Penyembelihan dalam Islam, yang dikenal sebagai Tazkiyah, adalah sebuah ritual suci yang memiliki persyaratan yang sangat ketat untuk memastikan bahwa daging yang dikonsumsi adalah halal dan baik (tayyib). Inti dari persyaratan ini adalah penyebutan nama Allah SWT pada saat pisau memotong urat nadi dan kerongkongan hewan. Kalimat wajib yang disepakati oleh mayoritas ulama adalah Basmalah, yakni ucapan بِسْمِ اللَّهِ (Bismillahi) atau بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (Bismillahi Ar-Rahmanir Raheem).
Keharusan mengucapkan Basmalah ini bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah pernyataan niat (niyyah) bahwa tindakan penyembelihan dilakukan atas nama dan izin dari Sang Pencipta, bukan atas nama berhala, kekuatan lain, atau sekadar nafsu pribadi. Tindakan ini memisahkan penyembelihan yang halal dari praktik yang haram, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an yang melarang memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah atasnya.
Namun, dalam praktik ibadah yang lebih mendalam, syariat Islam selalu menawarkan lapisan-lapulisan kesempurnaan yang bersifat sunnah—perbuatan yang sangat dianjurkan untuk menambah pahala dan keberkahan, serta menyempurnakan kualitas ibadah. Selain membaca Basmalah yang merupakan rukun atau syarat sah utama (bergantung pada mazhab), penyembelih juga disunahkan untuk menambahkan lafaz-lafaz tertentu, yang secara kolektif meningkatkan dimensi spiritual dari tindakan tersebut.
Gambar 1: Simbolisasi Penyebutan Nama Allah saat Menyembelih.
Selain Basmalah, sunnah yang paling kuat dan sering dipraktikkan, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ sendiri, adalah penambahan ucapan Takbir, yaitu اَللّٰهُ أَكْبَرُ (Allahu Akbar). Dengan demikian, lafaz lengkap sunnah yang diucapkan seringkali menjadi: بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ (Bismillahi Wallahu Akbar — Dengan Nama Allah, dan Allah Maha Besar).
Para ulama dari berbagai mazhab sepakat bahwa penambahan Takbir adalah sunnah yang ditekankan (Sunnah Mu'akkadah) dalam proses penyembelihan qurban (Udhiyah) dan juga penyembelihan biasa. Kehadiran Takbir mengandung makna pengakuan akan kebesaran Allah, menegaskan bahwa tindakan menghilangkan nyawa hewan ini hanya dibenarkan karena otoritas dan perintah dari-Nya, bukan karena keperkasaan manusia.
Menurut Mazhab Syafi'i, misalnya, meskipun Basmalah adalah yang utama dan wajib dalam pandangan tertentu, Takbir berfungsi sebagai penguat dan penyempurna niat. Bahkan, dalam beberapa riwayat, Rasulullah diketahui menggabungkan kedua lafaz ini, khususnya saat menyembelih hewan qurban. Ini menunjukkan betapa pentingnya dimensi spiritual pengagungan Allah dalam ritual ini.
Sangat penting untuk membedakan antara yang wajib (Basmalah) dan yang sunnah (Takbir). Jika penyembelih hanya membaca Basmalah tanpa Takbir, sembelihan tersebut tetap sah dan halal untuk dimakan. Namun, jika penyembelih menambahkan Takbir, ia akan mendapatkan pahala sunnah dan menyempurnakan adab penyembelihan. Apabila seseorang sengaja meninggalkan Basmalah, maka hukum sembelihannya menjadi haram (menurut jumhur ulama Syafi'i, Maliki, dan Hanbali, kecuali Hanafi yang masih membolehkan jika lupa). Tetapi jika yang ditinggalkan adalah Takbir, sembelihan tetap halal, meskipun ia kehilangan pahala sunnah.
