Gambar: Konseptualisasi hubungan Basmalah dan Al-Fatihah (Ummu al-Kitab).
Surah Al-Fatihah, yang dikenal sebagai Ummul Kitab (Induk Kitab), adalah surah pembuka dan yang paling agung dalam Al-Qur'an. Keharusan membacanya dalam setiap rakaat salat (berdasarkan hadis Nabi ﷺ: “Tidak ada salat bagi yang tidak membaca Fatihatul Kitab”) menempatkannya sebagai rukun esensial ibadah. Di sisi lain, Basmalah (بسم الله الرحمن الرحيم) adalah kalimat sakral yang berfungsi sebagai gerbang spiritual, pembuka setiap surah (kecuali Surah At-Taubah), dan penanda setiap aktivitas yang diberkahi.
Namun, di antara kedua entitas suci ini muncul sebuah perdebatan teologis dan fikih yang telah berlangsung selama lebih dari seribu tahun di kalangan ulama: Apakah Basmalah adalah ayat pertama dari Surah Al-Fatihah, ataukah ia merupakan ayat independen yang diturunkan untuk memisahkan antar surah?
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Perbedaan pandangan ini, meski terlihat sederhana, memiliki implikasi besar terhadap tata cara salat, khususnya mengenai wajib tidaknya mengeraskan bacaan Basmalah dan perhitungan total ayat dalam surah tersebut. Artikel ini akan mengupas tuntas dalil, metodologi, dan implikasi dari pandangan empat madzhab utama dalam Islam.
Secara garis besar, pandangan madzhab-madzhab fikih terbagi menjadi tiga kubu utama, yang masing-masing berpegang pada riwayat dan prinsip ushul fikih yang kuat.
Pandangan ini didominasi oleh Madzhab Syafi'i dan, dalam beberapa aspek, sebagian ulama Madzhab Hanbali (terutama dalam salat sunnah atau salat yang didirikan secara individu). Menurut pandangan ini, Basmalah adalah ayat pertama yang integral dan tidak terpisahkan dari Surah Al-Fatihah. Konsekuensinya, salat tidak sah jika Basmalah ditinggalkan (kecuali dalam keadaan lupa atau tidak tahu) karena Surah Al-Fatihah yang dibaca menjadi kurang satu ayat.
Mereka berargumentasi bahwa tujuh ayat Al-Fatihah (yang disebutkan dalam QS Al-Hijr: 87, "Sab'an minal Matsani" – tujuh ayat yang diulang-ulang) hanya terpenuhi jika Basmalah dihitung sebagai ayat pertama, dan 'Shirathalladzina...' dihitung sebagai ayat ketujuh.
Pandangan ini adalah pegangan utama Madzhab Maliki dan Madzhab Hanafi. Mereka sepakat bahwa Basmalah adalah ayat Al-Qur'an yang mulia, diturunkan secara terpisah (mustaqillah) untuk tujuan tabarruk (mencari keberkahan) dan memisahkan surah-surah. Namun, mereka menolak Basmalah sebagai ayat yang wajib dibaca dalam Al-Fatihah ketika salat, atau bahwa ia termasuk dalam bilangan tujuh ayat Surah Al-Fatihah.
Bagi mereka, Al-Fatihah dihitung tujuh ayat tanpa Basmalah, dengan menggabungkan dua kalimat terakhir (Shirathalladzina... sampai Dhaallin) menjadi satu ayat ketujuh yang panjang.
Sebagian besar ulama Madzhab Hanbali mengambil jalan tengah. Mereka berpendapat bahwa Basmalah adalah ayat yang berdiri sendiri yang diturunkan pada awal setiap surah (kecuali At-Taubah), namun bukan bagian dari Al-Fatihah. Meskipun demikian, mereka tetap menganjurkan (sunnah) untuk membacanya secara lirih (sirr) sebelum Al-Fatihah dalam salat, sebagai bentuk kepatuhan terhadap sunnah Nabi ﷺ dalam memulai bacaan Al-Qur'an.
Pandangan yang menganggap Basmalah adalah ayat pertama Al-Fatihah adalah pandangan yang sangat kuat secara riwayat, khususnya dari jalur periwayatan di kalangan sahabat dan tabi'in di Mekah dan Kufah. Para ulama Syafi'iyah menetapkan Basmalah sebagai rukun qauli (ucapan) yang wajib dibaca dalam salat.
