Bara’ah (At-Tawbah): Eksplorasi Teologis Ketiadaan Basmalah di Awal Surah

Representasi Dua Surah Berdampingan Ilustrasi dua gulungan kitab yang menyatu, menyimbolkan Surah Al-Anfal dan At-Tawbah yang sering dianggap sebagai satu kesatuan. بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ Ayat 1, 2, 3... --- ABSEN --- بَرَاءَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ... Ayat 1, 2, 3...
Visualisasi Surah Al-Anfal (kiri) dan At-Tawbah (kanan), menyoroti anomali struktural ketiadaan Basmalah pada Surah At-Tawbah.

I. Pengantar: Anomali Struktur Surah dalam Mushaf

Al-Qur’an Al-Karim, sebagai mukjizat abadi bagi umat Islam, terdiri dari 114 surah. Dari keseluruhan surah tersebut, terdapat sebuah pengecualian tunggal yang menarik perhatian para ulama, ahli tafsir, ahli qira’at, dan ahli sejarah Al-Qur’an selama berabad-abad. Pengecualian tersebut terletak pada Surah kesembilan, yang dikenal dengan nama Surah At-Tawbah (Pengampunan) atau Surah Bara’ah (Pemutusan Hubungan).

Hampir setiap surah dalam Al-Qur’an dimulai dengan kalimat agung, بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ (Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang) – yang lebih dikenal sebagai Basmalah. Basmalah berfungsi tidak hanya sebagai pembuka spiritual tetapi juga sebagai pemisah yang jelas antara satu surah dengan surah berikutnya, menegaskan dimulainya wahyu baru.

Namun, Surah At-Tawbah berdiri sendiri sebagai satu-satunya surah yang tidak diawali dengan Basmalah. Keunikan struktural ini memicu diskusi mendalam di kalangan ulama salaf hingga khalaf mengenai sebab-sebab di baliknya. Apakah ketiadaan Basmalah ini merupakan kelalaian, sebuah kebijakan redaksi di masa pengumpulan Mushaf Utsmani, ataukah ia merupakan penetapan ilahi yang mengandung makna teologis yang sangat spesifik?

Tujuan dari eksplorasi ini adalah untuk menelusuri secara komprehensif berbagai pandangan, hadis, dan ijtihad ulama terkait anomali Surah At-Tawbah, serta memahami implikasi teologis dan hukum fiqih yang timbul dari ketiadaan Basmalah tersebut.

II. Akar Historis dan Kronologis Ketiadaan Basmalah

Untuk memahami ketiadaan Basmalah pada Surah At-Tawbah, kita harus merujuk pada tiga sumber utama: riwayat dari para Sahabat, konteks kronologis turunnya wahyu, dan analisis tematik surah itu sendiri.

A. Riwayat Periode Pengumpulan Mushaf Utsmani

Pendapat yang paling kuat dan diterima secara luas didasarkan pada keputusan yang diambil pada masa kodifikasi Al-Qur’an di bawah Khalifah Utsman bin Affan (R.A). Riwayat yang dicatat oleh para ahli hadis dan sejarawan Al-Qur’an, seperti Imam At-Tirmidzi, sering mengutip pernyataan para Sahabat.

Salah satu riwayat utama datang dari Ibnu Abbas dan Utsman bin Affan sendiri, yang menjelaskan bahwa Surah At-Tawbah (Bara'ah) diturunkan mendekati periode Surah Al-Anfal (Ghanimah Perang). Rasulullah ﷺ wafat sebelum sempat memberikan instruksi eksplisit mengenai apakah Surah At-Tawbah merupakan kelanjutan dari Al-Anfal atau surah yang berdiri sendiri.

"Utsman bin Affan berkata: 'Rasulullah ﷺ sering menerima wahyu, dan apabila ayat-ayat diturunkan kepadanya, beliau memanggil para penulis wahyu dan berkata, 'Letakkan ayat ini di surah yang menyebutkan ini dan itu.' Sementara Surah At-Tawbah adalah yang terakhir diturunkan, dan beliau wafat sebelum menjelaskan kepada kami apakah surah ini merupakan bagian dari Surah Al-Anfal atau surah tersendiri. Karena itu, para Sahabat mengambil keputusan untuk memisahkannya (sebagai surah baru) tetapi tidak meletakkan Basmalah di antara keduanya, untuk menunjukkan keraguan (tentang pemisahan definitif) dan juga untuk menjaganya dalam urutan setelah Al-Anfal.'"

Keputusan kolektif Sahabat ini, yang kemudian dikenal sebagai Ijtihad Sahabah, mengindikasikan kehati-hatian maksimal dalam penyusunan Mushaf. Mereka memilih untuk tidak menambahkan Basmalah yang merupakan bagian dari wahyu, jika Rasulullah ﷺ sendiri tidak memerintahkannya.