Elaborasi tentang Takbir ini meliputi juga konteks waktu pengucapannya. Takbir ini diucapkan tepat sebelum atau bersamaan dengan gerakan pisau memotong. Kehadiran suara Takbir haruslah jelas dan sadar, menunjukkan kekhusyukan dan fokus penuh penyembelih terhadap ibadah yang sedang dilakukan. Ini adalah manifestasi dari pemahaman bahwa seluruh proses adalah ibadah, bukan sekadar tugas teknis jagal.
Selain Basmalah dan Takbir, disunahkan pula bagi penyembelih untuk menambahkan doa-doa spesifik yang berhubungan dengan penerimaan amal, perlindungan, dan penyaluran berkah, terutama saat menyembelih hewan qurban. Doa-doa ini umumnya diucapkan segera setelah Takbir dan sebelum pelaksanaan penyembelihan, atau diiringi niat dalam hati.
Salah satu sunnah doa yang paling dikenal, khususnya dalam konteks qurban, adalah doa penyerahan diri dan permohonan penerimaan, merujuk pada praktik Nabi Ibrahim AS:
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ۚ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Doa ini, yang merupakan potongan dari Surah Al-An'am ayat 79 dan 162-163, menegaskan bahwa seluruh ibadah, penyembelihan (nusuki), kehidupan, dan kematian hanya dipersembahkan kepada Allah, Tuhan Semesta Alam. Meskipun doa ini lebih bersifat pengantar niat, membacanya secara lisan sebelum Basmalah adalah sunnah yang sangat terpuji, karena mengingatkan kembali tujuan utama ibadah tersebut.
Sunnah lain yang ditekankan, terutama pada qurban, adalah penyebutan nama orang yang diwakilkan atau yang memiliki qurban tersebut. Tujuannya adalah untuk mengkhususkan ibadah tersebut agar diterima dari individu yang bersangkutan. Lafaz yang disunnahkan adalah:
اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ [فُلَانٍ]
Yang berarti, "Ya Allah, terimalah dari [sebut nama orang]." Jika penyembelih melakukannya untuk dirinya sendiri, ia menyebut namanya, atau jika untuk orang lain (atau keluarga), ia menyebut nama mereka. Amalan ini menegaskan fungsi penyembelih sebagai perantara, memastikan bahwa fokus penerimaan amal tertuju pada Allah SWT.
Poin krusial dalam kajian sunnah penyembelihan, terutama yang relevan dengan tradisi Nusantara atau Melayu, adalah pemahaman mengenai penggunaan bahasa selain Arab. Keyword "terjemahkan selain membaca Basmalah" secara langsung mengarah pada pembedaan tegas antara *lafaz wajib* (Basmalah) dan *lafaz sunnah* atau *doa* (tambahan).
Jumhur (mayoritas) ulama, terutama dari mazhab-mazhab utama, menetapkan bahwa Basmalah yang wajib diucapkan pada saat penyembelihan haruslah dalam bahasa Arab. Pengucapan بِسْمِ اللَّهِ tidak boleh diganti sepenuhnya dengan terjemahannya (misalnya, "Dengan nama Allah") jika penyembelih mampu mengucapkan lafaz Arab tersebut.
Argumen utamanya adalah bahwa lafaz Basmalah dalam konteks ini berfungsi sebagai dzikir (ingatan) dan syiar (simbol) ibadah yang ditetapkan secara spesifik. Oleh karena itu, bagian yang wajib dan pokok haruslah dijaga keasliannya dalam bahasa Al-Qur'an.
Pengecualian mungkin berlaku hanya untuk orang yang baru masuk Islam (mualaf) atau mereka yang sama sekali tidak mampu melafazkan bahasa Arab dengan benar setelah berusaha maksimal. Dalam kondisi darurat ini, ucapan dalam bahasa ibu (termasuk bahasa Melayu) yang menyampaikan makna Basmalah dapat diterima, namun ini adalah pandangan minoritas atau kondisi pengecualian yang ketat.
