Diskusi mengenai kedudukan Basmalah, yaitu kalimat suci Bismillahirrahmanirrahim (Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), adalah salah satu perdebatan teologis dan fikih yang paling mendalam dalam sejarah Islam. Meskipun Basmalah muncul di awal setiap surah (kecuali Surah At-Tawbah), statusnya di dalam Surah Al-Fatihah—surah pembuka dan induk Al-Qur'an—menghasilkan perbedaan pandangan yang signifikan di antara mazhab-mazhab utama. Pertanyaan mendasar yang selalu muncul dan terus dikaji adalah: Apakah Basmalah merupakan ayat pertama (Ayat ke-1) dari Surah Al-Fatihah, ataukah ia hanya berfungsi sebagai pemisah (fasilah) antara surah, yang tidak dihitung sebagai ayat integral dari surah tersebut?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya mempengaruhi penghitungan jumlah ayat (yang secara universal disepakati berjumlah tujuh ayat untuk Al-Fatihah), tetapi juga memiliki implikasi langsung terhadap sah atau tidaknya pelaksanaan ibadah salat (doa wajib), khususnya terkait pembacaan Al-Fatihah yang merupakan rukun salat. Untuk memahami kompleksitas ini, kita harus menyelami akar-akar perbedaan, meninjau dalil-dalil dari Al-Qur'an, Hadis Nabi, serta metodologi penghitungan ayat ('add al-ay) yang digunakan oleh ulama terdahulu.
Visualisasi kalimat Basmalah yang menjadi fokus utama kajian ini.
I. Tinjauan Umum Al-Fatihah dan Basmalah
Surah Al-Fatihah, yang berarti ‘Pembukaan’, memiliki nama-nama lain yang mencerminkan keagungannya, seperti Ummul Kitab (Induk Kitab), Ummul Qur’an (Induk Al-Qur'an), dan As-Sab'ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang). Surah ini adalah ringkasan seluruh ajaran Al-Qur'an dan merupakan satu-satunya surah yang wajib dibaca dalam setiap rakaat salat, berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ: “Tidak sah salat seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (pembukaan kitab).”
Basmalah, sebagai kalimat pembuka, secara spiritual berfungsi sebagai gerbang niat, memohon pertolongan, dan deklarasi bahwa setiap tindakan dimulai dengan Nama dan Kehendak Allah. Namun, dalam konteks Al-Fatihah, fungsi Basmalah ini diuji secara tekstual: apakah ia adalah bagian organik dari tujuh ayat yang membentuk surah tersebut?
1. Posisi Historis dan Qira’at
Perbedaan pandangan ini bermula dari perbedaan dalam tradisi penghitungan ayat Al-Qur’an (‘Add al-Ay) di pusat-pusat keilmuan Islam awal. Secara umum, terdapat enam mazhab utama penghitungan ayat: Madinah (dibagi menjadi Kufi dan Syami), Basrah, dan Makkah. Mazhab-mazhab ini berbeda pendapat mengenai di mana ayat berakhir dan ayat baru dimulai.
- Mazhab Kufah (Imam Hafsh dari Imam Ashim) dan Makkah: Mereka menghitung Bismillahirrahmanirrahim sebagai ayat pertama dari Al-Fatihah. Konsekuensinya, ayat terakhir (yang biasanya "Shirathal-ladzina an'amta 'alayhim...") akan dibagi dua, atau ayat terakhir dari surah tersebut akan berakhir sebelum Basmalah menjadi bagiannya, tergantung pada tradisi spesifik. Dalam tradisi Kufah yang paling umum (yang mendominasi mushaf saat ini), Basmalah adalah Ayat 1.
- Mazhab Madinah, Syam, dan Basrah: Mereka tidak menghitung Basmalah sebagai ayat dari Surah Al-Fatihah. Menurut mereka, ayat pertama adalah Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, dan Basmalah adalah ayat yang terpisah, diletakkan di awal surah untuk keberkahan dan pemisah.
II. Pendapat Mazhab Fikih Utama: Basmalah Sebagai Ayat Integral
Pendapat yang menyatakan bahwa Basmalah adalah ayat pertama (Ayat ke-1) dari Surah Al-Fatihah dipegang teguh oleh Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanafi, meskipun dengan implikasi fikih yang sedikit berbeda, serta Mazhab Zhahiri. Pendapat ini didasarkan pada Hadis-hadis dan tradisi para Sahabat yang menekankan bahwa Basmalah diturunkan bersama Surah Al-Fatihah.