B. Analisis Kronologis dan Konteks Tematik

Surah At-Tawbah diyakini merupakan salah satu surah Madaniyyah yang terakhir diturunkan, berfokus pada peristiwa Perang Tabuk dan deklarasi pemutusan perjanjian dengan kaum musyrikin yang telah melanggar kesepakatan damai. Secara tematik, ia adalah surah yang penuh dengan ancaman, peringatan keras, dan pernyataan perang terhadap musuh-musuh Islam.

Konteks Bara'ah (Pemutusan) ini bertentangan secara diametral dengan makna Basmalah. Basmalah, dengan dua nama Allah, ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ (Maha Pengasih, Maha Penyayang), menyiratkan rahmat, kedamaian, dan awal yang baik. Para ulama tafsir berpendapat bahwa memulai sebuah deklarasi perang total, pemutusan hubungan, dan ancaman azab dengan kalimat Rahmat adalah kontradiktif.

Pendapat ini dianut oleh ulama besar seperti Ali bin Abi Thalib, yang diriwayatkan pernah berkata: "Basmalah adalah keamanan, dan Surah Bara'ah diturunkan dengan pedang (perang), sehingga tidak ada keamanan di awalnya."

Dalam pandangan ini, ketiadaan Basmalah adalah penetapan tematik ilahi, bukan sekadar keputusan redaksional manusia. Surah ini dimulai dengan kalimat بَرَاءَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦٓ (Pernyataan pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya), yang merupakan permulaan yang tegas dan keras, sehingga meniadakan kebutuhan akan Basmalah yang bersifat lunak dan penuh Rahmat.

III. Konsensus Ulama dan Beragam Interpretasi Teologis

Walaupun riwayat mengenai keraguan Utsman tentang pemisahan surah dan pertimbangan tematik menjadi landasan utama, diskusi ulama tidak berhenti pada satu poin saja. Terdapat variasi penekanan dalam madzhab-madzhab hukum (Fiqh) dan tradisi tafsir (Tafsir).

A. Konsep Dua Surah dalam Satu Kesatuan (Al-Anfal dan At-Tawbah)

Banyak ulama salaf, termasuk Imam Malik, berpegang pada pandangan bahwa Al-Anfal dan At-Tawbah seharusnya dianggap sebagai satu surah panjang yang terbagi menjadi dua bagian, atau setidaknya, sangat erat terhubung. Mereka menyebutnya sebagai 'Dua yang Bersaudara' (Al-Qarinatan).

1. **Kesamaan Tema Awal:** Surah Al-Anfal berbicara tentang hukum perang, pembagian harta rampasan, dan janji kemenangan. Surah At-Tawbah melanjutkan tema ini dengan fokus pada manajemen hubungan politik dan militer pasca-penaklukan Makkah, yaitu penanganan perjanjian dengan kaum Musyrikin. Transisi tematiknya dianggap terlalu mulus untuk memerlukan pemisah berupa Basmalah.

2. **Ukuran Tujuh Surah Panjang (As-Sab’uth-Thiwal):** Sebagian ulama mengaitkan ketiadaan Basmalah dengan tradisi penomoran surah panjang. Jika Surah At-Tawbah dan Al-Anfal digabungkan, mereka akan membentuk salah satu dari 'Tujuh Surah Panjang' (As-Sab’uth-Thiwal) dengan panjang yang sebanding. Namun, karena keraguan redaksional, keduanya dipisahkan tetapi tanpa Basmalah agar tidak sepenuhnya menjadi dua surah independen secara konvensional.

B. Pandangan Madzhab Fiqih Mengenai Pembacaan

Implikasi terbesar dari ketiadaan Basmalah adalah pada tata cara pembacaan (Qira’at) dan hukum Fiqih, khususnya bagi mereka yang memulai bacaan Al-Qur’an langsung dari Surah At-Tawbah.

1. **Pendapat Jumhur (Mayoritas Ulama):** Mayoritas ulama, termasuk Hanbali, Syafi’i, dan Maliki, sepakat bahwa Basmalah tidak boleh dibaca di awal Surah At-Tawbah, baik dalam shalat maupun di luar shalat. Ini adalah wujud ketaatan terhadap susunan Mushaf Utsmani. Jika seseorang membacanya, bacaannya sah, tetapi ia dianggap melakukan hal yang makruh (tidak disukai) karena menyimpang dari sunnah Mushaf.

2. **Hukum Ta’awwudz (A'udzu Billah):** Berbeda dengan Basmalah, lafaz أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ (Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk), atau Ta’awwudz, tetap disunnahkan untuk dibaca sebelum memulai Surah At-Tawbah, karena Ta’awwudz adalah perintah umum sebelum membaca Al-Qur’an (sebagaimana dianjurkan dalam Surah An-Nahl: 98).

3. **Memulai dari Tengah Surah:** Jika seseorang memulai bacaan dari tengah Surah At-Tawbah, diperbolehkan baginya untuk membaca Basmalah dan Ta’awwudz. Namun, keutamaannya (khususnya bagi madzhab Syafi’i) adalah dengan membaca Ta’awwudz saja, kemudian langsung membaca ayat yang diinginkan, untuk menjaga konsistensi dengan tema keras Surah tersebut.

