Simbolisasi pelaksanaan ibadah syukur.
Aqiqah merupakan salah satu syariat Islam yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah) sebagai bentuk syukur atas nikmat kelahiran seorang anak. Secara tradisional, aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi, dengan menyembelih hewan ternak (kambing atau domba) sesuai jenis kelamin. Tujuan utama dari ibadah ini adalah membersihkan diri, memohon perlindungan bagi anak, serta berbagi kegembiraan dengan kerabat dan masyarakat sekitar melalui hidangan dagingnya.
Namun, bagaimana jika seseorang baru menyadari pentingnya ibadah ini setelah ia menginjak usia dewasa? Pertanyaan mengenai aqiqah di umur dewasa sering muncul di kalangan mualaf atau mereka yang baru mendalami ajaran Islam dan merasa luput melaksanakan sunnah ini saat masa kecilnya. Apakah aqiqah yang terlewat harus dikejar?
Mayoritas ulama, berdasarkan hadis-hadis yang ada, menganjurkan agar aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh kelahiran. Jika terlewat pada hari ketujuh, maka dilaksanakan pada hari keempat belas, dan jika terlewat lagi, maka pada hari kedua puluh satu. Setelah melewati masa kritis ini, terdapat perbedaan pendapat di antara para fuqaha (ahli fikih).
Beberapa ulama kontemporer dan madzhab tertentu berpendapat bahwa jika orang tua lalai atau belum mampu melaksanakannya saat anak masih kecil, maka hukumnya menjadi sunnah kifayah yang dapat dilaksanakan oleh anak tersebut ketika ia sudah baligh dan mampu, sebagai penebusan janji syariat yang tertunda. Ini dilakukan sebagai bentuk pengakuan atas nikmat Allah SWT yang dianugerahkan melalui kelahirannya.
Pendapat lain menyebutkan bahwa aqiqah memiliki kaitan erat dengan wali (orang tua) saat anak masih dalam tanggungan mereka. Jika orang tua tidak melaksanakannya, maka kewajiban tersebut gugur seiring dengan kedewasaan anak, karena aqiqah adalah 'tebusan' anak saat masih bayi. Meskipun demikian, menunaikan aqiqah di usia dewasa tetap sangat dianjurkan sebagai bentuk tawbah dan syukur personal.
Melaksanakan aqiqah, meskipun telah melewati masa-masa idealnya, tetap memiliki keutamaan yang besar bagi individu yang melakukannya.
Jika seseorang memutuskan untuk melaksanakan aqiqah dirinya sendiri (setelah baligh), prosesnya secara teknis sama dengan aqiqah bayi. Jumlah hewan yang disyariatkan adalah dua ekor kambing/domba untuk laki-laki dan satu ekor untuk perempuan, meskipun sebagian ulama yang menganjurkan pengejaran aqiqah dewasa menyarankan untuk mengikuti ketentuan minimal satu ekor saja jika pelaksanaannya bersifat sunnah susulan.
Yang membedakan adalah niatnya. Niatnya bukan lagi sebagai wali yang menyambut kelahiran, melainkan niat sebagai rasa syukur pribadi atas nikmat hidup yang masih tercurah. Daging hasil aqiqah ini kemudian dapat dimasak dan disajikan kepada kerabat, tetangga, atau dibagikan mentah kepada mereka yang membutuhkan, sesuai dengan ketentuan pembagian daging aqiqah yang umum.
Kesimpulannya, meskipun waktu utama aqiqah telah berlalu, pintu rahmat Allah SWT selalu terbuka. Jika seseorang merasa terpanggil untuk menunaikan aqiqah di umur dewasa sebagai bentuk penyempurnaan ketaatan dan rasa syukur, maka hal tersebut adalah langkah yang sangat baik dan patut diapresiasi dalam perjalanan spiritualnya.