Aqiqah merupakan salah satu praktik mulia dalam Islam yang erat kaitannya dengan kelahiran seorang anak. Secara etimologis, 'aqiqah' berasal dari bahasa Arab yang berarti 'memotong' atau 'rambut bayi yang baru lahir'. Dalam konteks syariat, aqiqah merujuk pada penyembelihan hewan ternak sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT atas karunia seorang anak.
Meskipun pembahasan mendalam mengenai tata cara dan hukum aqiqah lebih banyak ditemukan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, akar spiritualitas dan urgensinya dapat ditelusuri kembali hingga ke sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Quran Al-Karim. Memahami kedudukan aqiqah melalui lensa Al-Quran memberikan landasan teologis yang kuat bagi pelaksanaannya.
Kedudukan Konseptual Aqiqah dalam Al-Quran
Perlu dicatat bahwa Al-Quran tidak menyebutkan secara eksplisit istilah "aqiqah" dengan tata cara spesifik seperti yang dijelaskan dalam sunnah. Namun, konsep syukur, penebusan (fidyah), dan pengorbanan yang termaktub dalam ayat-ayat suci menjadi landasan filosofis bagi praktik aqiqah.
Salah satu ayat yang sering dijadikan pijakan konseptual adalah perintah untuk bersyukur atas nikmat, termasuk nikmat keturunan. Allah SWT berfirman:
"Maka makanlah apa yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan bersyukurlah akan nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah." (QS. An-Nahl: 114)
Kelahiran anak adalah nikmat terbesar. Melalui aqiqah, umat Islam menunjukkan wujud konkret dari rasa syukur tersebut, yaitu dengan menyembelih hewan kurban kecil sebagai bentuk pengorbanan yang dipersembahkan kepada Allah. Ini menegaskan bahwa aqiqah bukanlah sekadar tradisi sosial, melainkan ibadah yang berakar pada perintah syukur ilahi.
Kisah Pengorbanan sebagai Metafora
Beberapa ulama juga mengaitkan semangat aqiqah dengan kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS terhadap putranya, Nabi Ismail AS, sebagaimana diabadikan dalam Al-Quran. Walaupun kisah tersebut berujung pada perintah mengganti sembelihan dengan domba (yang menjadi dasar hukum Idul Adha), ia menanamkan prinsip bahwa pengorbanan dalam rangka menaati perintah Allah adalah amalan yang sangat dicintai.
Dalam konteks aqiqah, pengorbanan berupa menyembelih binatang ternak adalah penebusan (fidyah) simbolis atas keberadaan anak. Ini adalah tanda pengakuan bahwa anak adalah titipan agung yang harus dijaga dan dipersembahkan kembali sebagian kecil dari rezeki untuk tujuan syiar kebaikan.
Ilustrasi Simbolis Rasa Syukur
Aqiqah sebagai Penebus (Fidyah)
Meskipun Al-Quran tidak secara eksplisit membahas aqiqah sebagai 'tebusan' dalam arti harfiah seperti penebusan dosa, terdapat ayat-ayat yang menekankan penebusan melalui harta atau perbuatan baik. Dalam konteks kelahiran, kehadiran seorang anak sering dianggap sebagai pertaruhan awal bagi orang tua, di mana aqiqah berfungsi sebagai langkah awal untuk 'mengamankan' keberkahan anak tersebut di dunia dan akhirat.
Dalam konteks inilah, banyak penafsiran yang menghubungkan aqiqah dengan prinsip umum dalam syariat: segala sesuatu yang baik harus dibalas dengan sesuatu yang lebih baik atau setara nilainya dalam bentuk pengorbanan.
Kesimpulan Hubungan dengan Al-Quran
Maka, meskipun lafaz "aqiqah" tidak tertera di dalam Al-Quran, praktik ini diterima dan ditegakkan secara kokoh oleh umat Islam karena selaras sepenuhnya dengan prinsip-prinsip dasar yang diajarkan dalam kitab suci:
- Perintah untuk bersyukur atas nikmat rezeki dan keturunan.
- Pentingnya melaksanakan pengorbanan (qurban) sebagai bentuk ketaatan tertinggi.
- Tanggung jawab orang tua untuk mendidik dan menyambut anak dengan cara yang diridai Allah.
Oleh karena itu, aqiqah adalah manifestasi praktis dari ajaran Al-Quran mengenai penghormatan terhadap karunia Ilahi, yang kemudian diperjelas detailnya melalui sabda Nabi Muhammad SAW. Ini menegaskan bahwa ritual aqiqah memiliki fondasi spiritual yang kokoh dalam kerangka ajaran Islam secara keseluruhan.