C. Tafsir Linguistik dan Struktur Surah

Para ahli bahasa Arab menekankan bahwa kata pembuka بَرَاءَةٌ (Bara’ah/Pemutusan) adalah nomina yang berfungsi sebagai predikat, mengindikasikan ketegasan dan pengumuman segera (deklarasi). Berbeda dengan surah-surah lain yang seringkali dimulai dengan huruf muqatta'at atau pujian yang lebih umum.

Syeikh Muhammad Abduh, dalam tafsirnya, menyoroti bahwa Basmalah berfungsi sebagai ‘kunci’ pembuka. Karena At-Tawbah adalah kelanjutan langsung dari Al-Anfal (yang memiliki Basmalah), kunci tersebut tidak diperlukan lagi, seolah-olah pintu surah sudah terbuka dari surah sebelumnya.

IV. Perbandingan Riwayat dan Analisis Kekuatan Hadis

Kajian mendalam mengenai Surah At-Tawbah memerlukan pemeriksaan kritis terhadap berbagai riwayat yang ada, karena tidak semua riwayat memiliki derajat kesahihan (shahih) yang sama.

A. Riwayat Kritis dari Imam Ahmad dan An-Nasa’i

Riwayat yang paling sering dijadikan sandaran adalah riwayat dari Ibnu Abbas (R.A.) yang mencerminkan keraguan di masa Utsman. Ini termasuk riwayat *Mursal* dan *Mutawatir* makna (sering diriwayatkan dengan rantai berbeda yang mengarah ke kesimpulan sama) mengenai ketiadaan instruksi eksplisit dari Nabi ﷺ.

Kritik yang muncul adalah, jika Rasulullah ﷺ tidak menetapkan Basmalah di awal surah ini, mengapa beliau tidak memerintahkan penghapusan Basmalah di surah-surah lain yang juga berisikan ancaman perang atau azab (seperti Surah Al-Ma'idah atau An-Nisa)?

Jawaban yang diberikan oleh para ulama adalah bahwa tingkat keparahan dan totalitas deklarasi perang dalam At-Tawbah (terutama ayat 1-5, yang sering disebut *Ayat Sayf* atau Ayat Pedang) jauh melampaui surah-surah Madaniyyah lainnya. At-Tawbah adalah pengumuman final, setelah upaya damai gagal, yang tidak menyisakan ruang bagi Rahmat bagi mereka yang secara aktif memusuhi. Rahmat Allah *Ar-Rahman Ar-Rahim* dalam konteks ini tertunda, digantikan oleh Keadilan-Nya.

B. Kontroversi Riwayat Pendapat Lain

Beberapa riwayat minoritas menyebutkan bahwa Surah At-Tawbah sebenarnya telah memiliki Basmalah, tetapi telah dihilangkan karena alasan politik atau teologis yang berbeda-beda. Namun, riwayat-riwayat ini dianggap *Dha'if* (lemah) dan ditolak oleh mayoritas ahli hadis karena bertentangan dengan ijma (konsensus) Sahabat di masa kodifikasi Mushaf Utsmani.

Ijma Sahabat memiliki kedudukan hukum yang sangat tinggi. Fakta bahwa semua Mushaf Utsmani (yang dikirim ke berbagai pusat Islam seperti Kufah, Basra, dan Syam) seragam dalam tidak mencantumkan Basmalah di awal At-Tawbah adalah bukti terkuat bahwa ketiadaan tersebut adalah *Tawqifi* (ditetapkan) atau minimal merupakan Ijtihad yang disepakati yang tidak boleh diubah.

V. Implikasi Teologis dan Spiritual Ketiadaan Basmalah

Ketiadaan Basmalah bukan sekadar masalah redaksional, melainkan sebuah pelajaran teologis mendalam mengenai sifat-sifat Allah, dinamika hubungan antara Rahmat dan Azab, serta pemahaman tentang kesempurnaan wahyu Al-Qur’an.

A. Penekanan pada Sifat Keadilan (Al-Adl)

Basmalah menekankan sifat Rahmat Allah (Ar-Rahman, Ar-Rahim). Dengan tidak adanya Basmalah di At-Tawbah, fokus beralih sementara ke sifat-sifat Allah yang lain, khususnya keadilan, kekuasaan, dan pembalasan-Nya. Surah ini merupakan manifestasi dari hukum sebab-akibat (sunnatullah) di mana pengkhianatan dan kemunafikan akan menghadapi konsekuensi yang keras.

Ketiadaan Basmalah mengajarkan bahwa Rahmat Allah, meskipun meliputi segala sesuatu, tidak menghilangkan konsekuensi logis dari sebuah pilihan. Ketika perjanjian dirobek dan perang dinyatakan, manifestasi utama yang dituntut adalah Keadilan, bukan Rahmat yang menangguhkan hukuman.