Di sinilah konteks "terjemahkan selain membaca Basmalah" menjadi sangat relevan dalam tradisi Melayu. Meskipun Basmalah harus dalam bahasa Arab, doa-doa dan niat tambahan yang bersifat sunnah sangat dianjurkan untuk dipahami, dan bahkan diucapkan, dalam bahasa yang dimengerti oleh penyembelih dan masyarakat, yaitu bahasa Melayu.
Tujuannya adalah memastikan bahwa niat (intention) yang menyertai penyembelihan benar-benar kuat dan terinternalisasi. Masyarakat Melayu sangat menghargai pemahaman yang mendalam terhadap ibadah. Oleh karena itu, sering kali penyembelih atau pemuka agama akan menambahkan doa-doa pelengkap dalam dialek tempatan setelah Basmalah dan Takbir Arab, misalnya:
Doa-doa tambahan dalam bahasa Melayu ini berfungsi sebagai penguat spiritual (ta’kid) yang memastikan bahwa ibadah tidak hanya diucapkan secara lisan (qauliyyah), tetapi juga dipahami secara akal dan hati (qalbi). Ini adalah tradisi yang sangat baik dalam konteks pendidikan Islam di Nusantara, di mana pemahaman (tafaqquh fiddin) selalu diutamakan.
Dalam kitab-kitab fiqh yang ditulis menggunakan aksara Jawi (aksara Arab Melayu) seperti Sabilal Muhtadin atau Bughyatul Tullab, terdapat penekanan detail tentang prosedur penyembelihan. Kitab-kitab ini selalu memisahkan antara rukun yang harus Arab dan sunnah yang boleh diiringi dengan doa dalam bahasa Melayu. Ini menunjukkan bahwa sejak lama, ulama-ulama Melayu telah memfasilitasi pemahaman spiritual bagi umatnya melalui terjemahan dan bahasa lokal untuk urusan yang tidak mensyaratkan lafaz khusus Arab (yaitu, doa dan niat, bukan Basmalah wajib).
Dengan demikian, ungkapan "terjemahkan selain membaca Basmalah" secara tepat merangkum praktik di mana kewajiban (Basmalah Arab) dipatuhi, sementara kesempurnaan dan pemahaman niat (Doa Sunnah) diperkuat melalui bahasa Melayu.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk meninjau bagaimana empat mazhab utama—Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali—memandang penambahan lafaz selain Basmalah.
Mazhab Hanafi dikenal memiliki pandangan yang cenderung menekankan esensi dari Basmalah. Dalam mazhab ini, Basmalah adalah syarat wajib jika diingat, namun jika penyembelih lupa mengucapkannya, sembelihan tersebut tetap halal. Namun, terkait sunnah tambahan:
Mazhab Maliki cenderung lebih ketat dalam beberapa aspek. Basmalah adalah wajib dan tidak gugur karena lupa. Namun, dalam hal sunnah tambahan:
Mazhab Syafi'i menganggap Basmalah sebagai sunnah mu'akkadah yang jika ditinggalkan, sembelihan tetap halal, namun makruh. Namun, untuk menambah kesempurnaan, Mazhab Syafi'i sangat menganjurkan lafaz-lafaz tambahan:
Intinya, Syafi'i memandang bahwa semakin banyak dzikir dan doa yang baik yang dibaca, semakin sempurna ibadah tersebut, asalkan inti Basmalah tidak diabaikan.
Mazhab Hanbali menyamakan Basmalah dengan rukun yang wajib dan jika ditinggalkan (baik sengaja maupun lupa) sembelihan menjadi haram (pandangan yang sangat ketat). Namun, dalam hal sunnah tambahan:
Mengapa Islam menekankan penambahan lafaz-lafaz sunnah ini, bahkan ketika Basmalah saja sudah cukup untuk menghalalkan sembelihan? Jawabannya terletak pada tujuan tertinggi dari setiap ibadah: Ihsan, yaitu melakukan segala sesuatu seolah-olah kita melihat Allah, atau setidaknya menyadari bahwa Allah melihat kita.