1. Mazhab Syafi’i dan Dalil-Dalilnya
Imam Asy-Syafi'i (pendiri Mazhab Syafi'i) adalah penganut utama pandangan bahwa Basmalah adalah ayat integral dari Al-Fatihah dan dari setiap surah lainnya (kecuali At-Tawbah). Pandangan ini didasari oleh beberapa dalil kuat:
A. Dalil dari Pembacaan Nabi (Hadis)
Hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah (istri Nabi ﷺ) menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ menghitung Basmalah sebagai ayat pertama Al-Fatihah. Dalam riwayat lain, Anas bin Malik ditanya tentang pembacaan Nabi dalam salat, dan ia menjawab bahwa Nabi ﷺ membaca Bismillahirrahmanirrahim dengan suara keras (jahr) sebelum membaca Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin.
Penguatan Hadis ini terdapat dalam riwayat dari Imam Daruquthni dan Al-Baihaqi, yang menegaskan bahwa Rasulullah ﷺ biasa membaca Al-Fatihah dan Basmalah dihitung sebagai ayat pertama, yang kemudian dilanjutkan dengan enam ayat berikutnya hingga jumlahnya genap tujuh. Ini adalah argumen inti Syafi'iyah: jika Basmalah tidak dihitung, maka Al-Fatihah hanya memiliki enam ayat, sementara kesepakatan umat (ijma’) menetapkan jumlahnya tujuh (As-Sab'ul Matsani).
B. Dalil dari Ijma’ dan Mushaf Utsmani
Syafi'iyah menunjukkan bahwa dalam mushaf-mushaf awal, Basmalah dituliskan sebagai bagian tak terpisahkan dari teks. Selain itu, mereka merujuk pada qira’at dari ahli Qira’at Kufah (Imam Ashim, yang qira’atnya paling dominan di dunia Islam saat ini melalui riwayat Hafsh). Dalam tradisi Kufah, Basmalah ditandai dengan nomor ayat 1.
Implikasi Fikih dalam Mazhab Syafi'i sangat tegas: wajib membaca Basmalah dengan keras (jahr) dalam salat jahr (Maghrib, Isya, Subuh) karena Basmalah adalah bagian dari Al-Fatihah yang wajib dibaca secara keseluruhan (rukun). Meninggalkan Basmalah, meskipun tidak membatalkan salat jika ditinggalkan karena lupa, dianggap mengurangi kesempurnaan rukun Fatihah, dan jika sengaja ditinggalkan, dapat membatalkan salat. Kewajiban membaca ini menunjukkan keyakinan mutlak mereka bahwa Basmalah adalah ayat ke-1.
2. Pandangan Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang serupa dengan Syafi'iyah dalam hal status Basmalah, tetapi berbeda dalam penerapannya dalam salat. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa Basmalah adalah ayat yang terpisah yang diturunkan untuk memisahkan dan memberkati surah-surah. Mereka mengakui bahwa Basmalah adalah bagian dari Al-Qur'an, tetapi bukan bagian integral dari tubuh Al-Fatihah itu sendiri.
Meskipun demikian, Hanafiyah mewajibkan pembacaan Basmalah dalam salat sebelum Al-Fatihah. Namun, mereka berpendapat bahwa Basmalah harus dibaca secara rahasia (sirr), bahkan dalam salat jahr. Basmalah dalam pandangan Hanafi adalah sunnah muakkadah atau wajib (tetapi bukan rukun) yang berfungsi sebagai permulaan pembacaan, namun tidak dihitung sebagai ayat ke-1 yang membentuk angka tujuh dari Al-Fatihah.
Perbedaan antara Syafi'i dan Hanafi terletak pada sumber penghitungan. Syafi'i mengacu pada Hadis yang menjadikan Basmalah ayat ke-1. Hanafi mengacu pada konsensus bahwa Basmalah adalah ayat Al-Qur'an yang diturunkan untuk permulaan, namun tidak harus mengganggu struktur tujuh ayat (yang dimulai dari Alhamdulillahi).
III. Pendapat Mazhab Fikih Utama: Basmalah Bukan Ayat Integral
Pandangan yang menyatakan bahwa Basmalah bukanlah ayat dari Surah Al-Fatihah dipegang teguh oleh Mazhab Maliki dan menjadi pandangan utama bagi Mazhab Hanbali dalam penerapannya di salat. Bagi kelompok ini, ayat pertama dari Al-Fatihah adalah Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin.
1. Mazhab Maliki dan Dalil-Dalilnya
Imam Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki dan ulama Madinah, berpendapat bahwa Basmalah bukanlah bagian dari Al-Fatihah, dan juga bukan bagian dari surah-surah lainnya. Basmalah hanya ditulis di mushaf untuk membedakan surah-surah dan mencari keberkahan saat memulai pembacaan.