B. Isyarat terhadap Nifaq (Kemunafikan)

Surah At-Tawbah dikenal sebagai *Al-Fadhihah* (yang Membuka Aib) karena surah ini secara eksplisit mengungkap dan memperingatkan kaum Munafik di Madinah. Rahmat Allah dalam Basmalah secara umum melingkupi hamba-Nya yang beriman. Kaum Munafik, yang menunjukkan keimanan di luar tetapi menyembunyikan kekufuran, telah memutus diri mereka dari Rahmat ilahi yang sejati.

Oleh karena itu, surah yang berfokus pada penghukuman dan pemisahan kaum Munafik dari barisan orang beriman harus dimulai dengan permulaan yang mencerminkan pemutusan tersebut, sehingga secara simbolis Basmalah ditiadakan bagi mereka yang secara spiritual telah memutuskan hubungan mereka dengan inti Rahmat Allah.

C. Kesatuan Struktur Ilahi

Pendapat yang melihat At-Tawbah sebagai kelanjutan dari Al-Anfal menyiratkan bahwa Al-Qur’an adalah sebuah struktur tunggal yang kohesif. Ketiadaan pemisah formal di tengah-tengah dua tema yang saling melengkapi ini menunjukkan bahwa transisi dari hukum perang (Al-Anfal) ke deklarasi ultimatum (At-Tawbah) adalah satu arus naratif ilahi yang utuh.

Ini memperkuat doktrin bahwa setiap penempatan kata, ayat, dan surah dalam Al-Qur’an (disebut *Tawqif*) adalah sempurna. Jika Basmalah diletakkan, ia akan memecah kesatuan tematik; jika surah ini digabung tanpa pemisah apapun, ia akan melanggar konvensi Mushaf secara keseluruhan. Ketiadaan Basmalah adalah titik keseimbangan sempurna di antara dua skenario tersebut.

VI. Posisi Surah At-Tawbah dalam Ilmu Qira'at

Ilmu Qira’at (variasi pembacaan Al-Qur’an) juga memiliki pandangan spesifik terkait cara membaca transisi dari Surah Al-Anfal ke Surah At-Tawbah.

A. Tiga Cara Pembacaan Utama (Al-Wushul, Al-Sakt, dan Al-Fashl)

Bagi qari yang membaca Al-Qur’an secara berurutan, ada tiga cara yang disahkan oleh para ahli Qira’at ketika berpindah dari akhir Surah Al-Anfal ke awal Surah At-Tawbah:

1. **Al-Wushul (Menyambung):** Menyambung akhir ayat terakhir Al-Anfal dengan ayat pertama At-Tawbah tanpa jeda, dengan mengubah harakat nun sukun atau tanwin pada kata terakhir Al-Anfal menjadi harakat kasrah diikuti mim kecil (seperti yang dilakukan dalam Iqlab), lalu langsung membaca Bara’ah. Contohnya: عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ (akhir Al-Anfal)... بَرَاءَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ. Ini menegaskan kesinambungan tematik.

2. **Al-Sakt (Jeda Pendek):** Berhenti sebentar (tanpa mengambil napas) setelah akhir Al-Anfal, kemudian segera memulai At-Tawbah. Jeda ini hanya untuk membedakan dua surah, tetapi tidak seformal jeda yang biasanya menyertai Basmalah.

3. **Al-Fashl (Memisahkan Penuh):** Berhenti sejenak, mengambil napas, dan kemudian memulai Surah At-Tawbah. Ini adalah cara yang paling sering digunakan, menegaskan bahwa keduanya adalah surah yang terpisah, meskipun tidak diawali Basmalah.

Ketiga metode ini disepakati menunjukkan kehati-hatian dalam mempertahankan bentuk Mushaf Utsmani. Tidak ada satupun metode Qira'at yang shahih yang mengizinkan pembacaan Basmalah di awal surah ini.

B. Penomoran Ayat dan Surah

Dalam tradisi penomoran Al-Qur’an (seperti penomoran Kufi, Madani, atau Syami), Surah At-Tawbah diakui sebagai surah independen dengan 129 ayat. Meskipun statusnya sebagai surah terpisah diakui, konsensus untuk menghilangkan Basmalah di awal tetap dipertahankan, menunjukkan bahwa penentuan status surah tidak selalu bergantung pada keberadaan Basmalah sebagai penanda wajib.

Simbolisasi Deklarasi Ketegasan Sebuah gulungan dengan fokus pada ayat pertama At-Tawbah, mewakili deklarasi yang tegas dan keras, kontras dengan sifat Basmalah. PENGUMUMAN KERAS بَرَاءَةٌ Memisahkan Keadilan dari Rahmat Awal
Surah At-Tawbah (Bara'ah) sebagai deklarasi pemutusan, yang meniadakan Basmalah sebagai simbol permulaan yang penuh ampunan.