Dalil utama yang digunakan oleh Imam Asy-Syafi’i berasal dari hadis-hadis yang menegaskan Basmalah sebagai bagian dari surah:
Secara linguistik, kaum Syafi'iyyah melihat konsistensi struktur. Ayat-ayat Al-Fatihah setelah Basmalah (yaitu 'Alhamdulillahirabbilalamin' hingga 'Maliki Yaumiddin') memiliki korelasi makna yang sangat erat. Mengeluarkan Basmalah dari hitungan akan membuat ayat 'Maliki Yaumiddin' (Raja Hari Pembalasan) menjadi ayat ketiga, yang secara maknawi seakan terlepas dari konteks Rububiyyah (ketuhanan) yang telah disebutkan di ayat sebelumnya ('Alhamdulillah'). Basmalah berfungsi sebagai pengantar yang mulia yang menyambungkan kekuasaan Allah SWT dengan segala puji yang ditujukan kepada-Nya.
Karena Basmalah dianggap ayat integral, Madzhab Syafi'i mewajibkan pembacaannya dalam salat (baik Jahr maupun Sirr). Dalam salat Jahr (seperti Maghrib, Isya, Subuh), disunnahkan untuk mengeraskan Basmalah. Argumentasi untuk mengeraskan didasarkan pada riwayat dari Abu Hurairah dan Anas bin Malik yang menyebutkan Nabi ﷺ mengeraskan Basmalah, meskipun riwayat ini ditentang oleh madzhab lain.
Madzhab Hanafi dan Maliki, yang merupakan mayoritas di kawasan Afrika Utara dan sebagian besar Asia Tengah, menolak gagasan Basmalah sebagai ayat pertama Al-Fatihah. Mereka memiliki pijakan dalil yang kuat dari hadis-hadis yang menunjukkan praktik Nabi ﷺ dan para Khalifah Rasyidin dalam salat.
Dalil utama mereka berfokus pada penolakan bahwa Nabi ﷺ selalu membaca Basmalah dengan keras dan anggapan bahwa Basmalah hanya digunakan sebagai pemisah:
Para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Basmalah diturunkan sebagai ayat independen untuk tujuan Istiftah (pembukaan) dan Tabarruk (keberkahan). Mereka mengakui Basmalah adalah bagian dari Al-Qur'an (sebagaimana tertulis dalam mushaf) tetapi tidak sebagai bagian integral dari surah. Bagi mereka, Basmalah hanya sunnah dibaca secara lirih sebelum Al-Fatihah.
Bagi Maliki dan Hanafi, meninggalkan Basmalah (baik secara sengaja maupun tidak) tidak membatalkan salat, karena Surah Al-Fatihah yang merupakan rukun salat tetap dibaca secara utuh (enam atau tujuh ayat tanpa Basmalah). Bagi Maliki, membaca Basmalah dalam salat wajib di awal Al-Fatihah adalah makruh, terutama jika dibaca keras, karena dianggap menyelisihi praktik Khalifah Umar dan Utsman yang terkenal.
Perbedaan pandangan fikih ini sangat erat kaitannya dengan perbedaan tradisi pembacaan (Qira’at) yang diakui otentik, serta bagaimana Mushaf Utsmani (mushaf standar yang dikumpulkan di masa Khalifah Utsman bin Affan) dikodifikasi.
Sistem penghitungan ayat (Adad Al-Ay) dalam Al-Qur'an tidak tunggal, dan inilah akar perselisihan utama:
Para ulama sepakat bahwa semua qira’at ini adalah valid dan bersumber dari Nabi ﷺ. Oleh karena itu, perbedaan ini bukan tentang benar atau salah, melainkan tentang riwayat mana yang dijadikan pijakan utama dalam penetapan rukun fikih.
Mengenai penempatan Basmalah dalam Mushaf Utsmani, semua sepakat Basmalah tertulis di awal Al-Fatihah (dan surah lainnya). Ulama Syafi'i melihat penulisan ini sebagai bukti bahwa Basmalah adalah ayat dari surah tersebut. Sementara ulama lain melihatnya sebagai tanda pemisah yang diletakkan atas perintah Nabi ﷺ, namun belum tentu rukun bacaan dalam surah. Mereka menunjukkan bahwa Basmalah tidak memiliki nomor ayat di awal surah selain Al-Fatihah, namun ia diberi nomor '1' hanya di awal Al-Fatihah dalam mushaf standar Kufi.