A. Dalil dari Tradisi Madinah
Malikiyah sangat berpegang pada tradisi penduduk Madinah (Ahlul Madinah) yang merupakan tempat Nabi ﷺ hidup dan berdakwah. Mereka berargumen bahwa penduduk Madinah, termasuk para Sahabat dan Tabi’in, secara konsisten tidak menghitung Basmalah sebagai ayat dalam salat mereka. Mereka berfokus pada qira’at Madinah (misalnya riwayat Warsh dari Nafi').
B. Dalil dari Hadis Salat (Tidak Jahr)
Mazhab Maliki menggunakan Hadis Aisyah dan Anas bin Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ memulai salat dengan takbir dan membaca Al-Fatihah. Dalam banyak riwayat, tidak disebutkan bahwa Nabi ﷺ membaca Basmalah dengan suara keras. Jika Basmalah adalah ayat Al-Qur'an yang integral dan wajib dibaca secara keras (jahr), mengapa banyak riwayat salat yang tidak mencatat pembacaannya secara jahr?
Mereka berpendapat bahwa Hadis Qudsi mengenai pembagian salat antara Allah dan hamba-Nya dimulai dengan Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin. Jika Basmalah adalah ayat pertama, seharusnya pembagian tersebut dimulai dari Basmalah. Hadis tersebut berbunyi: "Aku membagi salat (Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Ketika hamba-Ku mengucapkan: Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, Allah berfirman: Hamba-Ku memuji-Ku..." (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa ayat pertama yang dihitung dalam konteks perjanjian salat adalah Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, sehingga Basmalah bukan bagian dari ayat inti.
Implikasi Fikih Maliki adalah yang paling ketat: membaca Basmalah bahkan secara rahasia dalam salat fardhu dianggap makruh, apalagi jika dibaca dengan keras (jahr). Mereka hanya menyunahkan Basmalah saat memulai membaca Al-Qur'an di luar salat atau saat memulai surah baru. Bagi Maliki, Basmalah tidak wajib sama sekali dalam salat rukun Fatihah.
2. Pandangan Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali (Imam Ahmad bin Hanbal) mengambil posisi yang lebih moderat dan cenderung pada pandangan Maliki dalam praktik salat. Imam Ahmad berpendapat bahwa Basmalah adalah ayat yang terpisah, bukan bagian dari Al-Fatihah atau surah-surah lain. Namun, ia wajib dibaca dalam salat sebelum Al-Fatihah.
Hanbali mewajibkan pembacaan Basmalah sebelum Al-Fatihah, tetapi wajib dibaca secara rahasia (sirr), baik dalam salat sirriyah maupun jahriyah. Hanbaliyah menggunakan kaidah "tahqiq al-khilaf" (memastikan tidak terjadi perselisihan); dengan membacanya secara sirr, mereka telah memenuhi kewajiban Basmalah menurut mazhab yang mewajibkannya (seperti Syafi'i dan Hanafi) tanpa melanggar prinsip tidak mengeraskan Basmalah yang dipegang oleh Maliki dan sebagian Hadis.
Maka, dalam praktik Hanbali, Basmalah dibaca, tetapi tidak dihitung sebagai ayat ke-1 dari Al-Fatihah, yang dimulai dari Alhamdulillahi. Mereka melihat Basmalah sebagai ayat Al-Qur'an secara umum (diturunkan dalam Surah An-Naml, Ayat 30: "Innahu min Sulaimana wa innahu bismillahir rahmanir rahim"), yang berfungsi sebagai pemisah surah, dan bukan bagian struktural dari tujuh ayat Al-Fatihah.
IV. Analisis Mendalam tentang Penghitungan Ayat (Add Al-Ay)
Untuk memahami mengapa terjadi perselisihan ini, kita harus melihat bagaimana Al-Qur'an dihitung. Al-Qur'an diturunkan dan dibaca, bukan diberi nomor ayat secara otomatis. Penomoran ayat ('Add al-Ay) adalah tradisi yang didasarkan pada di mana Rasulullah ﷺ berhenti saat membaca Al-Qur'an dan di mana Jibril عليه السلام memberikan tanda jeda kepada Nabi ﷺ.
1. Tradisi Kufah vs. Madinah
Perbedaan mendasar adalah:
- Kufah (Hafsh): Menganggap bahwa Nabi ﷺ selalu berhenti pada Basmalah saat membaca Al-Fatihah, menandakan Basmalah sebagai ayat yang sempurna. Konsekuensinya, ayat ketujuh diakhiri pada ghairil maghdhubi 'alayhim walaa adhdhaalliin.