VII. Rekapitulasi Komprehensif Mengenai Sebab-Sebab Ketiadaan Basmalah

Meskipun terdapat banyak interpretasi, para ulama sering menggabungkan beberapa sebab menjadi sebuah justifikasi yang menyeluruh. Kita dapat menyimpulkannya ke dalam tiga kategori besar yang saling melengkapi:

A. Sebab Teksual dan Redaksional (Ijtihad Sahabah)

Ini adalah pandangan yang paling faktual. Ketiadaan instruksi jelas dari Nabi ﷺ mengenai Basmalah untuk surah ini menyebabkan para Sahabat (terutama di bawah kepemimpinan Utsman) mengambil sikap paling aman: tidak menambahkan Basmalah yang mereka yakini adalah ayat Al-Qur’an (ketika diletakkan di awal surah) kecuali dengan perintah ilahi yang tegas. Karena At-Tawbah dianggap sangat dekat dengan Al-Anfal, mereka membiarkan ruang Basmalah kosong, menjadikannya pengecualian yang diakui secara *Tawqifi* (pengakuan terhadap tradisi Nabi).

B. Sebab Tematik dan Semantik (Manhaj Tafsir)

Ini adalah pandangan yang paling kuat secara teologis. At-Tawbah adalah satu-satunya surah yang dibuka dengan deklarasi pemutusan hubungan (Bara’ah), ultimatum perang total, dan ancaman tanpa penangguhan. Menyandingkan Basmalah (الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ) dengan pesan pembuka ini dianggap tidak sesuai dengan adab dan konsistensi makna Al-Qur’an.

C. Sebab Struktural dan Kompilasi (Hubungan dengan Al-Anfal)

Pandangan bahwa Basmalah ditinggalkan karena Surah At-Tawbah adalah pelengkap atau kelanjutan dari Surah Al-Anfal. Jika Basmalah diletakkan di antara dua surah yang sangat berdekatan temanya, ini bisa disalahartikan bahwa wahyu di tengah telah terputus secara tajam. Dengan tidak adanya Basmalah, ditekankan bahwa pembaca sedang melanjutkan narasi yang sama, meskipun surah baru telah dimulai.

Syeikh Al-Qasimi, dalam tafsirnya *Mahasin At-Ta’wil*, menyimpulkan bahwa semua pandangan ini tidak saling bertentangan, tetapi saling menguatkan. Keputusan Utsmani didorong oleh keraguan (Sebab A), yang secara sempurna selaras dengan kebutuhan tematik (Sebab B), yang pada gilirannya didukung oleh kemiripan struktural dengan surah sebelumnya (Sebab C).

VIII. Perbandingan dengan Kasus Basmalah Lain dalam Al-Qur’an

Untuk memahami keunikan Surah At-Tawbah, perlu kita bandingkan dengan kasus Basmalah lain dalam Al-Qur’an, yaitu keberadaan Basmalah ganda di Surah An-Naml.

A. Surah An-Naml (Semut) dan Basmalah Ganda

Surah An-Naml (Surah ke-27) mengandung Basmalah sebanyak dua kali. Basmalah yang pertama terletak di awal surah, mengikuti norma umum. Basmalah yang kedua terletak di ayat ke-30, sebagai bagian integral dari surat Nabi Sulaiman (Solomon) kepada Ratu Balqis:

إِنَّهُۥ مِن سُلَيْمَٰنَ وَإِنَّهُۥ بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
(Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman, dan sesungguhnya isinya: 'Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.') - Q.S. An-Naml: 30

Kasus An-Naml menunjukkan bahwa Basmalah, selain berfungsi sebagai pemisah surah, juga bisa menjadi bagian dari ayat Al-Qur’an itu sendiri ketika ia meniru tulisan atau ucapan yang otentik dalam narasi wahyu. Dengan adanya Basmalah ganda ini (total 114 Basmalah di 114 surah ditambah satu di tengah An-Naml), jumlah total Basmalah dalam Mushaf adalah 114. Jika Surah At-Tawbah memiliki Basmalah, jumlahnya akan menjadi 115. Ketiadaan Basmalah di At-Tawbah memastikan jumlah Basmalah (yang bukan bagian dari ayat naratif) tetap 113, dan total Basmalah yang tertulis dalam Mushaf adalah 114, yang merupakan angka simbolis kesempurnaan dan keseimbangan yang ilahi.

B. Basmalah sebagai Ayat atau Pemisah

Diskusi terkait Basmalah juga melibatkan perdebatan apakah Basmalah di awal surah (selain At-Tawbah) dihitung sebagai ayat pertama dari surah tersebut atau hanya pemisah. Madzhab Syafi’i dan Hanbali cenderung menganggap Basmalah adalah ayat pertama (khususnya Al-Fatihah dan surah lain), sementara Madzhab Hanafi dan Maliki cenderung menganggapnya sebagai pemisah atau berkah (barakah).

Terlepas dari perbedaan fiqih ini, pada Surah At-Tawbah, semua madzhab sepakat: Basmalah tidak ada. Konsensus universal ini menegaskan bahwa ketiadaan Basmalah pada surah ini adalah sebuah ketetapan yang melampaui perbedaan interpretasi hukum fiqih mengenai status Basmalah di surah-surah lainnya.

