Perjamuan Agung di Tanah Hindia

Ketika Kuliner Bertemu Kuasa dan Kosmologi Nusantara

I. Gerbang Rasa: Definisi Pesta di Tanah Rempah

Tanah Hindia, sebuah nama yang melingkupi gugusan pulau kaya raya yang kini dikenal sebagai Nusantara, tidak hanya termasyhur karena kekayaan rempah, melainkan juga karena kompleksitas peradaban dan ritualnya. Di jantung peradaban ini, perjamuan atau pesta (feast) bukan sekadar aktivitas mengisi perut; ia adalah sumbu yang menyatukan politik, spiritualitas, status sosial, dan ekonomi. Setiap pesta adalah sebuah narasi yang diceritakan melalui tata hidang, aroma rempah, dan komposisi sosial para hadirin.

Konsep ‘pesta’ di Hindia memiliki dimensi yang jauh melampaui keramaian. Ia bisa berupa *kenduri* yang khidmat, *selamatan* yang sarat doa, *upacara adat* pelantikan raja yang megah, atau *jamuan diplomatik* yang menentukan nasib jalur perdagangan. Dalam setiap konteks, makanan menjadi medium komunikasi yang universal, sebuah bahasa tak tertulis yang menegaskan hirarki, memperkuat aliansi, atau bahkan menanggulangi bala. Kemampuan untuk menyelenggarakan perjamuan yang luar biasa mewah adalah penanda sahih kekuasaan—bukti bahwa penguasa memiliki akses tak terbatas terhadap sumber daya alam dan tenaga kerja yang dibutuhkan.

Sejak masa Sriwijaya yang menguasai jalur maritim hingga Majapahit yang menancapkan pengaruhnya di seluruh kepulauan, perjamuan agung adalah panggung utama bagi pertunjukan supremasi. Rempah-rempah yang menjadi komoditas emas dunia, seperti pala, cengkeh, dan lada, tidak hanya dijual ke pasar Barat atau Timur Tengah; rempah tersebut wajib hadir dalam porsi melimpah di meja-meja kerajaan lokal, menunjukkan bahwa raja-raja Hindia adalah pengguna utama dari harta karun yang mereka lindungi.

Ilustrasi Piring Kerajaan dan Keris Penggambaran meja perjamuan kerajaan bergaya Jawa-Melayu, menampilkan nampan besar, piring kuningan, dan keris sebagai simbol otoritas di samping hidangan. Meja Perjamuan Kerajaan Nusantara
Fig. 1: Perangkat Jamuan Kerajaan, Menegaskan Kuasa dan Kekayaan Alam.

II. Kosmologi dan Hirarki dalam Jamuan

Di Hindia, pesta bukanlah peristiwa tunggal, melainkan serangkaian ritual yang terikat kuat pada kepercayaan spiritual dan tatanan sosial yang kaku. Setiap perjamuan besar—baik di keraton Jawa, rumah gadang Minangkabau, atau balai desa Dayak—memiliki struktur yang mencerminkan pandangan dunia setempat.

A. Struktur Ruang dan Duduk

Dalam tradisi keraton, misalnya di Kasultanan Yogyakarta atau Surakarta, penempatan duduk dalam *jamuan raja* adalah peta visual dari hirarki kekuasaan. Raja atau sultan selalu duduk di pusat, melambangkan poros jagad (cosmic axis). Semakin dekat seseorang duduk dengan raja, semakin tinggi statusnya. Makanan yang disajikan pun berbeda secara subtil—hidangan terbaik, rempah terlangka, atau bagian daging tertentu (misalnya kepala kerbau) dicadangkan khusus untuk para bangsawan tertinggi dan tamu kehormatan.

Di luar keraton, dalam konteks *kenduri* atau *selamatan*, struktur ruang berubah menjadi lebih horizontal, namun tetap terikat pada peran. Pria dan wanita sering kali dipisahkan. Orang tua atau pemuka adat (tetua) akan duduk di barisan depan, menikmati hidangan *tumpeng* atau *ambengan* yang dipersembahkan lebih dahulu. Prinsip dasarnya adalah: makanan adalah berkah yang harus dibagikan sesuai dengan martabat dan kontribusi seseorang pada komunitas.