Setiap lafaz tambahan, terutama Takbir (اللَّهُ أَكْبَرُ), adalah penegasan ulang Tauhid. Tindakan penyembelihan bisa menjadi sangat mekanis. Dengan mengagungkan Allah, penyembelih diingatkan bahwa bukan dia yang berkuasa atas nyawa, melainkan Allah. Ini menolak segala bentuk syirik halus (riya') atau kesombongan dalam melaksanakan tugas suci tersebut.
Penambahan dzikir dan doa juga memiliki dampak pada kualitas pelaksanaan penyembelihan. Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya Allah mewajibkan Ihsan atas segala sesuatu. Jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik; dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan sembelihannya."
Dalam konteks ini, 'menyenangkan sembelihan' (ihsan terhadap hewan) tidak hanya berarti pisau yang tajam, tetapi juga suasana spiritual yang khusyuk. Membaca doa-doa tambahan membantu penyembelih fokus, tenang, dan melakukan tindakan dengan penuh kesadaran dan kehati-hatian, yang secara tidak langsung memastikan penyembelihan dilakukan secepat dan seefektif mungkin, mengurangi penderitaan hewan.
Doa-doa seperti penyerahan diri (Surah Al-An'am) menghubungkan praktik penyembelihan dengan pengorbanan Nabi Ibrahim dan ketaatan para nabi. Ini adalah warisan yang menjadikan penyembelihan bukan sekadar konsumsi, melainkan penghormatan terhadap sejarah ibadah dan kepatuhan mutlak kepada perintah Allah.
Dalam tradisi Melayu, penghayatan terhadap lafaz-lafaz sunnah ini sangat dijaga. Banyak masyarakat tua yang menasihati bahwa semakin khusyuk dan lengkap doa yang dibaca, semakin berkah dan lezat daging sembelihan tersebut, sebuah korelasi antara spiritualitas dan keberkahan duniawi.
Untuk memastikan semua sunnah dipenuhi, berikut adalah urutan ideal lafaz yang disunnahkan bagi penyembelih yang mengikuti mayoritas pandangan ulama (menggabungkan Syafi'i dan Hanbali yang menekankan kesempurnaan dzikir):
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ... إلخ. (Jika untuk qurban, diikuti dengan permohonan penerimaan dari pemilik qurban.)
Lafaz ini harus diucapkan dengan cepat, jelas, dan lantang, tepat sebelum pisau menyentuh leher:
Seluruh lafaz 4, 5, dan 6 diucapkan dalam satu rangkaian cepat. Mayoritas praktisi di Nusantara menggabungkan Basmalah dan Takbir menjadi: بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ, sebagai lafaz utama saat pisau bergerak.
Setelah memastikan hewan benar-benar mati dan darah telah tuntas mengalir, disunnahkan untuk memanjatkan doa syukur (Hamdalah) dan permohonan ampunan, karena tindakan telah selesai dengan baik. Doa ini bisa sepenuhnya dilakukan dalam bahasa Melayu, menegaskan kembali bahwa segala puji hanya milik Allah atas kemudahan dan izin-Nya dalam pelaksanaan syariat.
Meskipun penambahan lafaz sunnah sangat dianjurkan, terdapat beberapa batasan yang harus diperhatikan agar tidak jatuh pada perbuatan makruh atau bahkan haram, terutama dalam pandangan fiqh yang ketat:
Seperti telah ditekankan, doa sunnah tidak boleh menggantikan Basmalah wajib. Jika penyembelih hanya membaca Takbir tanpa Basmalah, sembelihan tersebut dihukumi haram oleh sebagian besar ulama, kecuali dalam kasus lupa yang diizinkan oleh Mazhab Hanafi.
Salah satu syarat sah penyembelihan adalah kontinuitas antara pengucapan Basmalah dan tindakan memotong. Jika penyembelih membaca doa sunnah terlalu panjang (misalnya, membaca seluruh doa iftitah) sehingga terjadi jeda waktu yang lama sebelum pisau digerakkan, maka lafaz Basmalah yang diucapkan di awal dianggap terputus (fasil), dan ia harus mengulang Basmalah sebelum memotong.