IX. Kesimpulan: Makna Ketiadaan Basmalah sebagai Ketetapan Ilahi

Surah At-Tawbah tetap menjadi penanda keunikan dan kesempurnaan tata letak Al-Qur’an. Ketiadaan Basmalah di awalnya adalah hasil dari konvergensi tiga faktor utama: kehati-hatian redaksional para Sahabat (Ijtihad Sahabah), kesinambungan narasi dengan Surah Al-Anfal, dan yang paling penting, pertimbangan tematik yang menolak penggunaan kalimat Rahmat di awal deklarasi Ultimatum dan Pemutusan.

Para ulama menyimpulkan bahwa ketiadaan Basmalah di Surah At-Tawbah adalah suatu keharusan teologis, yang berfungsi untuk:

  1. **Mempertahankan Otoritas Tawqif:** Menghormati fakta bahwa Rasulullah ﷺ tidak secara eksplisit memerintahkan penempatannya di sini, meskipun ia adalah ayat yang diwahyukan di tempat lain.
  2. **Menegaskan Tematik Surah:** Memastikan bahwa pembaca langsung memahami sifat keras dan tanpa kompromi dari pesan Bara’ah yang ditujukan kepada kaum Musyrikin dan Munafikin.
  3. **Menjaga Keseimbangan Numerik dan Struktural:** Memungkinkan total 114 Basmalah dalam Al-Qur’an (jika Basmalah di An-Naml dihitung, dan Basmalah awal surah dihitung 113), menjaga keindahan dan kesempurnaan matematis wahyu.

Surah At-Tawbah, dengan pembukaannya yang tegas, mengajarkan bahwa meskipun Rahmat Allah (ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ) adalah dasar dari segala penciptaan, ketaatan terhadap keadilan dan penghukuman terhadap pengkhianatan dan kemunafikan juga merupakan manifestasi integral dari kehendak ilahi. Dalam konteks ini, ketiadaan Basmalah adalah pengajaran yang mendalam tentang waktu, tempat, dan cara penggunaan Sifat-Sifat Allah yang berbeda dalam Al-Qur’an.

Demikianlah, studi mengenai Surah At-Tawbah tidak hanya menjelaskan sebuah keunikan redaksional, tetapi juga membuka jendela pemahaman yang lebih luas tentang metodologi kodifikasi Al-Qur’an, konsensus Sahabat, dan kedalaman teologis dari setiap detail dalam Kitabullah.

***

Pengkajian yang mendalam terhadap setiap aspek surah ini, mulai dari sanad hadis yang berkaitan dengan pengumpulan Mushaf, hingga analisis fiqih dalam tata cara pembacaan, dan perbandingan dengan surah-surah yang lain, selalu mengarah pada kesimpulan yang sama: ketiadaan Basmalah pada Surah At-Tawbah adalah sebuah ketetapan yang final, otentik, dan penuh hikmah. Ini adalah bukti nyata bahwa Al-Qur’an dijaga keasliannya bahkan dalam pengecualian strukturalnya yang paling unik. Studi ini menegaskan pentingnya meneladani ijma' salafus saleh dalam mempertahankan tata letak dan bentuk Mushaf yang telah diwariskan secara *Mutawatir* (berantai dan berkelanjutan) hingga kini.

Pembahasan mengenai Surah At-Tawbah ini juga sering diperluas ke dalam bidang etika peperangan dalam Islam, karena Surah ini menetapkan batas-batas yang jelas mengenai kapan dan bagaimana perjanjian damai dapat dicabut. Deklarasi keras di awal Surah ini sekaligus menjadi peringatan universal bahwa janji dan komitmen dalam Islam memiliki bobot serius, dan pelanggarannya akan berujung pada konsekuensi yang tidak terhindarkan, yang disimbolkan oleh absennya Rahmat pembuka Basmalah.

Keseluruhan analisis ini, baik yang bersifat naratif historis maupun yang bersifat filosofis teologis, memperkuat keyakinan bahwa setiap susunan Al-Qur’an adalah sebuah masterpiece yang telah ditentukan secara ilahi. Pengecualian pada Surah At-Tawbah bukan berarti ketidaksempurnaan, melainkan justru menunjukkan kesempurnaan dari sebuah sistem yang mampu menampung bahkan anomali pun sebagai bagian dari aturan yang lebih besar dan hikmah yang lebih dalam. Ketiadaan Basmalah adalah penekanan dramatis yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan tema sebelumnya (Al-Anfal) dengan ultimatum yang akan datang (At-Tawbah), sebuah keunikan yang telah dijaga dan dipelajari selama empat belas abad.

Penyelidikan lanjutan pada masa modern, terutama dari sudut pandang kodikologi (ilmu tentang manuskrip), juga mendukung pandangan tradisional. Manuskrip Al-Qur'an tertua yang masih ada, termasuk fragmen Sana'a dan Mushaf kuno lainnya, semuanya konsisten dalam tidak menyertakan Basmalah di awal Surah At-Tawbah. Hal ini menghilangkan keraguan bahwa ketiadaan tersebut mungkin hanya terjadi pada Mushaf-mushaf yang lebih baru. Konsistensi historis manuskrip ini memberikan bukti material yang tak terbantahkan terhadap ijma' Sahabat.

