Tantangan Tak Terlihat: Permasalahan Aqidah dalam Kehidupan Sehari-hari

?

Aqidah, atau keyakinan dasar seorang Muslim, seringkali dianggap sebagai urusan yang selesai pada saat pengucapan syahadat. Namun, dalam hiruk pikuk kehidupan modern, fondasi keyakinan ini terus menerus diuji oleh berbagai faktor eksternal dan internal. Permasalahan aqidah bukanlah sekadar isu teologis di ruang kuliah, melainkan tantangan nyata yang dihadapi setiap individu dalam pengambilan keputusan, interaksi sosial, dan cara memandang alam semesta.

1. Godaan Sekularisme dan Materialisme

Salah satu tantangan terbesar saat ini adalah derasnya arus sekularisme yang memisahkan agama dari urusan duniawi. Ketika segala sesuatu diukur berdasarkan untung-rugi materi dan kesenangan duniawi, pandangan hidup seorang Muslim bisa terkikis secara perlahan. Misalnya, dalam etos kerja, prioritas mungkin bergeser dari mencari keberkahan menuju pencapaian laba maksimal tanpa mempertimbangkan batasan syariat.

Materialisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada kepemilikan. Hal ini memicu kegelisahan, kompetisi tanpa akhir, dan sifat konsumtif. Ketika seseorang mulai menggantungkan harapan utamanya pada harta, bukan pada pertolongan Allah (Tawakkul), maka pondasi aqidahnya mulai retak. Mereka lupa bahwa rezeki hakikatnya adalah ujian, bukan tujuan akhir.

2. Pengaruh Informasi dan Media Sosial

Era digital membawa kemudahan akses informasi, namun juga menyajikan banjir ideologi yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Dalam hitungan detik, seseorang bisa terpapar pemikiran radikal (baik liberal maupun ekstremis), relativisme moral, hingga keraguan terhadap sumber-sumber utama ajaran Islam (Al-Qur'an dan Sunnah).

Permasalahan aqidah muncul ketika individu kesulitan memilah mana yang hak dan mana yang batil. Kurangnya pemahaman mendalam tentang ushuluddin (dasar-dasar agama) membuat seseorang rentan terombang-ambing oleh opini viral. Misalnya, isu tentang takdir dan kehendak bebas sering disalahartikan akibat interpretasi dangkal dari konten media sosial.

3. Keraguan tentang Keghaiban (Ghaib)

Aqidah Islam mencakup iman pada hal-hal yang gaib, seperti malaikat, hari akhir, dan Syafa’at. Di tengah budaya yang semakin mengedepankan bukti empiris (apa yang bisa dilihat dan diukur), iman pada hal gaib seringkali menjadi titik lemah.

Ketika seseorang mengalami kesulitan atau kegagalan, respons spontan mungkin adalah menyalahkan sistem atau diri sendiri, alih-alih menyadari bahwa ada intervensi ilahi (baik melalui ujian maupun pertolongan). Kecenderungan untuk mencari penjelasan mistis yang menyimpang dari syariat (misalnya, praktik takhayul atau animisme modern) juga merupakan manifestasi dari melemahnya keyakinan teguh pada konsep qada dan qadar yang benar.

4. Konflik Nilai dalam Lingkungan Non-Muslim

Bagi mereka yang tinggal di lingkungan mayoritas non-Muslim, tantangan aqidah seringkali berbentuk tekanan sosial untuk menyesuaikan diri (konformitas). Ini bisa dimulai dari hal kecil, seperti keengganan untuk menampakkan identitas keagamaan, hingga kompromi dalam praktik ibadah karena dianggap "tidak praktis" atau "terlalu kaku".

Memperkuat Benteng Aqidah

Mengatasi permasalahan aqidah sehari-hari memerlukan usaha berkelanjutan. Ini bukan sekadar menghafal dalil, melainkan mengintegrasikan keyakinan tersebut ke dalam setiap aspek kehidupan.

Solusinya terletak pada tiga pilar utama: **Ilmu**, **Tadzkirah (Pengingat)**, dan **Amal Saleh**. Mempelajari ilmu agama secara otentik dari sumber terpercaya menangkal keraguan informasi. Tadzkirah (seperti mengingat kematian atau kebesaran Allah) menjaga hati tetap hidup. Dan yang terpenting, mengamalkan apa yang diyakini—seperti menunaikan shalat tepat waktu sebagai bentuk ketaatan mutlak—adalah ujian sekaligus penegasan bahwa akidah tersebut adalah panduan hidup, bukan sekadar teori.

Dengan kesadaran bahwa aqidah adalah medan perang batin yang berlangsung setiap saat, seorang Muslim dapat menjaga kompas spiritualnya tetap mengarah lurus menuju ketaatan sejati.

🏠 Homepage