B. Piring dan Simbolisme Hidangan

Hidangan di Hindia selalu sarat makna. *Tumpeng* (nasi berbentuk kerucut) adalah contoh paling ikonik. Bentuk kerucut melambangkan gunung Mahameru, tempat bersemayamnya para dewa dan nenek moyang, sekaligus representasi kesuburan dan keseimbangan alam. Lauk-pauk yang menyertainya (sayuran tujuh rupa, ayam ingkung utuh, telur dadar, dll.) melambangkan elemen-elemen alam semesta yang harus diselaraskan.

III. Rempah: Jantung dan Jiwa Perjamuan Hindia

Tidak mungkin membahas ‘feast’ di Hindia tanpa menempatkan rempah-rempah di posisi sentral. Rempah tidak sekadar bumbu; ia adalah mata uang, penanda kelas, obat, dan jimat. Kontrol atas rempah-rempah Maluku—cengkeh, pala, dan fuli—adalah alasan mengapa kerajaan-kerajaan besar dan kemudian kekuatan kolonial mati-matian merebut kepulauan ini. Rempah-rempah ini memberikan aroma, rasa, dan warna yang tidak hanya memuaskan selera, tetapi juga mengawetkan makanan dalam iklim tropis yang menantang.

A. Cengkeh dan Pala: Status Bangsawan

Pada masa puncak perdagangan rempah, menggunakan cengkeh dan pala secara boros dalam masakan adalah hak prerogatif bangsawan dan pedagang kaya. Rasa yang kuat dan aroma yang memabukkan menunjukkan bahwa tuan rumah memiliki jaringan perdagangan yang kuat atau bahkan menguasai sumber rempah itu sendiri. Dalam jamuan raja, daging yang dimasak dengan kuah kental yang diperkaya cengkeh, pala, dan kayu manis menjadi simbol kemewahan tertinggi.

Di Maluku sendiri, rempah digunakan dalam konteks ritual. Pohon pala yang ditanam di dekat rumah dianggap membawa perlindungan. Dalam perayaan panen raya, hidangan-hidangan yang dibuat harus menggunakan rempah segar secara maksimal, merayakan anugerah alam yang telah menjadi sumber kekayaan spiritual dan material.

B. Lada dan Kunyit: Konsumsi Rakyat dan Kekuatan Magis

Sementara cengkeh dan pala bersifat eksklusif, lada dan kunyit lebih merakyat namun tetap fundamental. Lada (baik putih maupun hitam) memberikan panas dan energi, vital untuk masakan di seluruh Nusantara. Kunyit memberikan warna emas yang sering dikaitkan dengan kemakmuran dan kerajaan.

Nasi kuning, yang menggunakan kunyit sebagai pewarna utama, selalu hadir dalam selamatan besar. Warna kuning keemasan ini mengasosiasikan hidangan dengan matahari, dewa, dan kemuliaan. Dalam konteks pesta, penggunaan kunyit memastikan bahwa hidangan tersebut tidak hanya lezat tetapi juga suci dan layak dipersembahkan kepada yang Maha Kuasa atau leluhur.

Ilustrasi Rempah-rempah Utama Hindia Penggambaran daun dan buah pala, bunga cengkeh kering, dan biji lada, simbol kekayaan Hindia. Cengkeh Pala & Fuli Lada
Fig. 2: Rempah-Rempah Utama yang Mendefinisikan Kekayaan Rasa Hindia.

IV. Pesta di Lintasan Nusantara: Ragam Jamuan dan Adat

Luasnya Hindia menciptakan mosaik ritual perjamuan yang unik di setiap pulau, dipengaruhi oleh bahan lokal, agama, dan sistem politik. Perbedaan ini menegaskan bahwa ‘feast’ adalah respons langsung terhadap lingkungan geografis dan sosial budaya.

A. Sumatera: Dari Adat Nagari hingga Jamuan Sultan

1. Minangkabau: Baralek dan Kenduri

Di Sumatera Barat, *baralek* (pesta perkawinan) adalah puncak dari perjamuan adat. Struktur sosial matrilineal Minangkabau tercermin jelas dalam tata cara penyajian. Makanan—yang wajib kaya santan dan cabai seperti *rendang* dan *gulai*—disajikan dalam formasi yang ketat di atas meja rendah, disebut *jamba* atau *dulang*. Jamba ini hanya boleh diangkat dan disajikan oleh wanita, menegaskan peran sentral mereka dalam pengelolaan rumah tangga dan adat.