- Madinah (Warsh): Menganggap bahwa Nabi ﷺ memulai Surah Al-Fatihah setelah Basmalah. Untuk mempertahankan tujuh ayat, Mazhab Madinah membagi ayat terakhir (Shirathal-ladzina an'amta 'alayhim) menjadi satu ayat, dan ghairil maghdhubi 'alayhim walaa adhdhaalliin menjadi ayat ketujuh. Atau, mereka membagi ayat yang lain. Namun, yang pasti, mereka tidak menghitung Basmalah.
Inilah inti dari perselisihan: jika Basmalah (yang memiliki 19 huruf, angka yang sakral dalam beberapa interpretasi) dihitung sebagai ayat ke-1, maka penghitungan ayat-ayat berikutnya harus disesuaikan untuk memastikan totalnya tetap tujuh. Jika Basmalah dihilangkan dari hitungan ayat inti, maka ayat-ayat yang tersisa harus dihitung ulang untuk memenuhi syarat tujuh ayat.
2. Basmalah sebagai Fasilah (Pemisah)
Bagi ulama yang tidak menganggap Basmalah sebagai ayat ke-1 (Maliki, Hanbali), Basmalah adalah Fasilah, atau pemisah. Fungsi pemisah ini sangat penting. Bahkan dalam Surah At-Tawbah (yang tidak diawali Basmalah), ketiadaan Basmalah tersebut dianggap sebagai pemisah yang menunjukkan bahwa Surah At-Tawbah dan Al-Anfal adalah satu kesatuan topik, atau karena At-Tawbah berisi ancaman keras yang tidak sesuai dengan sifat kasih sayang yang terkandung dalam Basmalah.
Dengan demikian, dalam pandangan Maliki, Basmalah adalah kode universal untuk memulai tindakan atau bacaan baru, tetapi tidak harus menjadi teks integral dari surah yang diapitnya. Statusnya seperti judul atau penanda, bukan isi utama.
V. Implikasi Fikih dan Praktis dalam Salat
Perbedaan pandangan mengenai apakah Basmalah adalah ayat ke-1 dari Al-Fatihah memiliki dampak praktis yang signifikan, terutama dalam konteks salat berjamaah di mana imam memimpin pembacaan Al-Fatihah.
1. Salat di Wilayah Mayoritas Syafi’i (Asia Tenggara, Mesir)
Di wilayah yang mayoritas mazhabnya Syafi'i, imam wajib mengeraskan Basmalah sebelum Alhamdulillahi. Jika imam meninggalkan Basmalah, makmum Syafi'i mungkin merasa salatnya kurang sempurna atau bahkan tidak sah, tergantung tingkat kehati-hatian mereka.
2. Salat di Wilayah Mayoritas Maliki (Afrika Utara)
Di wilayah Maghribi, Basmalah hampir tidak pernah terdengar saat salat wajib. Bahkan jika seorang imam Syafi'i memimpin salat di sana dan mengeraskan Basmalah, hal itu dapat menimbulkan kebingungan atau ketidaknyamanan bagi makmum Maliki, yang menganggap praktik tersebut makruh atau bid'ah dalam konteks salat fardhu.
3. Solusi Toleransi dan Kompromi
Ulama modern sering menyarankan sikap toleransi. Sebagian besar ulama sepakat bahwa Basmalah adalah ayat Al-Qur'an (diturunkan untuk memisahkan surah-surah), dan membacanya di luar salat adalah sunnah. Perbedaan hanya terletak pada statusnya sebagai rukun salat dan hukum mengeraskannya.
Bagi seorang muslim yang mengikuti mazhab tertentu, kepatuhan pada mazhabnya adalah wajib. Namun, jika ia menjadi makmum di belakang imam dari mazhab lain, salatnya tetap sah selama imam tersebut memenuhi rukun salat sesuai pandangannya. Prinsip umum fiqih Islam adalah mengakui validitas perselisihan yang berakar pada dalil (Ikhtilaf ul-Fuqaha').
VI. Telaah Linguistik dan Teologis Mendalam Basmalah
Untuk melengkapi pembahasan mengenai kedudukan Basmalah sebagai ayat ke-1, penting untuk mengupas makna mendalam dari Basmalah itu sendiri, karena keagungannya seringkali menjadi alasan mengapa sebagian ulama menjadikannya ayat integral.