Penting untuk dicatat bahwa perselisihan antara Basmalah yang dibaca keras (Jahr) dan yang dibaca lirih (Sirr) adalah inti dari perbedaan fikih. Setiap madzhab memiliki cara sendiri untuk mensintesis atau mentarjihkan riwayat-riwayat yang tampaknya bertentangan.
Madzhab Syafi'i yang berpegang pada riwayat yang menyatakan Nabi ﷺ mengeraskan Basmalah (misalnya riwayat dari Naim Al-Mujmir) beranggapan bahwa riwayat-riwayat yang menyebutkan Nabi memulai dengan 'Alhamdulillah' (seperti riwayat Anas bin Malik) ditafsirkan sebagai: Nabi ﷺ mengeraskan bacaan 'Alhamdulillah' lebih keras daripada Basmalah, atau para sahabat tidak memperhatikan Basmalah karena Basmalah dibaca sebentar, lalu fokus mereka tertuju pada bacaan utama Al-Fatihah.
Sebaliknya, Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa riwayat-riwayat yang menyatakan pengerasaan Basmalah adalah riwayat yang syadz (ganjil) atau dibaca hanya untuk tujuan pengajaran. Mereka mendahulukan riwayat-riwayat yang menunjukkan konsistensi para Khalifah Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman) dalam tidak mengeraskan Basmalah, karena praktik para Khalifah Rasyidin dianggap sebagai sunnah yang diikuti oleh umat setelah Nabi ﷺ.
Dalam ushul fikih, perbedaan ini juga menyentuh masalah otoritas hadis. Kaum Syafi'i meyakini bahwa riwayat yang menegaskan Basmalah adalah ayat memiliki kedudukan yang setara dengan riwayat yang menolaknya, dan oleh karena itu, penulisan dalam Mushaf harus menjadi penentu (hakim). Sementara itu, kaum Hanafi dan Maliki lebih menekankan pada praktik Amal Ahlil Madinah (praktik penduduk Madinah) atau hadis yang menunjukkan kebiasaan umum Nabi dan para Khalifah, yang mana kebiasaan umum tersebut adalah tidak mengeraskan.
Malikiyah sangat kuat berpegang pada konsep bahwa jika penduduk Madinah, tempat di mana Islam bersemi dan Nabi ﷺ tinggal, secara konsisten tidak mengerjakan sesuatu (seperti mengeraskan Basmalah), maka itu adalah indikasi bahwa hal tersebut bukanlah rukun atau keharusan dalam sunnah.
Perbedaan kedudukan Basmalah ini memiliki dampak langsung pada sah atau tidaknya salat:
Jika seseorang tidak menganggap Basmalah sebagai ayat, bagaimana cara ia menyambungkan bacaan dari akhir surah sebelumnya (jika ada) ke Al-Fatihah? Atau bagaimana ia menyambungkan Al-Fatihah ke Surah Al-Baqarah?
Dalam ilmu tajwid dan qira’at, meskipun Basmalah bukan dianggap ayat wajib oleh semua, ia tetap wajib dibaca ketika berpindah surah (kecuali dari Al-Anfal ke At-Taubah). Perdebatan ini memastikan bahwa status Basmalah adalah ayat tersendiri yang berfungsi sebagai Fashl (pemisah) yang diberkahi, bahkan bagi mereka yang tidak menganggapnya sebagai ayat integral Al-Fatihah.
Misalnya, bagi kaum Hanafi, jika seseorang salat sendirian, ia membaca Basmalah lirih, lalu membaca Al-Fatihah dengan 'Alhamdulillah...' sebagai ayat pertama. Bagi Syafi'i, ia membaca Basmalah keras, diikuti 'Alhamdulillah...' sebagai ayat kedua.
Ayat yang menyebutkan Al-Fatihah sebagai tujuh ayat yang diulang-ulang (Sab’an minal Matsani) adalah kunci. Apakah Basmalah termasuk dalam hitungan ini? Para ulama yang menolak memasukkan Basmalah berpendapat bahwa tujuh ayat tersebut merujuk pada ayat-ayat inti yang mengandung pujian, ibadah, dan permohonan petunjuk (mulai dari 'Alhamdulillah' hingga 'waladh Dhaallin'). Basmalah, dengan makna kemaharahiman dan kemahapengasihan, bersifat umum dan muncul di setiap surah, sehingga tidak spesifik bagi Al-Fatihah.