Penting untuk dicatat adalah filosofi di balik hidangan yang sangat pedas. Selain fungsi pengawetan, rasa pedas melambangkan ‘panas’ atau semangat yang membara, menandakan vitalitas masyarakat. Pembagian jamba secara merata kepada setiap suku (klan) adalah cara untuk memastikan keseimbangan sosial dan memperkuat ikatan kekerabatan.

2. Aceh dan Melayu: Pesta Peusijuek dan Jamuan Raja

Di Kesultanan Aceh dan kerajaan-kerajaan Melayu, perjamuan sering kali bersifat Islami, sering dikaitkan dengan ritual *Peusijuek* (pendinginan atau pemberkatan). Makanan dihidangkan secara berlapis. Inti dari hidangan adalah nasi minyak yang wangi (dibumbui kapulaga, adas manis, dan cengkeh) disajikan bersama lauk pauk mewah seperti *ayam tangkap* atau masakan kambing berempah tinggi. Protokol ketat diterapkan; tamu harus mencuci tangan dan makan bersama dari nampan besar, simbol kebersamaan (*saatuk*).

B. Jawa: Keraton, Selamatan, dan Ambengan

1. Jamuan Keraton: Eropaisasi dan Tradisi

Sejak abad ke-18, jamuan di keraton Jawa (khususnya Yogyakarta dan Surakarta) mulai menunjukkan sinkretisme yang luar biasa. Di satu sisi, ada *Pesta Dhahar Kembul* (makan bersama tradisional) yang menyajikan hidangan Jawa klasik (gudeg, opor, sambal goreng ati) dalam format lesehan atau meja panjang. Di sisi lain, jamuan untuk tamu kolonial atau diplomatik mengadopsi gaya Barat, meskipun dengan modifikasi menu yang dikenal sebagai *Rijsttafel* (akan dibahas di bagian VI) atau penggunaan piring dan sendok Eropa, berdampingan dengan piring kuningan dan perak ukiran lokal.

Bangsawan Jawa menggunakan gula Jawa (gula kelapa) dan santan secara intensif, menciptakan rasa *legit* (manis gurih) yang sangat khas, membedakan mereka dari masakan Sumatera yang lebih mengandalkan asam dan pedas.

2. Selamatan: Konsumsi Komunal dan Ritual

*Selamatan* adalah perjamuan ritual yang paling mendasar dan merata di seluruh Jawa. Ini adalah ritual pembersihan atau pengukuhan yang bertujuan mencari keselamatan (selamet). Meskipun sering kali sederhana dalam penyajian (nasi uduk atau tumpeng kecil), esensi selamatan adalah pembagian berkat. Setelah doa dipanjatkan oleh pemuka agama atau sesepuh, makanan dibagikan dalam wadah daun pisang yang disebut *berkat*. Berkat ini harus dibawa pulang oleh setiap hadirin, menegaskan bahwa berkah tidak hanya dikonsumsi di tempat tetapi dibawa ke rumah tangga masing-masing.

C. Timur Kepulauan: Pesta Rempah di Maluku dan Diplomasi Piring

Di Maluku, perjamuan erat kaitannya dengan komoditas utama: hasil laut dan rempah. Pesta di sini sering kali berfungsi sebagai wadah diplomasi antar-desa atau antar-kerajaan, terutama dalam konteks perdagangan. Hidangan seperti *papeda* (sagu) dengan ikan kuah kuning (kaya kunyit, sereh, dan lemon cui) adalah makanan pokok, namun dalam pesta besar, ikan dibakar utuh dan disajikan bersama bumbu kelapa dan rempah yang sangat mahal. Pesta di Maluku melambangkan kekayaan laut dan kekuasaan atas jalur rempah.