Selanjutnya, para ahli linguistik Arab juga memberikan perspektif mengenai pemilihan kata بَرَاءَةٌ (Bara’ah) sebagai kata pembuka. Kata ini, yang berfungsi sebagai subjek tersembunyi yang tegas, berbeda dengan pembukaan surah-surah lain yang seringkali menggunakan kata-kata yang lebih mediatif atau reflektif. Penggunaan Bara’ah langsung menegaskan sebuah pengumuman publik (deklarasi politik dan militer), dan dalam tradisi sastra Arab kuno, pengumuman keras semacam itu jarang diawali dengan frasa yang menyiratkan kerendahan hati atau permohonan, melainkan dimulai dengan pernyataan otoritas yang langsung. Ini semakin menguatkan argumen tematik mengenai ketidaksesuaian Basmalah.

Kajian ini juga tidak dapat mengabaikan peran ulama di masa Abbasiyah dan seterusnya, yang terus memperkuat pemahaman mengenai status At-Tawbah. Misalnya, Imam Al-Qurtubi dan Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsir mereka secara ekstensif membahas perdebatan ini, dan mereka semua condong pada sintesis antara alasan historis (keraguan Utsman) dan alasan tematik (sifat keras surah). Mereka menegaskan bahwa hikmah ilahi seringkali tersembunyi dalam detail-detail yang tampaknya kecil, dan ketiadaan Basmalah ini adalah salah satu hikmah terbesar yang menuntut refleksi mendalam dari umat Islam.

Sebagai penutup, Surah At-Tawbah menjadi kasus unik yang mengingatkan kita bahwa Al-Qur’an bukan hanya sekumpulan ajaran, tetapi juga sebuah struktur artistik yang sempurna. Setiap surah memiliki identitasnya sendiri yang diatur oleh Allah, dan identitas Surah At-Tawbah adalah identitas yang tegas, yang membutuhkan pembukaan yang sesuai dengan pesan utamanya: pemisahan, keadilan, dan pertobatan sejati. Absennya Basmalah adalah tanda keilahian yang menetapkan hukum, bukan sekadar redaksi manusia.

X. Mendalami Status Basmalah dalam Tafsir dan Fiqh Komparatif

Untuk benar-benar menghargai keunikan Surah At-Tawbah, kita harus meninjau posisi Basmalah pada surah-surah lainnya. Basmalah, بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ, adalah ayat yang diulang sebanyak 114 kali dalam Al-Qur’an. Statusnya sebagai ayat Al-Qur’an telah menjadi perdebatan sengit di antara madzhab-madzhab Fiqih yang berbeda.

X.A. Kedudukan Basmalah di Surah Al-Fatihah

Madzhab Syafi’i dan sebagaian Hanbali berpendapat bahwa Basmalah adalah ayat pertama dari Surah Al-Fatihah. Konsekuensinya, membacanya adalah wajib dalam shalat fardhu. Sementara itu, Madzhab Maliki dan Hanafi umumnya tidak menganggapnya sebagai ayat dari Al-Fatihah, melainkan sebagai *ayat pemisah* atau *pemberi berkah* yang dianjurkan dibaca secara sirri (pelan) atau ditinggalkan sama sekali dalam shalat fardhu. Perselisihan ini, meskipun signifikan dalam fiqih shalat, tidak menggoyahkan konsensus universal mengenai ketiadaan Basmalah di awal At-Tawbah.

Dalam konteks At-Tawbah, ketiadaan Basmalah berfungsi ganda: ia menghormati pandangan bahwa Basmalah adalah ayat (sehingga tidak bisa ditambahkan tanpa perintah ilahi) dan juga menghormati pandangan bahwa Basmalah adalah pemisah rahmat (yang tidak cocok dengan tema). Ini menunjukkan kebijaksanaan Mushaf Utsmani dalam mengatasi perbedaan interpretasi yang mungkin muncul di kemudian hari.

X.B. Dampak Ketiadaan pada Hukum Shalat

Bagi imam yang membaca Surah At-Tawbah dalam shalat (setelah Al-Fatihah), mereka memulai langsung dari ayat pertama tanpa Basmalah. Jika seorang makmum mendengar Basmalah dibaca, makmum tersebut wajib mengingatkan atau mengoreksi imam, karena itu merupakan penyimpangan yang jelas dari sunnah mushaf. Meskipun demikian, jika pembacaan Basmalah terjadi karena lupa atau salah, shalat tetap sah menurut sebagian besar ulama, asalkan ia tidak melakukannya dengan keyakinan bahwa Basmalah adalah bagian dari surah tersebut.

X.C. Pendekatan Ulama Kontemporer

Para ulama kontemporer, seperti Yusuf Al-Qaradawi dan Muhammad Sayyid Tantawy, terus menegaskan kembali pandangan tradisional. Mereka menekankan bahwa dalam hal susunan dan bentuk Al-Qur’an (yang bersifat *Tawqifi*), akal manusia harus tunduk pada narasi historis dan konsensus Sahabat. Tantawy, misalnya, fokus pada konsep bahwa Basmalah adalah simbol perjanjian dan kedamaian, dan karena At-Tawbah mencabut perjanjian dengan kaum musyrik, secara logis ia harus dicabut pula dari permulaannya.