Sementara itu, bagi Syafi’iyyah, Basmalah adalah puncak dari permohonan pertolongan. Tidak ada ibadah yang dimulai tanpa menyebut nama Allah, dan ini harus termasuk dalam ‘Sab’an minal Matsani’ yang merupakan intisari Al-Qur'an. Mereka melihat ketujuh ayat ini sebagai struktur yang sempurna, di mana tiga ayat awal memuji Allah, satu ayat di tengah sebagai perjanjian ('Iyyaka na'budu'), dan tiga ayat terakhir sebagai permohonan.
Sebagian mufassir menekankan hubungan Basmalah dengan ayat keempat, 'Maliki Yaumiddin'. Basmalah mendeskripsikan Allah sebagai Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang). Sifat Rahman dan Rahim ini adalah sifat yang selalu mendahului kemurkaan. Oleh karena itu, menghubungkan sifat kasih sayang (Basmalah) dengan hari pembalasan (Maliki Yaumiddin) adalah sebuah kesempurnaan makna yang menunjukkan bahwa meskipun hari kiamat adalah hari penghakiman, ia tetap didasari oleh Rahmat Allah yang luas.
Jika Basmalah dikeluarkan, maka transisi dari 'Alhamdulillah' langsung ke 'Maliki Yaumiddin' terasa kurang mulus secara emosional dan spiritual, menurut pandangan Syafi'iyyah.
Meskipun terdapat perbedaan pandangan yang fundamental dalam fikih, ulama dari semua madzhab sepakat pada beberapa hal penting: Basmalah adalah ayat Al-Qur'an yang wajib dihormati; membacanya sebelum Al-Fatihah adalah sunnah (walaupun cara pembacaannya berbeda); dan Surah Al-Fatihah adalah rukun salat yang wajib dibaca secara sempurna (tujuh ayat). Perbedaan ini menunjukkan kekayaan metodologi ushul fikih dalam memahami teks-teks Al-Qur'an dan Sunnah yang memiliki potensi interpretasi ganda (Ijtihad).
Pada akhirnya, perbedaan ini bukanlah perbedaan akidah, melainkan perbedaan dalam penetapan tata cara ibadah (furuiyah). Hal ini merupakan rahmat bagi umat Islam, memungkinkan pelaksanaan ibadah yang sah sesuai dengan tradisi qira’at dan fikih yang diikuti di wilayah masing-masing.
Penting untuk mengamati bagaimana Basmalah diperlakukan di surah-surah lain. Dalam seluruh mushaf, Basmalah ditulis sebagai pemisah antara surah, kecuali pada Surah At-Taubah. Satu-satunya tempat di mana Basmalah muncul di tengah surah dan disepakati sebagai ayat integral adalah dalam Surah An-Naml (QS 27:30), yang merupakan bagian dari surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Balqis. Ini membuktikan bahwa Basmalah bisa menjadi ayat mandiri yang diturunkan di tengah suatu konteks.
Bagi Hanafiyah/Malikiyah, status Basmalah di awal surah adalah mirip dengan posisinya sebagai pembuka, bukan sebagai ayat yang dihitung dalam bilangan surah. Namun, bagi Syafi'iyyah, penempatannya di An-Naml menunjukkan bahwa ia memiliki potensi status ayat, dan dalam konteks Al-Fatihah, penempatannya di Mushaf Utsmani memastikan status tersebut.
Hadis Qudsi mengenai pembagian salat (yakni Al-Fatihah) juga sering dijadikan dalil oleh semua pihak. Dalam hadis ini, Allah berfirman: “Aku membagi salat (yakni Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian.” Kemudian ayat-ayatnya disebutkan satu per satu, dimulai dari “Alhamdulillahirabbilalamin”.
Kaum Hanafi dan Maliki menggunakan hadis ini sebagai bukti bahwa Basmalah tidak termasuk dalam tujuh ayat yang dibagi antara Allah dan hamba-Nya, karena hadis tersebut memulai hitungan dari 'Alhamdulillah'.
Namun, Syafi'iyyah menjawab bahwa hadis tersebut hanya menjelaskan pembagian inti dari pujian dan permohonan. Meskipun hitungan dimulai dari ‘Alhamdulillah’, ini tidak serta merta menafikan status Basmalah sebagai ayat pertama yang berfungsi sebagai kunci masuk dan penyebutan nama Allah (sebuah keharusan yang mendahului pujian).