D. Kalimantan dan Sulawesi: Pesta Kesuburan dan Gotong Royong

Suku-suku di Kalimantan, seperti Dayak, mengadakan pesta besar seperti *Gawai* atau pesta panen. Pesta ini bisa berlangsung berhari-hari dan melibatkan seluruh komunitas. Makanan yang disajikan harus berlimpah, seperti babi hutan yang dipanggang utuh atau nasi yang dimasak dalam bambu (*lemang*). Kelimpahan ini bukan sekadar pamer, tetapi ritual untuk menarik kesuburan dan memastikan panen berikutnya akan sama melimpahnya.

Di Sulawesi, khususnya Bugis-Makassar, pesta pernikahan (*Mappacci*) melibatkan hidangan mewah yang disebut *Songkolo Bagadang* (nasi ketan hitam yang disajikan dengan lauk-pauk kaya santan dan gula merah). Struktur perjamuan sangat teratur, menekankan hubungan kekerabatan yang kompleks yang diatur oleh adat istiadat (*Ade'*).

V. Akulturasi dan Konflik: Pesta di Era Kolonial (Rijsttafel)

Kedatangan kekuatan kolonial (terutama Belanda) mengubah wajah perjamuan di Hindia secara drastis, menciptakan format baru yang menampung tradisi Eropa dan kekayaan lokal: *Rijsttafel* (Meja Nasi).

A. Kelahiran Rijsttafel

Rijsttafel diciptakan oleh orang Belanda di Hindia Belanda sebagai cara untuk menampilkan kekayaan dan keragaman Hindia dalam satu meja makan. Ini adalah format perjamuan kolonial par excellence, dirancang untuk memamerkan kontrol Belanda atas sumber daya alam dari Sabang sampai Merauke. Dalam Rijsttafel klasik, puluhan (bahkan hingga 40) hidangan kecil dari berbagai pulau disajikan sekaligus, dibawa oleh barisan pelayan yang mengenakan pakaian tradisional Jawa atau Melayu.

1. Kontradiksi dalam Kemewahan

Ironisnya, Rijsttafel, meskipun bertujuan mengagungkan masakan Hindia, pada dasarnya adalah perampasan budaya. Makanan disajikan secara ala prasmanan yang mewah (sangat jauh dari tata krama makan komunal atau lesehan adat), dan berfungsi untuk memanjakan lidah kolonial, bukan untuk merayakan kosmologi lokal. Itu adalah representasi visual dari dominasi: semua kekayaan pulau-pulau disatukan di bawah payung administratif kolonial.

B. Jamuan Raja yang Beradaptasi

Sementara orang Belanda menikmati Rijsttafel, para bangsawan lokal harus beradaptasi. Di keraton, jamuan untuk tamu kolonial sering kali menjadi pertemuan hibrida. Hidangan pembuka bisa berupa sup bening bergaya Eropa, diikuti oleh sajian utama *satuan* (hidangan tunggal) yang mewah, dan diakhiri dengan hidangan penutup yang memadukan buah tropis dengan krim. Bahasa yang digunakan di meja makan juga berubah, memadukan bahasa Melayu Tinggi, Belanda, dan bahasa daerah, mencerminkan ketegangan antara mempertahankan tradisi dan mengakui kekuasaan baru.

Namun, di balik tembok istana, ritual-ritual kuno seperti *kenduri* tetap dipertahankan. Ini adalah bentuk perlawanan budaya yang sunyi: selama ritual pangan suci tetap dilakukan, identitas spiritual masyarakat tetap utuh, terpisah dari pengaruh kolonial yang sekuler.

VI. Lebih dari Makanan: Simbolisme dan Etiket Perjamuan

Pesta di Hindia adalah sekolah etiket dan filosofi. Setiap tindakan, dari cara mengundang tamu hingga cara membagi daging, memiliki makna yang mendalam dan bertujuan menjaga keharmonisan (rukun) dalam masyarakat.

A. Filosofi Gotong Royong

Penyelenggaraan pesta besar (seperti pernikahan adat atau pembangunan rumah) adalah praktik paling murni dari *gotong royong*. Seluruh desa atau kerabat terlibat, baik dalam pendanaan, persiapan bahan mentah (mulai dari menumbuk padi hingga menyembelih hewan kurban), hingga memasak dalam kuali raksasa. Perjamuan itu sendiri adalah hasil kolektif, sehingga rasa memiliki terhadap acara tersebut tersebar luas.