Kalimat ini terdiri dari empat komponen utama:
1. Bi-Ismi (Dengan Nama)
Huruf "Bi" (dengan) menyiratkan bantuan, pertolongan, atau persertaan. Kata "Ism" (Nama) adalah kunci. Ketika kita mengucapkan Basmalah, kita tidak sekadar menyebut nama Allah; kita sedang mencari pertolongan atau memulai tindakan dengan otoritas Nama-Nya. Dalam Bahasa Arab, para ahli nahwu seringkali berpendapat bahwa Basmalah menyembunyikan kata kerja yang sesuai sebelum "Ism". Misalnya, “(Saya) memulai dengan nama Allah…” atau “(Saya) membaca dengan nama Allah…” Ini menunjukkan fungsi Basmalah sebagai deklarasi niat permulaan.
2. Allah (Nama Dzat Tuhan)
Ini adalah Ismu Dzat (Nama Diri) Tuhan Yang Maha Esa. Nama ini unik, tidak memiliki bentuk jamak, dan tidak berasal dari kata kerja lain. Keagungan nama ini menuntut bahwa setiap permulaan yang benar harus merujuk pada Nama ini. Basmalah berfungsi mengaitkan setiap aktivitas duniawi dengan entitas ketuhanan yang transenden.
3. Ar-Rahman (Maha Pengasih)
Ar-Rahman berasal dari akar kata yang sama dengan Ar-Rahim, yaitu R-H-M (kasih sayang). Ar-Rahman secara linguistik menggunakan pola wazan Fa’lan, yang menunjukkan intensitas dan kebesaran yang menyeluruh. Para ulama tafsir sepakat bahwa Ar-Rahman merujuk pada Kasih Sayang Allah yang meliputi seluruh makhluk di dunia ini, baik mukmin maupun kafir. Ini adalah kasih sayang yang universal dan instan.
4. Ar-Rahim (Maha Penyayang)
Ar-Rahim menggunakan pola wazan Fa’il (seperti bentuk kata sifat), yang menunjukkan kesinambungan dan kekal. Para ulama tafsir berpendapat bahwa Ar-Rahim merujuk pada Kasih Sayang Allah yang bersifat spesifik dan berkelanjutan, yang dikhususkan bagi orang-orang mukmin di akhirat. Pengulangan kedua nama ini dalam Basmalah (dan juga dalam Al-Fatihah, di ayat ke-3) menekankan bahwa Allah adalah Dzat yang menggabungkan kasih sayang yang luas di dunia dan kasih sayang yang abadi di akhirat.
Kehadiran tiga Nama Agung—Allah, Ar-Rahman, dan Ar-Rahim—dalam satu rangkaian yang begitu padat dan bersemangat memberikan bobot teologis yang luar biasa pada Basmalah. Bagi mereka yang menjadikannya ayat ke-1, penghormatan terhadap kemuliaan tiga Nama ini menjadikannya mustahil untuk dipisahkan dari induk Al-Qur'an (Al-Fatihah).
VII. Analisis Perbandingan Lanjutan Terhadap Dalil Hadis
Perbedaan mendasar dalam mazhab fikih seringkali terletak pada penerimaan, interpretasi, atau prioritas Hadis yang digunakan sebagai dalil. Dalam masalah Basmalah, Hadis yang paling sering diangkat adalah riwayat yang saling bertentangan mengenai pembacaan jahr (keras) atau sirr (rahasia).
1. Dalil Pengerasan Basmalah (Argumentasi Syafi’i)
Syafi'iyah berpegangan pada riwayat yang kuat dari Abu Hurairah dan Ummu Salamah. Hadis Abu Hurairah menyebutkan bahwa Nabi ﷺ membaca Basmalah, dan kemudian beliau membaca Alhamdulillah. Ketika selesai, beliau mengucapkan takbir. Riwayat ini mengindikasikan Basmalah dibaca sebagai permulaan yang integral. Riwayat Ummu Salamah secara eksplisit menyebutkan Nabi ﷺ memenggal bacaan Al-Fatihah menjadi tujuh ayat, dan menyebut Basmalah sebagai yang pertama. Syafi'iyah melihat riwayat ini sebagai nass sharih (teks yang sangat jelas) mengenai kedudukan Basmalah sebagai ayat ke-1.
2. Dalil Pembacaan Rahasia atau Ketiadaan Basmalah (Argumentasi Maliki/Hanbali)
Malikiyah dan Hanbaliyah cenderung menggunakan Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam Shahih Muslim: "Aku salat di belakang Nabi, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka memulai dengan Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin." Riwayat ini mengindikasikan bahwa Basmalah tidak dibaca dengan suara keras, atau bahkan tidak dibaca sama sekali dalam salat rukun Al-Fatihah. Jika Basmalah adalah ayat ke-1, Mustahil para Khulafaur Rasyidin meninggalkannya dalam bacaan jahr mereka.