Diskusi yang lebih modern juga memasukkan aspek numerologi Al-Qur’an. Angka 19 (Mukjizat Numerik Al-Qur'an) sering dikaitkan dengan struktur Basmalah (yang terdiri dari 19 huruf Arab). Ketiadaan satu Basmalah di At-Tawbah, yang kemudian dikompensasi dengan Basmalah di An-Naml, menjaga keharmonisan struktur numerik secara keseluruhan, menjadikannya bukti tambahan keilahian tata letak Al-Qur’an.

XI. Dimensi Syariah: At-Tawbah dan Syarat Perang

Ketiadaan Basmalah di awal Surah At-Tawbah tidak terpisahkan dari konteks Syariah mengenai perang dan damai. Surah ini adalah fondasi bagi hukum Islam mengenai pemutusan perjanjian. Ayat-ayat awalnya memberikan periode tenggang waktu (empat bulan) bagi kaum Musyrikin untuk memutuskan apakah mereka akan bertaubat dan memeluk Islam atau menghadapi konsekuensi militer.

XI.A. Ultimatum dan Batasan Rahmat

Ultimatum empat bulan ini, yang dijelaskan dalam ayat-ayat awal At-Tawbah, menunjukkan bahwa Rahmat Allah (yang diwakili Basmalah) masih ada, tetapi ia beroperasi melalui mekanisme Keadilan dan kepatuhan. Rahmat tidak diberikan secara cuma-cuma kepada mereka yang secara terang-terangan melanggar perjanjian suci berulang kali. Ketiadaan Basmalah menandai berakhirnya periode negosiasi yang penuh Rahmat dan dimulainya fase pelaksanaan hukum yang ketat.

XI.B. Hubungan dengan Hukum Jihat

Dalam fiqih jihad, Surah At-Tawbah menetapkan bahwa perang yang diumumkan setelah berakhirnya perjanjian hanya berlaku bagi mereka yang secara aktif memusuhi dan melanggar perjanjian. Ini bukan perang tanpa syarat. Namun, sifat ancamannya adalah yang paling keras di antara semua surah Madaniyyah, sehingga memerlukan pembuka yang mencerminkan kekerasan hati nurani musuh, bukan kelembutan Rahmat ilahi yang mendahului surah.

Ketiadaan Basmalah berfungsi sebagai pengingat bahwa keputusan untuk berperang tidak diambil secara ringan atau terburu-buru, tetapi merupakan konsekuensi pahit dari pengkhianatan yang tidak dapat dimaafkan lagi kecuali melalui pertobatan segera. Pembukaan yang langsung dan keras ini membedakan konteks At-Tawbah dari surah-surah lain yang membahas jihad (seperti Al-Baqarah atau Al-Anfal) yang tetap mempertahankan Basmalah karena sifat perintahnya yang masih mencakup aspek-aspek Rahmat dan Batasan Hukum.

XII. Hikmah Mendalam dan Pelajaran Spiritual

Lebih dari sekadar hukum dan sejarah, Surah At-Tawbah dan ketiadaan Basmalah-nya memberikan pelajaran spiritual bagi mukmin. Ia mengajarkan tentang pentingnya integritas perjanjian dan bahaya kemunafikan.

Ketiadaan Basmalah di awal surah ini menginstruksikan pembaca untuk mendekati surah tersebut dengan kesadaran penuh akan keseriusan isinya. Ini menuntut refleksi tentang pertobatan (yang menjadi salah satu nama surah ini: At-Tawbah) yang harus didasarkan pada kejujuran dan pembersihan diri dari nifaq. Jika Basmalah adalah ajakan untuk memulai dengan niat baik dan Rahmat, maka At-Tawbah adalah panggilan untuk introspeksi yang menyakitkan sebelum Rahmat itu layak diterima kembali.

Pelajaran spiritual utama yang dapat ditarik adalah: Rahmat Allah (ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ) akan selalu menyertai hamba-Nya yang beriman sejati. Namun, ketika seseorang memilih jalan pengkhianatan, kemunafikan, dan pelanggaran perjanjian yang mendasar, maka yang berlaku adalah keadilan, yang dimulai dengan pemutusan hubungan (Bara’ah), dan ini tidak membutuhkan pengantar Rahmat. Mukmin sejati, yang teruji keimanannya melalui cobaan Surah At-Tawbah, akan selalu menemukan Rahmat Allah di ayat-ayat selanjutnya, tetapi pintu masuknya haruslah melalui kesadaran akan keadilan mutlak-Nya.

Kajian mendalam ini menegaskan bahwa keunikan Surah At-Tawbah adalah kekayaan intelektual dan spiritual bagi umat Islam, yang menunjukkan kerumitan dan kedalaman setiap elemen dalam Al-Qur’an yang tidak mungkin dihasilkan oleh karya manusia biasa.

🏠 Homepage