Kegagalan dalam menyelenggarakan pesta dengan meriah dan berlimpah dapat merusak reputasi keluarga atau desa. Oleh karena itu, *prestise* menjadi pendorong utama di balik besarnya pesta—sebuah investasi sosial yang diharapkan mendatangkan pengakuan dan dukungan di masa depan.

B. Etiket dan Kehormatan

Etiket makan di Hindia menekankan kerendahan hati dan penghormatan. Di banyak tradisi, makan dengan tangan kanan (tanpa alat) adalah bentuk penghormatan tertinggi terhadap makanan dan tuan rumah. Di Jawa, tindakan makan harus dilakukan dengan perlahan, menghindari suara mengunyah yang keras, dan memastikan bahwa bagian terbaik dari hidangan selalu ditawarkan kepada orang yang lebih tua atau tamu yang dihormati terlebih dahulu.

Dalam jamuan adat, menolak hidangan yang ditawarkan (meskipun sudah kenyang) sering dianggap tidak sopan. Jika tidak mampu menghabiskan, mengambil sedikit dan membawanya pulang (seperti konsep *berkat* di Jawa atau membawa sisa makanan dalam kotak di Minangkabau) adalah cara sopan untuk menunjukkan penghargaan terhadap rezeki dan upaya tuan rumah.

C. Waktu dan Suara: Bagian dari Ritual

Penentuan waktu pesta juga bersifat ritualistik. Banyak *selamatan* diadakan pada malam hari (setelah magrib) karena malam dianggap sebagai waktu yang lebih tenang dan sakral, ideal untuk komunikasi dengan leluhur atau Yang Kuasa. Suara-suara yang menyertai pesta—gamelan yang khidmat di Jawa, atau alunan musik *gondang* di Batak—adalah bagian integral dari ritual, yang bertujuan untuk mengundang semangat baik dan mengusir roh jahat.

VII. Warisan Rasa: Dampak Abadi Perjamuan Hindia

Sistem perjamuan Hindia tidak hanya berakhir sebagai peninggalan sejarah; ia terus membentuk identitas kuliner global dan nasional. Format *Rijsttafel*, meskipun berakar kolonial, telah bertransformasi menjadi representasi keragaman Indonesia di panggung dunia. Sementara itu, ritual komunal seperti *kenduri* tetap menjadi fondasi sosial masyarakat modern.

A. Transformasi dan Globalisasi

Pada masa kini, pesta di Nusantara mengalami globalisasi. Perjamuan mewah sering memadukan hidangan tradisional dengan teknik masak modern, menciptakan fusi yang kompleks. Namun, inti dari pesta tetap sama: demonstrasi kemakmuran, ritual syukur, dan penguatan ikatan sosial.

Restoran-restoran Indonesia modern yang menyajikan ‘tasting menu’ yang menampilkan hidangan dari berbagai pulau adalah cerminan kontemporer dari ide Rijsttafel, namun kini dilakukan dengan narasi yang dikendalikan oleh masyarakat Indonesia sendiri, merayakan kebanggaan atas rempah dan kekayaan kuliner.

B. Pesta sebagai Memori Kolektif

Dalam menghadapi arus modernisasi, perjamuan berfungsi sebagai pengingat kolektif. Ketika masyarakat berkumpul untuk merayakan Idul Fitri, Natal, atau upacara adat, hidangan yang disajikan (baik itu ketupat, opor, atau babi guling) adalah jangkar yang mengikat generasi muda pada sejarah leluhur mereka. Aroma rempah yang kuat adalah memori sensorik yang membawa mereka kembali ke Hindia masa lalu, di mana setiap cengkeh, setiap butir pala, dan setiap biji lada memiliki kisah tentang kekuasaan dan perjalanan panjang.

Kemampuan masyarakat Hindia untuk mempertahankan ritual perjamuan yang kaya akan simbolisme, meskipun melalui berbagai invasi dan perubahan politik, membuktikan bahwa makanan adalah benteng terakhir dari identitas budaya yang tak tergoyahkan. Setiap pesta adalah sebuah deklarasi bahwa warisan rempah dan ritual, yang pernah dicari dan dipertahankan oleh raja-raja dan dikagumi oleh para pedagang dunia, akan terus dirayakan di tanah yang menjadi sumbernya.