Resolusi Konflik Hadis (Tawfiq)
Ulama Hadis yang berusaha mendamaikan (tawfiq) dua kelompok Hadis ini mengajukan beberapa solusi:
- Interpretasi Rahasia (Sirr): Mungkin Nabi ﷺ terkadang membaca Basmalah secara keras, dan di waktu lain secara rahasia. Mereka yang tidak mendengarnya menyangka Nabi ﷺ tidak membacanya.
- Variasi Praktik: Nabi ﷺ mungkin melakukannya secara berbeda-beda untuk menunjukkan bahwa keduanya diperbolehkan (jawaz), namun kemudian tradisi Madinah lebih kuat pada tidak mengeraskan, sementara tradisi Makkah dan Kufah lebih kuat pada mengeraskan.
- Hadis Penguat Kufah/Syafi’i: Riwayat yang mengatakan para Khulafaur Rasyidin memulai dengan Alhamdulillahi mungkin berarti bahwa itu adalah bagian pertama yang mereka keraskan, sedangkan Basmalah mungkin dibaca secara sirr. Namun, Syafi'iyah menolak ini karena dalam pandangan mereka, rukun harus dibaca keras saat salat jahr.
Pada akhirnya, perbedaan ini bukanlah mengenai kebenaran Al-Qur'an, melainkan perbedaan metodologi dalam penghitungan ayat dan prioritas Hadis yang digunakan dalam fiqih salat. Semua mazhab sepakat bahwa Basmalah adalah ayat Al-Qur'an (diturunkan dalam Surah An-Naml) dan merupakan bagian dari mushaf yang berfungsi sebagai pemisah surah, tetapi statusnya sebagai ayat ke-1 dari Al-Fatihah tetap menjadi titik perselisihan utama.
VIII. Menarik Garis Kesimpulan Fikih Akhir
Jika kita kembali ke pertanyaan sentral: Bacaan Basmalah terdapat dalam Surah Al-Fatihah ayat ke...
Jawaban yang paling akurat dan komprehensif adalah:
- Menurut Tradisi Penghitungan Kufah (Hafsh) dan Mazhab Syafi’i: Basmalah adalah Ayat ke-1 dari Surah Al-Fatihah.
- Menurut Tradisi Penghitungan Madinah, Syam, Basrah, dan Mazhab Maliki/Hanbali: Basmalah adalah ayat yang terpisah (bukan bagian dari tujuh ayat inti Al-Fatihah). Dalam pandangan ini, Ayat ke-1 adalah Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin.
Keputusan seorang Muslim dalam menjalankan ibadah, khususnya salat, haruslah didasarkan pada mazhab fikih yang dianutnya, mengingat kompleksitas dalil yang saling mendukung dan perbedaan dalam metodologi penghitungan ayat yang digunakan oleh ulama salafus shalih.
Perluasan argumentasi ini membawa kita pada kesadaran betapa kaya dan detailnya ilmu-ilmu Al-Qur'an. Debat mengenai Basmalah tidak pernah bertujuan untuk meniadakan atau menambahkan ayat suci, melainkan untuk menentukan bagaimana cara yang paling tepat untuk menunaikan rukun salat, yaitu membaca tujuh ayat yang diulang-ulang (As-Sab'ul Matsani) yang Allah wajibkan atas hamba-Nya. Pengkajian mendalam ini menunjukkan bahwa setiap mazhab memiliki landasan dalil yang kuat dan terperinci, memastikan bahwa Basmalah, entah sebagai ayat pertama atau sebagai pemisah yang penuh berkah, tetap memegang posisi sentral dalam ajaran dan praktik keagamaan umat Islam.
Diskusi mengenai apakah Basmalah itu sendiri adalah ayat pertama Al-Fatihah, atau hanya permulaan yang bersifat wajib namun non-struktural, mencerminkan keragaman interpretasi dalam menafsirkan teks suci yang sama. Keindahan dari perselisihan ini terletak pada pengakuan bahwa baik Mazhab Syafi'i, Maliki, Hanafi, maupun Hanbali, semuanya bertujuan untuk mencapai kesempurnaan ibadah sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Pemahaman bahwa Basmalah adalah kalimat yang memiliki kekuatan spiritual dan teologis yang luar biasa, terlepas dari penomoran ayatnya, adalah poin kesamaan yang menyatukan seluruh pandangan ulama. Maka, pertanyaan Basmalah terdapat dalam Surah Al-Fatihah ayat ke berapa akan selalu menjadi subjek diskursus yang abadi, mendorong umat untuk terus menggali kekayaan ilmu tafsir dan fikih. Kajian ini menegaskan bahwa kedalaman makna kalimat Bismillahirrahmanirrahim jauh melampaui sekadar penomoran, menjadikannya kunci pembuka setiap keberkahan dan setiap surah mulia.