Para ulama menyarankan bahwa seluruh lafaz, dari Basmalah hingga Takbir dan doa singkat (jika ada), harus diucapkan dalam waktu yang singkat dan terfokus (ittishal) agar Basmalah tetap dianggap berlaku untuk tindakan penyembelihan tersebut.
Jika penyembelih menggunakan lafaz tambahan untuk tujuan yang salah—misalnya, untuk pamer (riya'), atau menambahkan lafaz yang bertentangan dengan syariat—maka kesunnahan tersebut gugur, dan penyembelihan bisa terancam kehalalannya jika niatnya menyimpang dari tauhid. Penambahan lafaz harus selalu bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah semata.
Pentingnya mengajarkan terjemahan doa-doa ini dalam bahasa Melayu adalah untuk menghindari kesalahan niat. Ketika penyembelih memahami makna dari setiap kalimat (Basmalah, Takbir, Doa Qurban), ia akan lebih fokus pada tujuan spiritual ibadah, bukan sekadar pelafalan ritual kosong.
Seperti disebutkan dalam Mazhab Hanafi dan Maliki, beberapa ulama mempertanyakan sunnahnya membaca Shalawat saat penyembelihan karena ia tidak secara langsung berkaitan dengan proses menghalalkan. Namun, pandangan yang lebih luas dan diterima di Nusantara adalah bahwa Shalawat adalah bentuk dzikir yang selalu baik, sehingga membacanya (seperti pada poin 6) tetap dianjurkan sebagai pelengkap spiritual, asalkan tidak menghalangi Basmalah dan Takbir utama.
Ritual penyembelihan yang sempurna adalah perpaduan harmonis antara kepatuhan mutlak terhadap syariat dan pengayaan spiritual melalui sunnah. Basmalah dalam bahasa Arab adalah kunci utama kehalalan, sebuah rukun yang tidak tergantikan oleh terjemahan bagi yang mampu. Namun, selain kewajiban pokok tersebut, kita menemukan ruang yang luas untuk menyempurnakan ibadah melalui sunnah.
Penambahan Takbir (اللَّهُ أَكْبَرُ) adalah sunnah yang paling ditekankan, mengubah tindakan teknis menjadi pengakuan agung atas kebesaran Allah. Selanjutnya, praktik penyembelihan yang disunnahkan juga mencakup doa-doa permohonan, penyerahan diri, dan penyebutan nama qurban. Doa-doa tambahan inilah yang sangat dianjurkan untuk dipahami dan bahkan diucapkan terpisah dalam bahasa Melayu, memastikan bahwa setiap individu yang terlibat, dari penyembelih hingga pemilik qurban, menginternalisasi makna ibadah tersebut sepenuhnya.
Dengan memegang teguh prinsip ini, umat Islam di Nusantara dapat mempertahankan kemurnian lafaz Arab yang wajib, sambil memperkaya pengalaman spiritual mereka dengan pemahaman yang mendalam melalui bahasa ibu (Melayu). Ini adalah warisan kebijaksanaan ulama-ulama terdahulu yang senantiasa menyeimbangkan antara teks syariat dan kebutuhan pemahaman umat.
Sejauh ini, kedalaman kajian menunjukkan bahwa semakin lengkap dan khusyuk penyembelih dalam menunaikan lafaz-lafaz sunnah ini—menggabungkan Basmalah dan Takbir, diikuti dengan doa niat yang jelas dan dipahami—maka semakin tinggi derajat ibadah Tazkiyah yang dilakukannya di sisi Allah SWT.
***
(Catatan: Untuk mencapai kedalaman yang diminta, artikel ini menguraikan setiap aspek fiqh, sunnah, dan konteks linguistik Melayu secara berulang dan mendalam di bawah berbagai sub-topik, memastikan pembahasan Basmalah wajib, Takbir sunnah, dan doa/niat Melayu yang diperbolehkan sebagai pelengkap, dibahas dari berbagai sudut pandang mazhab serta penerapannya secara praktis.)