Memahami Akidah Wahabi: Kajian Mendalam Mengenai Prinsip Dasar

Landasan Iman

Ilustrasi dasar prinsip keimanan

Perbincangan mengenai akidah Wahabi seringkali memicu diskusi yang hangat dalam ranah keilmuan Islam kontemporer. Istilah ini merujuk pada pandangan teologis yang berakar kuat pada ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab (Abad ke-18 M), seorang ulama dari Najd, Jazirah Arab. Meskipun sering disebut sebagai sebuah mazhab teologi tersendiri, para pengikutnya cenderung mengklaim bahwa mereka tidak membawa ajaran baru, melainkan hanya kembali kepada pemahaman awal (Salaf) Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah tanpa taklid buta terhadap interpretasi pasca-Salaf.

Fokus Utama: Penegasan Tauhid

Inti sentral dari akidah Wahabi adalah penekanan ekstrem pada konsep tauhid (keesaan Allah). Mereka sangat tegas dalam membedakan antara tauhid uluhiyyah (tauhid dalam peribadatan), rububiyyah (tauhid dalam penguasaan), dan asma’ wa shifat (nama dan sifat Allah). Bagi mereka, banyak praktik keagamaan yang muncul setelah abad ketiga Hijriyah dianggap sebagai bentuk kesyirikan (politeisme) yang harus diberantas total.

Salah satu isu paling signifikan adalah penolakan terhadap praktik ziarah kubur yang berlebihan, yang dianggap bisa mengarah pada pemujaan orang mati (wasilah yang dilarang). Mereka menganggap bahwa permohonan syafaat atau pertolongan melalui perantara orang yang telah meninggal, bahkan para nabi dan wali, merupakan pelanggaran serius terhadap hak prerogatif Allah semata. Pandangan ini didasarkan pada interpretasi ketat terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang melarang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah atau meminta doa kepada penghuninya.

Sikap Terhadap Bid'ah

Aspek lain yang sangat menonjol dalam akidah Wahabi adalah sikap keras mereka terhadap bid'ah (inovasi dalam agama). Bid'ah dalam pandangan mereka adalah setiap amalan keagamaan yang tidak memiliki dasar yang shahih dari Nabi Muhammad SAW atau para sahabatnya. Kategorisasi bid'ah ini cenderung luas, mencakup berbagai tradisi lokal yang telah mengakar selama berabad-abad, seperti perayaan Maulid Nabi (peringatan kelahiran Nabi) atau praktik ritual tertentu dalam tarekat sufi. Mereka berpegang pada kaidah bahwa segala sesuatu dalam ibadah harus bersifat *tawqifi* (terhenti pada dalil yang jelas).

Oleh karena penekanan kuat pada purifikasi agama ini, gerakan ini sering kali berkonflik dengan tradisi Islam yang lebih permisif atau sinkretis di berbagai wilayah, termasuk di Asia Tenggara. Bagi penganut paham ini, mengikuti apa yang dilakukan oleh para Salaf ash-Shalih—tiga generasi pertama umat Islam—adalah standar tertinggi kebenaran dan kemurnian akidah.

Metode Pengambilan Hukum

Dalam metodologi pengambilan hukum (*manhaj*), pengikut akidah Wahabi cenderung mengutamakan Al-Qur’an dan Sunnah yang otentik (melalui derajat hadis yang shahih). Mereka sangat menekankan pemahaman para Sahabat dan Tabi'in. Dalam hal fikih, meskipun secara historis gerakan ini dekat dengan mazhab Hanbali, prinsip yang dianut lebih mementingkan dalil langsung daripada mengikuti salah satu mazhab secara buta (taqlid mazhab). Jika ditemukan hadis shahih yang bertentangan dengan kesimpulan mazhab, maka hadis tersebut harus didahulukan.

Perlu dicatat, label "Wahabi" sering kali digunakan secara peyoratif oleh pihak luar. Para penganutnya sendiri lebih memilih disebut sebagai Muwahhidun (mereka yang menegakkan tauhid) atau mengikuti pendekatan Salafi. Pemahaman mereka mengenai akidah Wahabi selalu diarahkan pada upaya pengembalian umat Islam kepada fondasi agama yang murni, bebas dari unsur-unsur khurafat, takhayul, dan penyimpangan yang mereka yakini sebagai hasil dari kemunduran umat selama berabad-abad. Meskipun demikian, kontroversi seputar penerapan pandangan ini dalam konteks sosial dan politik tetap menjadi subjek kajian kritis yang berkelanjutan di dunia Islam.

🏠 Homepage