Kelanjutan dari perbedaan ini seringkali dihubungkan dengan prinsip ushul fiqih tentang Sadd adz-Dzara'i (menutup pintu kerusakan) oleh Maliki, yang mungkin melihat pengerasaan Basmalah sebagai potensi riya' (pamer) atau perpecahan, berbanding terbalik dengan Syafi'i yang melihatnya sebagai Tahqiq al-Wujub (penegasan kewajiban) rukun Al-Fatihah. Ini adalah salah satu contoh terbaik bagaimana sebuah masalah kecil dalam penghitungan ayat dapat merambah ke seluruh sistem hukum Islam.
Dalam konteks modern, di mana umat Islam sering berinteraksi melintasi batas-batas mazhab, pemahaman terhadap latar belakang perbedaan ini menjadi sangat esensial. Seorang imam yang memimpin salat di tengah jamaah campuran dituntut untuk menguasai ilmu Khilafiyyah ini agar dapat memimpin dengan bijaksana. Misalnya, imam Syafi'i dapat memilih membaca Basmalah secara sirr saat salat jahriyah untuk menghormati makmum dari mazhab Maliki, meskipun dalam mazhabnya sendiri ia dianjurkan membaca jahr. Atau, ia dapat tetap jahr namun dengan menyadari bahwa makmum Hanbali atau Maliki memiliki dalil kuat untuk mengikuti keyakinan mereka.
Perdebatan ini tidak hanya berhenti pada Basmalah di Al-Fatihah. Timbul pula pertanyaan mengenai status Basmalah di awal setiap surah (kecuali At-Tawbah): Apakah Basmalah yang tertulis di awal Surah Al-Baqarah adalah ayat pertama Surah Al-Baqarah? Mayoritas ulama ahli hitung ayat (termasuk Kufah/Hafsh) sepakat bahwa Basmalah hanya dihitung sebagai ayat pertama dalam Surah Al-Fatihah, sementara di surah-surah lain, ia hanya berfungsi sebagai pemisah, dan penghitungan ayat dimulai setelah Basmalah. Namun, Imam Asy-Syafi'i, dalam salah satu pendapatnya yang terkenal, menyatakan bahwa Basmalah adalah ayat yang diturunkan untuk setiap surah (selain At-Tawbah), menegaskan kesucian dan peran integralnya dalam struktur Al-Qur'an secara keseluruhan.
Jika kita telaah kembali Hadis Qudsi tentang pembagian salat (Al-Fatihah) yang menjadi dalil utama Mazhab Maliki—yakni hadis yang mengatakan bahwa pembagian dimulai dari Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin—ini menimbulkan pertanyaan teologis mendalam: Jika Basmalah adalah ayat pertama, mengapa Allah tidak memasukkannya dalam daftar pembagian tersebut? Jawabannya terletak pada fungsi Basmalah. Basmalah adalah permulaan. Ia adalah pembuka, bukan isi dari perjanjian ('ahd) yang dibentuk oleh tujuh ayat inti Al-Fatihah. Perjanjian antara Allah dan hamba-Nya (pujian, permohonan, dan janji) baru dimulai setelah deklarasi Nama Allah (Basmalah) selesai. Ini adalah pemahaman yang logis dalam kacamata Maliki/Hanbali.
Sebaliknya, Syafi'iyah berpendapat bahwa Basmalah adalah pujian yang mendahului pujian. Kalimat "Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" adalah bentuk pujian tertinggi, dan merupakan bagian integral dari pembuka yang sempurna. Dengan demikian, jika Basmalah tidak dihitung, maka pujian terhadap Allah (Al-Fatihah) dianggap tidak dimulai dengan cara yang paling sempurna, yaitu dengan menyebut Nama-Nya yang paling mulia.
Kesimpulan akhirnya adalah bahwa semua Muslim, terlepas dari mazhab mereka, memiliki kewajiban untuk membaca Basmalah saat memulai pembacaan Al-Qur'an dan saat memulai salat. Perbedaan hanya pada teknis: apakah ia adalah rukun yang harus dikeraskan, sunnah yang disembunyikan, atau sepenuhnya diabaikan dalam salat wajib. Bagi mayoritas Muslim yang menggunakan mushaf dengan qira'at Hafsh dari Ashim, secara visual dan tekstual, Basmalah tetaplah Ayat ke-1 dari Surah Al-Fatihah.