Kisah perjamuan di Hindia adalah kisah tentang kepulauan yang luas, di mana setiap daerah menyumbang satu bumbu, satu tata cara, atau satu filosofi untuk menciptakan simfoni rasa yang tak tertandingi. Pesta-pesta ini menegaskan bahwa kemewahan sejati bukanlah pada emas atau perak, tetapi pada kelimpahan alam dan kemampuan untuk membaginya dalam keharmonisan ritual.

VIII. Mendalami Etos dan Komoditas Perjamuan

Untuk memahami sepenuhnya makna *feast* di Hindia, kita harus menggali lebih dalam etos ekonomi dan filosofi di balik komoditas yang disajikan. Di masa pra-kolonial, kekuasaan tidak hanya diukur dari luas wilayah, tetapi dari kemampuan sang Raja untuk memobilisasi sumber daya yang paling sulit didapat, mengolahnya dengan cara yang paling rumit, dan menyajikannya dalam konteks ritual yang sempurna.

A. Kontrol Distribusi Daging dalam Ritual

Penggunaan protein hewani dalam perjamuan besar selalu menjadi penanda status paling jelas. Di banyak wilayah, hewan besar (kerbau atau sapi) hanya disembelih untuk acara adat yang sangat penting (kematian bangsawan, pernikahan antar kerajaan, atau panen raya). Daging bukan sekadar makanan, melainkan komoditas politik.

Di Toraja, Sulawesi, dalam upacara pemakaman *Rambu Solo’*, ribuan kerbau dan babi disembelih. Pembagian daging yang sangat terperinci kepada setiap klan atau keluarga yang hadir adalah sistem akuntansi sosial. Setiap potongan daging yang diterima melambangkan status, utang budi, dan ikatan kekerabatan. Kegagalan dalam membagi daging secara adil akan memicu konflik sosial yang berkepanjangan. Oleh karena itu, perjamuan ini adalah pertunjukan keahlian administrasi dan diplomasi sosial yang luar biasa.

B. Minuman dan Transendensi: Tuak, Arak, dan Jamu

Selain makanan, minuman juga memainkan peran sentral dalam perjamuan. Di banyak suku Batak dan Dayak, *tuak* (minuman fermentasi dari nira) wajib hadir dalam upacara adat. Tuak melambangkan semangat leluhur dan digunakan untuk menciptakan suasana komunal yang santai namun khidmat, memfasilitasi negosiasi adat dan penyelesaian sengketa.

Di Jawa dan Bali, selain minuman beralkohol tradisional, *jamu* (minuman herbal) yang kompleks sering disajikan kepada bangsawan dan tamu penting. Jamu, diracik dari puluhan rempah dan akar, tidak hanya dianggap sebagai obat, tetapi sebagai bukti kemahiran tuan rumah dalam memanfaatkan kekayaan flora Hindia untuk kesehatan dan vitalitas. Menyajikan jamu yang langka dan manjur adalah bentuk perhatian yang sangat pribadi dan berharga.

C. Perlengkapan Makan dan Seni Kerajinan

Nilai sebuah pesta juga diukur dari peralatan yang digunakan. Di keraton, piring porselen dari Tiongkok, mangkuk kuningan berukir, dan nampan perak yang didatangkan dari Eropa atau dibuat oleh perajin lokal terbaik digunakan. Peralatan ini bukan hanya wadah; mereka adalah artefak yang menceritakan jalur perdagangan, kekayaan seni lokal, dan kemampuan Raja untuk memerintahkan produk terbaik dari penjuru dunia.

Di Bali, penggunaan daun pisang dan wadah janur (daun kelapa muda) dalam upacara *Banten* atau *Sajen* menekankan kesederhanaan, kedekatan dengan alam, dan filosofi *Tri Hita Karana* (tiga penyebab kebahagiaan: hubungan dengan Tuhan, dengan manusia, dan dengan alam).

