Kelahiran seorang anak adalah anugerah besar yang tak ternilai harganya bagi setiap Muslim. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas karunia ini, umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan ibadah yang mulia, yaitu aqiqah. Namun, muncul pertanyaan mendasar di kalangan awam: apakah pelaksanaan aqiqah ini hukumnya wajib seperti shalat fardhu, ataukah ia termasuk dalam kategori sunnah yang sangat dianjurkan?
Secara bahasa, aqiqah (عقيقة) berarti memotong atau rambut yang tumbuh di kepala bayi. Dalam konteks syariat Islam, aqiqah adalah penyembelihan hewan ternak—biasanya kambing atau domba—sebagai rasa syukur atas kelahiran seorang anak, yang dilaksanakan pada hari ketujuh setelah kelahiran.
Praktik ini memiliki akar yang kuat dalam tradisi Nabi Muhammad SAW. Sejak masa Jahiliyah, orang Arab sudah melakukan penyembelihan ketika ada kelahiran, namun dengan tujuan dan tata cara yang berbeda. Islam kemudian menyempurnakan praktik ini dengan menetapkan syariat aqiqah yang murni karena Allah.
Perdebatan mengenai status hukum aqiqah telah berlangsung lama di antara para ulama, menghasilkan beberapa pandangan utama yang perlu kita telaah secara mendalam. Mayoritas ulama dan mazhab fiqih cenderung mengklasifikasikannya sebagai sunnah, namun dengan tingkatan yang berbeda.
Mayoritas ulama, termasuk dari mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali, menyatakan bahwa hukum aqiqah adalah Sunnah Muakkadah (Sunnah yang sangat ditekankan). Ini berarti bahwa aqiqah sangat dianjurkan, sangat dicintai oleh Rasulullah SAW, dan ditinggalkan oleh beliau ketika memiliki anak, namun pelaksanaannya tidak sampai menimbulkan dosa besar jika ditinggalkan.
Dalil utama pandangan ini adalah hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW secara konsisten melaksanakan aqiqah untuk kedua cucunya, Hasan dan Husain, dan memerintahkan sahabatnya untuk melakukannya. Misalnya, sabda Nabi SAW mengenai anak yang baru lahir: "Bersama anak itu terikat pula aqiqahnya. Karena itu, sembelihlah hewan (aqiqah) untuknya pada hari ketujuh..." (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Bagi mazhab ini, meskipun sangat ditekankan, ia tidak mencapai derajat wajib karena tidak adanya perintah eksplisit yang mengandung unsur ancaman atau kewajiban mutlak seperti dalam perintah shalat atau puasa wajib.
Sebagian kecil ulama, termasuk pandangan yang diatribusikan kepada Imam Ahmad bin Hanbal dalam satu riwayat (meskipun riwayat lainnya cenderung ke sunnah muakkadah), berpendapat bahwa aqiqah hukumnya adalah wajib.
Argumen mereka didasarkan pada lafaz perintah dalam beberapa hadis yang tegas, yang menunjukkan bahwa meninggalkan aqiqah adalah hal yang tercela. Mereka menganggap bahwa praktik yang dilakukan oleh Nabi SAW secara rutin dan diperintahkan kepada umatnya, jika disertai dengan lafaz perintah yang kuat, harus dianggap sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang tua yang mampu.
Terlepas dari perbedaan hukum di atas, ada kesepakatan mengenai tata cara pelaksanaan aqiqah yang ideal:
Secara ringkas, mayoritas pandangan dalam Islam menggolongkan aqiqah sebagai Sunnah Muakkadah, yakni amalan sunnah yang sangat dianjurkan dan memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Meskipun tidak sampai pada tingkat dosa jika ditinggalkan oleh orang yang mampu, meninggalkan aqiqah berarti kehilangan kesempatan besar untuk menunaikan hak syukur atas karunia anak dan menghilangkan syafaat yang dibawa oleh anak tersebut kelak.
Oleh karena itu, bagi orang tua yang memiliki kemampuan finansial, melaksanakan aqiqah adalah bentuk ketaatan yang sangat dianjurkan untuk menyempurnakan rasa syukur mereka atas kehadiran anggota keluarga baru.