Keagungan Basmalah sebagai penanda keesaan dan kasih sayang Allah, yang diulang dalam setiap rakaat salat, melampaui batas-batas perdebatan penomoran. Ini adalah pengingat konstan bahwa segala sesuatu harus dilakukan Bi-Ismillah—dengan Nama Allah. Perdebatan ini, yang telah berlangsung lebih dari seribu tahun, merupakan bukti dari komitmen ulama Islam terhadap ketelitian dalam menjaga dan memahami setiap huruf dari Kitab Suci. Seluruh perdebatan ini, pada dasarnya, berputar pada cara paling sempurna untuk mengamalkan perintah Allah: "Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur'an." Dan di antara yang paling utama untuk dibaca adalah Basmalah, baik sebagai ayat pertama atau sebagai mahkota pembuka.
Telaah mendalam tentang Basmalah ini juga membuka jendela ke dalam ilmu Rasm Utsmani (penulisan mushaf standar). Dalam Rasm Utsmani, Basmalah ditulis sebagai baris pertama dari Surah Al-Fatihah, tanpa ada garis pemisah visual yang membedakannya dari ayat-ayat berikutnya. Struktur penulisan ini, bagi sebagian ulama, merupakan bukti kuat bahwa para sahabat (yang menyusun mushaf Utsmani) memang menganggapnya sebagai bagian integral dari Al-Fatihah. Jika mereka menganggapnya hanya sebagai pemisah seperti judul, kemungkinan besar ia akan ditulis dengan gaya yang berbeda, sebagaimana judul-judul surah ditulis secara terpisah.
Namun, Maliki menanggapi argumen Rasm Utsmani ini dengan mengatakan bahwa Basmalah yang diletakkan di awal adalah bagian dari tradisi penulisan untuk tujuan keberkahan, bukan penanda ayat. Mereka menunjukkan bahwa tradisi lisan (sanad) yang berasal dari Madinah lebih mengutamakan pembacaan yang tidak menyertakan Basmalah dalam hitungan tujuh ayat.
Perbedaan ini juga menyentuh aspek Qira'at Sab'ah (Tujuh Bacaan Utama). Meskipun qira'at Hafsh/Ashim (Kufah) adalah yang paling populer dan menghitung Basmalah sebagai ayat ke-1, qira'at lain, seperti Warsh dari Nafi' (Madinah), tidak menghitungnya. Karena semua tujuh qira'at utama dianggap mutawatir (diriwayatkan secara massal dan shahih), perbedaan dalam penomoran ini secara definitif menunjukkan bahwa tidak ada satu-satunya cara tunggal untuk menetapkan ayat pertama, melainkan ada dua tradisi yang sah yang diturunkan dari Rasulullah ﷺ.
Oleh karena itu, ketika kita kembali pada Surah Al-Fatihah, yang universal diakui berjumlah tujuh ayat, pertanyaan mengenai status Basmalah adalah pertanyaan tentang metode: apakah angka tujuh tersebut dicapai dengan menghitung Basmalah sebagai ayat 1 dan mengakhiri ayat ke-7 pada walaa adhdhaalliin; atau, apakah angka tujuh dicapai dengan memulai ayat 1 pada Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin dan melakukan pembagian pada ayat-ayat terakhir untuk mencapai total tujuh.
Kesimpulannya sangat jelas, meskipun memiliki dua dimensi: Dalam penghitungan ayat yang paling umum digunakan saat ini (Kufah/Hafsh), bacaan Basmalah terdapat dalam Surah Al-Fatihah sebagai ayat ke-1. Sementara itu, dalam tradisi fiqih Maliki dan sebagian besar Hanbali, meskipun wajib dibaca (sirr) sebelum Al-Fatihah, ia tidak dihitung sebagai ayat ke-1 yang membentuk rukun tujuh ayat, di mana ayat ke-1 dimulai pada Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin.
Pemahaman ini mendorong umat Islam untuk menghargai kekayaan fikih dan menghormati setiap metode yang memiliki akar kuat dalam sunnah Nabi ﷺ. Dalam semua kasus, Basmalah tetap menjadi kalimat teragung untuk memulai segala aktivitas yang baik, sebuah gerbang menuju keagungan Surah Al-Fatihah dan seluruh Kitabullah.