D. Pesta dan Kontrol Waktu: Masa Tanam dan Panen

Sebagian besar perjamuan besar di Hindia terikat pada siklus pertanian. Pesta panen, seperti *Gawai Dayak* atau *Mapadret* di Bali, adalah perayaan wajib. Makanan yang disajikan pada saat ini harus mencerminkan hasil panen: nasi baru, ubi, dan hasil bumi lainnya. Pesta ini secara esensial adalah kontrak sosial dan spiritual: berterima kasih kepada dewa-dewa atau roh bumi atas hasil yang melimpah, dan berjanji untuk merawat tanah agar siklus kesuburan dapat berlanjut.

Pada masa Majapahit, perjamuan kerajaan yang dicatat dalam prasasti sering kali melibatkan pembacaan mantra dan pementasan seni yang berlangsung berhari-hari, memastikan bahwa transisi musim atau pelantikan pejabat baru didukung oleh kekuatan spiritual dan sosial yang terorganisir.

E. Melacak Pengaruh Asing dalam Hidangan Hindia

Perjamuan di Hindia tidak pernah statis. Mereka adalah palet yang menyerap pengaruh dari berbagai peradaban. Invasi Mongol, kedatangan pedagang Gujarat dan Arab, hingga misionaris Portugis, semuanya meninggalkan jejak di meja makan:

Integrasi ini membuktikan bahwa perjamuan di Hindia adalah fenomena yang adaptif, selalu siap menyerap elemen baru asalkan elemen tersebut dapat memperkaya narasi kekayaan dan kekuasaan lokal.

IX. Megahnya Jamuan di Dua Poros Kekuasaan

Untuk memahami skala perjamuan di Hindia sebelum era kolonial, fokus harus diarahkan pada dua kekuatan maritim dan agraris terbesar yang pernah ada: Sriwijaya dan Majapahit. Di sini, pesta adalah alat politik luar negeri yang utama.

A. Sriwijaya: Pesta Maritim dan Emas

Sebagai kerajaan maritim yang mengontrol Selat Malaka, perjamuan di Sriwijaya (sekitar abad ke-7 hingga ke-13) didominasi oleh kekayaan yang didapat dari pajak perdagangan. Meskipun catatan kuliner spesifiknya langka, dipastikan bahwa jamuan diplomatik melibatkan produk-produk yang melintasi jalur laut: sutra, porselen langka, dan tentu saja, lada dari Sumatera dan Malaka.

Pesta-pesta ini harus menampilkan kekayaan yang mampu menarik dan mengintimidasi utusan Tiongkok dan India. Fokusnya mungkin adalah makanan laut yang berlimpah, disajikan dengan teknik pengawetan dan fermentasi khas pesisir. Perjamuan di Sriwijaya adalah perayaan mobilitas dan koneksi global; hidangan yang disajikan harus mencerminkan bahwa Raja Sriwijaya adalah penguasa atas segala yang melewati laut.

B. Majapahit: Pesta Agraris dan Struktur Birokrasi

Di era Majapahit (abad ke-13 hingga ke-15), yang mengutamakan pertanian (agraris), perjamuan di istana Trowulan lebih terstruktur dan berbasis pada hasil bumi Jawa yang subur. Kitab *Negarakertagama* mencatat upacara-upacara besar yang melibatkan ratusan hingga ribuan orang. Pesta ini sering diadakan di lapangan terbuka atau pendopo besar, dipimpin langsung oleh Raja.

Hidangan pokoknya adalah padi, diolah menjadi nasi dengan lauk-pauk dari hasil buruan (rusa, babi hutan) dan ternak. Minuman keras (kemungkinan dari beras fermentasi) disajikan dalam jumlah besar. Yang paling menonjol dari perjamuan Majapahit adalah aspek birokratisnya: pembagian makanan dan hadiah (dharma) dilakukan sesuai dengan jabatan dan peran setiap bangsawan atau pejabat yang hadir, secara ketat mengikuti tatanan yang ditetapkan oleh undang-undang kerajaan.

Perjamuan di Majapahit adalah afirmasi ulang hierarki feodal: semua kekayaan alam dan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk membuat pesta tersebut—dari petani yang menanam padi hingga perajin yang membuat wadah perak—terbukti berada di bawah kendali absolut sang Raja. Pesta ini adalah teater yang menampilkan kesuburan tanah yang diberkati dan efisiensi administrasi kerajaan.

