Dalam khazanah Islam di Indonesia dan dunia, terdapat berbagai corak pemahaman keagamaan. Dua di antaranya yang sering menjadi sorotan adalah paham Wahabi (sering dikaitkan dengan Salafi murni) dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja), yang secara historis dianut oleh mayoritas umat Islam, khususnya melalui madzhab Syafi'i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali yang beraliran Asy'ariyah atau Maturidiyah dalam teologi.
Perbedaan fundamental antara keduanya terletak pada metodologi pengambilan dalil, pemahaman terhadap sifat-sifat Allah (Asma' wa Sifat), serta sikap terhadap tradisi dan praktik keagamaan (bid'ah).
1. Metodologi Pengambilan Dalil (Manhaj)
Perbedaan paling kentara terletak pada manhaj atau metodologi dalam beragama.
Wahabi: Sangat menekankan kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat, khususnya dengan menolak konsep ijtihad yang tidak sejalan dengan literalisme tekstual mereka. Mereka cenderung menolak taklid (mengikuti salah satu mazhab secara buta) dan mewajibkan rujuk langsung pada dalil primer.
Aswaja: Menerima Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sumber utama, namun menempatkan Ijma' ulama salafus shalih (konsensus ulama terdahulu) dan Qiyas (analogi) sebagai landasan penting. Aswaja secara umum mengikuti salah satu dari empat mazhab fiqih yang telah mapan (termasuk Imam Syafi'i di Indonesia) dan menerima otoritas para mujtahid.
2. Asma' wa Sifat Allah (Teologi)
Ini adalah area perdebatan teologis klasik yang memisahkan kelompok-kelompok Sunni.
Wahabi (Salafi): Mengikuti prinsip Tafwidl atau Itsbat bi laa takyif (penetapan tanpa penjelasan bagaimana/menyerahkan maknanya kepada Allah) untuk ayat-ayat mutasyabihat (yang maknanya tidak jelas), namun cenderung lebih lugas dalam menetapkan sifat-sifat Allah secara harfiah (zhahir) tanpa takwil, yang terkadang dilihat oleh kelompok lain sebagai penyerupaan (tasybih).
Aswaja (Asy'ariyah/Maturidiyah): Menggunakan metode Ta’wil (interpretasi kontekstual) terhadap ayat-ayat mutasyabihat, khususnya yang berkaitan dengan 'tangan', 'kaki', atau 'Wajh' (Wajah) Allah. Tujuannya adalah menafikan segala penyerupaan dengan makhluk (tanzih) dengan dalih bahwa Allah Maha Suci dari atribut makhluk. Misalnya, ‘Istawa’ diartikan sebagai ‘menguasai’ atau ‘bersemayam di atas singgasana’ diartikan sebagai ‘kekuasaan’ (bukan secara fisik).
3. Bid'ah dan Tradisi Keagamaan
Perbedaan pandangan mengenai praktik keagamaan sehari-hari sangat mencolok.
Wahabi: Cenderung sangat ketat dalam definisi bid'ah. Praktik seperti berziarah kubur secara rutin (terutama ke makam wali atau ulama besar), merayakan maulid Nabi Muhammad SAW, membaca tahlil bersama, dan menggunakan tawassul melalui orang yang shalih seringkali dikategorikan sebagai bid'ah yang tercela (bid'ah sayyi'ah) atau bahkan syirik.
Aswaja: Membedakan antara bid'ah yang sesat (yang bertentangan dengan syariat) dan bid'ah hasanah (inovasi baik yang tidak melanggar dasar agama). Tradisi seperti ziarah kubur dengan adab tertentu, peringatan Maulid (yang berorientasi pada kecintaan pada Nabi), dan tawassul melalui kedudukan Nabi atau orang saleh diterima sebagai bagian dari tradisi yang dianjurkan atau minimal dibolehkan selama tidak melanggar tauhid.
Kesimpulan
Singkatnya, Wahabi cenderung menekankan kemurnian tauhid melalui pendekatan yang sangat literal dan penolakan terhadap tradisi yang dianggap sebagai inovasi (bid'ah). Fokus mereka adalah pemurnian ajaran dari unsur-unsur yang dianggap khurafat atau syirik. Sementara itu, Aswaja mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif terhadap tradisi Sunni yang berkembang secara historis, menggabungkan teks agama dengan kerangka teologi dan hukum (fiqih) yang telah diwariskan oleh ulama besar terdahulu, sambil tetap menjaga prinsip dasar tauhid.
Kedua kelompok sama-sama mengklaim berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah. Perbedaannya terletak pada bagaimana mereka menafsirkan dan mengaplikasikan kedua sumber tersebut dalam konteks praktik beragama dan kerangka teologis yang mereka ikuti.