mengenai sifat-sifat Allah (Asma' wa Sifat). Kaum Maturidi menetapkan bahwa sifat-sifat Allah harus diimani sesuai dengan teks wahyu, namun interpretasinya harus dilakukan tanpa menjumpai penyerupaan (tasybih) dengan makhluk, sekaligus menghindari penolakan (ta’til) terhadap makna yang dimaksud. Mereka menerapkan konsep tafwidh (menyerahkan makna hakikat kepada Allah) untuk sifat-sifat yang dianggap memerlukan interpretasi mendalam, seperti istiwa’ (bersemayam di atas Arsy).

Dalam isu kalam (teologi lisan) dan potensi manusia, Maturidiyah memiliki pandangan yang khas mengenai perbuatan manusia. Mereka menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, termasuk perbuatan hamba-Nya. Namun, manusia memiliki kasb (perolehan atau usaha) yang menjadi dasar pertanggungjawaban moral. Meskipun Allah menciptakan perbuatan tersebut, manusia yang memilih dan mengusahakannya, sehingga ia bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Hal ini menunjukkan adanya upaya Maturidiyah untuk menjaga konsep kehendak bebas manusia sambil tetap menegaskan kemahakuasaan dan keesaan Allah dalam penciptaan.

Peran Akal dan Wahyu

Posisi Maturidiyah terhadap akal sangat penting. Mereka mengakui bahwa akal mampu mengetahui beberapa kebenaran dasar, seperti adanya Tuhan dan beberapa kebaikan atau keburukan, bahkan tanpa wahyu. Namun, untuk perkara-perkara yang bersifat ghaib (metafisik) dan rincian hukum (syariat), akal sangat bergantung pada bimbingan wahyu. Akal berfungsi sebagai alat untuk memahami dan menerima kebenaran yang dibawa oleh nabi dan rasul, bukan sebagai penentu akhir kebenaran itu sendiri.

Pendekatan ini membantu Maturidiyah membangun jembatan antara fondasi iman tradisional dengan tuntutan rasionalitas yang semakin berkembang di kalangan umat Islam pada masa kejayaan peradaban Islam. Kemampuan mereka untuk mengintegrasikan penalaran logis dengan keyakinan tekstual telah menjadikan pemikiran ini diterima secara luas dan bertahan lama.

Pengaruh dan Warisan

Warisan intelektual Aqidah Maturidi sangat besar. Selain menjadi landasan teologi mayoritas penganut mazhab Hanafi, pandangan mereka juga diadopsi oleh banyak ulama besar dari mazhab lain. Ajaran ini memberikan kerangka berpikir yang kokoh bagi umat Islam untuk menghadapi keraguan filosofis dan mempertahankan keyakinan Sunni. Hingga kini, ajaran Maturidi tetap menjadi salah satu benteng utama dalam teologi Islam, memberikan panduan yang seimbang antara iman yang mendalam dan pemahaman yang rasional.

Secara keseluruhan, Aqidah Maturidi adalah ekspresi keilmuan Islam yang menekankan moderasi, keseimbangan antara iman dan akal, serta upaya mendalam untuk memahami dan membela ajaran Islam yang murni tanpa terjerumus pada ekstremitas pemikiran.

🏠 Homepage