C. Pesta dan Perkawinan Politik

Pesta perkawinan antar-kerajaan adalah salah satu acara paling kritis di Hindia. Ini bukan hanya penyatuan dua individu, melainkan pengamanan aliansi militer dan ekonomi. Di sinilah rempah-rempah yang paling langka dan hidangan yang paling rumit disajikan. Emas, kain, dan rempah diberikan sebagai hadiah pertukaran (*belis* atau *mas kawin*). Skala perjamuan perkawinan seringkali ditentukan oleh posisi politik kedua belah pihak; semakin besar ancaman eksternal, semakin megah pesta tersebut untuk menunjukkan kekuatan gabungan yang baru terbentuk.

X. Epilog: Warisan Abadi Sang Tuan Rumah

Dari kuah gulai yang kental hingga tumpeng yang menjulang tinggi, perjamuan di Tanah Hindia adalah cermin kompleks dari sejarah dan jiwa kolektifnya. Pesta adalah tempat di mana rempah-rempah Maluku bertemu dengan padi Jawa, dan etiket keraton bersinggungan dengan semangat gotong royong pedesaan.

Setiap jamuan, baik yang sakral maupun yang profan, selalu menegaskan kembali tiga hal: pertama, keberlimpahan alam yang harus disyukuri; kedua, pentingnya tatanan sosial yang harus dihormati; dan ketiga, kekuatan tuan rumah—baik itu Raja, sesepuh adat, atau kepala keluarga—dalam mengorganisir dan membagi kekayaan tersebut.

Meskipun namanya telah berubah dari ‘Hindia’ menjadi ‘Indonesia’, esensi perjamuan sebagai ritual perekat sosial dan penegak status tetap lestari. Ketika aroma rempah memenuhi udara dan hidangan disajikan dalam formasi yang khidmat, kita tidak hanya menikmati makanan; kita merayakan warisan peradaban yang kaya, abadi, dan selalu siap menyambut setiap tamu dengan kehangatan dan kemegahan yang tak terlupakan.

Perjamuan di Nusantara akan selalu menjadi kisah tentang kebesaran, kekayaan, dan filosofi hidup yang disajikan di atas piring.

Filosofi di balik perjamuan ini juga mencakup aspek lingkungan yang mendalam. Dalam tradisi Sunda, misalnya, terdapat ritual *Seren Taun* yang merayakan panen padi. Makanan disajikan secara berlebihan, namun setiap komponen, dari nasi hingga lauk pauk, harus dipastikan berasal dari hasil yang dipanen secara berkelanjutan. Ini adalah pengakuan bahwa kekayaan untuk pesta tidak berasal dari kekuasaan politik semata, tetapi dari keberanian spiritual untuk menjaga hubungan harmonis dengan sawah dan hutan.

Di wilayah pesisir timur Indonesia, perjamuan sering diakhiri dengan upacara pelepasan. Sebagian makanan atau sisa kurban dikembalikan ke laut atau sungai. Ini adalah simbol dari siklus kehidupan dan ucapan terima kasih kepada sumber daya alam yang telah memberikan hasil. Pesta, oleh karena itu, adalah tindakan memberi dan menerima yang berlangsung antara manusia, alam, dan dimensi spiritual.

Dalam konteks modern, perjamuan besar tetap menjadi medan pertarungan interpretasi budaya. Upaya untuk melestarikan resep-resep kuno yang sarat rempah langka (seperti hidangan yang menggunakan *andaliman* dari Batak, atau *kluwek* dari Jawa) adalah perjuangan untuk mempertahankan keautentikan rasa Hindia di tengah serbuan kuliner global. Setiap suapan dalam jamuan tradisional adalah sebuah pemeliharaan sejarah yang aktif, menjamin bahwa kekayaan rempah yang pernah menarik kapal-kapal dari Barat ke Timur akan terus menghidupi jiwa bangsa ini.

Ritual perjamuan di Hindia, dari awal hingga akhir, adalah pelajaran tentang kemanusiaan: bagaimana kita menghormati leluhur, bagaimana kita berinteraksi dengan tetangga, dan bagaimana kita memandang diri kita sebagai bagian integral dari sebuah alam semesta yang luas dan penuh berkah. Keberlimpahan pada meja makan adalah refleksi langsung dari keutuhan dan kekuatan komunitas yang merayakannya.

🏠 Homepage