Dalam ilmu fikih, Madzhab Syafi’i dan Hanbali seringkali cenderung memilih jalur Ihtiyat, yaitu prinsip kehati-hatian dalam beribadah. Jika ada perselisihan mengenai apakah suatu unsur adalah rukun atau tidak, kehati-hatian menuntut untuk mengerjakannya agar ibadah terjamin keabsahannya. Karena ada riwayat yang kuat yang menunjukkan Basmalah adalah ayat pertama, maka melaksanakan dan membacanya (seperti yang diwajibkan oleh Syafi'i) adalah bentuk kehati-hatian yang paling tinggi, memastikan Al-Fatihah dibaca dalam format tujuh ayat yang disepakati oleh sebagian ulama.
Fokus pada Madzhab Syafi'i (Madzhab terbesar kedua di dunia setelah Hanafi) menunjukkan betapa krusialnya Basmalah bagi mereka. Dalam fikih Syafi'i, rukun qauli dalam salat ada lima: Takbiratul Ihram, membaca Al-Fatihah, Tasyahhud Akhir, Salat kepada Nabi, dan Salam pertama. Basmalah termasuk dalam rukun membaca Al-Fatihah.
Rukun Qauli adalah ucapan atau bacaan yang wajib dilafalkan oleh lisan, yang mana jika ditinggalkan secara sengaja, salat menjadi batal. Karena Basmalah adalah ayat pertama Al-Fatihah, maka ia menjadi bagian dari rukun ini. Syaikh Zakariyya al-Anshari, ulama Syafi’i terkemuka, menegaskan bahwa jika seseorang meninggalkan Basmalah, seolah-olah ia membaca 6 dari 7 ayat, dan salatnya tidak sah.
Meskipun wajib, ada kondisi pengecualian dalam madzhab Syafi’i, seperti bagi orang yang baru masuk Islam dan belum hafal, atau orang yang benar-benar lupa (sehingga ia harus segera menggantinya jika ingat). Namun, bagi mayoritas umat Islam yang bermazhab Syafi'i, wajib hukumnya untuk menghafal dan melafalkan Basmalah dalam setiap rakaat fardu dan sunnah, baik sebagai imam, makmum (ketika imam tidak mengeraskan), maupun salat sendirian.
Penting untuk membedakan kedudukan Basmalah dan Ta'awudz (A’udzu billahi minasy-syaithanirrajim). Seluruh madzhab sepakat bahwa Ta’awudz adalah sunnah sebelum membaca Al-Fatihah, berdasarkan perintah Al-Qur'an. Ta'awudz berfungsi sebagai perlindungan dari gangguan setan. Sebaliknya, Basmalah diposisikan oleh Syafi’iyyah sebagai bagian dari teks wahyu itu sendiri, bukan sekadar permulaan.
Perdebatan mengenai kedudukan Basmalah dalam Surah Al-Fatihah adalah salah satu contoh klasik dari kekayaan intelektual dan metodologis dalam Islam. Tidak ada satupun madzhab yang dapat dikatakan sepenuhnya benar atau salah, karena masing-masing memiliki dalil yang sah dan berasal dari riwayat yang otentik (baik dari praktik Nabi ﷺ yang berbeda pada waktu berbeda, maupun dari tradisi qira'at yang berbeda).
Bagi umat Islam, hal terpenting adalah mengikuti madzhab fikih yang diyakini atau diajarkan di lingkungan mereka, dengan kesadaran penuh bahwa salat yang dilakukan sesuai Madzhab Syafi'i (dengan mengeraskan Basmalah) sah, sama sahnya dengan salat yang dilakukan sesuai Madzhab Hanafi atau Maliki (tanpa mengeraskan Basmalah atau bahkan tanpa membacanya sebagai ayat wajib).
Perbedaan ini menegaskan prinsip al-ikhtilaf fil furu' rahmatun (perbedaan dalam masalah cabang adalah rahmat), yang memungkinkan fleksibilitas dalam ibadah selama rukun utamanya (yakni membaca inti Surah Al-Fatihah) dipenuhi. Dengan demikian, Basmalah tetap menjadi gerbang keberkahan, baik ia dianggap ayat integral ataukah ayat independen yang mulia.
Penghormatan terhadap berbagai sudut pandang historis, linguistik, dan fikih adalah kunci untuk menjaga persatuan umat dalam melaksanakan rukun Islam yang paling utama, yaitu salat, yang merupakan tiang agama.