Jual beli merupakan salah satu instrumen fundamental dalam kegiatan ekonomi, baik dalam perspektif hukum positif maupun hukum Islam. Dalam Islam, transaksi komersial diatur secara ketat untuk menjamin keadilan dan mencegah kerugian (gharar). Salah satu jenis akad yang memiliki kekhasan tersendiri adalah Jual Beli Salam, atau sering disebut juga sebagai Bai’ as-Salam. Akad ini merupakan pengecualian dari prinsip umum jual beli yang mewajibkan keberadaan barang (ma'qud 'alaih) pada saat akad terjadi.
Jual beli salam adalah akad jual beli barang yang penyerahannya ditangguhkan (dijual secara pesanan) dengan syarat pembayaran dilakukan di muka (tunai saat akad). Fenomena ini sangat relevan dalam konteks modern, terutama bagi sektor pertanian dan industri yang membutuhkan modal awal sebelum produksi atau panen selesai. Memahami dasar hukum, rukun, syarat sah, serta implikasi praktik salam adalah krusial untuk memastikan kepatuhan syariah dalam kegiatan bisnis.
Secara etimologis, 'salam' berarti penyerahan atau pelunasan di muka. Dalam terminologi fiqh muamalah, jual beli salam didefinisikan sebagai transaksi pertukaran barang yang spesifikasinya telah jelas, di mana penjual menerima harga penuh di muka, sementara penyerahan barang tersebut dijaminkan jatuh tempo pada waktu tertentu di masa depan.
Dasar hukum utama praktik salam bersumber dari tradisi Nabi Muhammad SAW. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan transaksi salam untuk pembelian kurma. Para ulama kemudian menyimpulkan bahwa meskipun akad ini tampak kontradiktif dengan prinsip 'al-ghunmu bil-ghurm' (keuntungan harus sepadan dengan risiko), ia diperbolehkan selama terpenuhi syarat-syarat yang ketat untuk meminimalisir ketidakpastian.
Agar transaksi salam dianggap sah secara syar'i dan mengikat kedua belah pihak, harus terpenuhi rukun dan syarat yang telah ditetapkan. Rukun salam meliputi lima unsur utama:
Syarat-syarat yang melekat pada barang objek salam sangat ketat, bertujuan menghilangkan unsur gharar (ketidakjelasan) yang mungkin timbul akibat penangguhan penyerahan:
Penerapan jual beli salam menjadi solusi keuangan yang efektif, terutama bagi petani. Seorang petani membutuhkan dana untuk membeli bibit, pupuk, dan biaya operasional sebelum panen. Dengan akad salam, ia dapat menerima modal dari pembeli (misalnya, pabrik pengolah) secara tunai saat ini, sambil menjamin penyerahan hasil panennya pada waktu yang disepakati.
Namun, risiko terbesar dalam salam adalah jika barang yang disepakati tidak dapat diproduksi atau tidak tersedia pada saat jatuh tempo karena gagal panen atau faktor alam lainnya. Jika hal ini terjadi, penjual wajib mengembalikan uang pembayaran di muka. Dalam fikih kontemporer, lembaga keuangan syariah sering berperan sebagai pembeli dalam akad salam awal (kepada petani) dan kemudian menjualnya kembali melalui akad Murabahah atau Istishna' kepada pengguna akhir (misalnya, industri makanan), sebuah struktur yang dikenal sebagai "salam paralel".
Perbedaan mendasar salam dengan Bai’ al-Istishna’ (pesanan pembuatan) terletak pada waktu pembayaran. Dalam salam, pembayaran harus lunas di muka, sementara dalam istishna', pembayaran dapat dicicil atau ditangguhkan, namun fokus istishna' adalah pada pembuatan barang, bukan barang yang sudah ada namun akan diproduksi.
Jual beli salam adalah akad yang sah dan diperlukan dalam sistem ekonomi Islam, yang memungkinkan pergerakan modal bagi sektor produksi sebelum barang tersedia. Keabsahannya sangat bergantung pada pemenuhan syarat-syarat ketat terkait spesifikasi barang dan pelunasan harga di muka. Dengan kepastian spesifikasi dan penangguhan yang terukur, akad salam berhasil menjembatani kebutuhan modal produsen dengan kebutuhan pasokan barang di masa depan, menjadikannya instrumen penting dalam keuangan syariah modern.