Memahami Hukum dan Hikmah Wajib Aqiqah

Simbol Syukur dan Kelahiran

Pengantar Aqiqah dalam Islam

Kelahiran seorang anak adalah anugerah tak ternilai dari Allah SWT bagi setiap pasangan. Dalam ajaran Islam, rasa syukur atas karunia ini diwujudkan melalui berbagai amalan, salah satunya adalah melaksanakan ibadah aqiqah. Pertanyaan mendasar yang sering muncul di benak orang tua adalah mengenai status hukumnya: apakah aqiqah itu sunnah muakkad (sunnah yang sangat dianjurkan) ataukah ia termasuk kategori wajib aqiqah?

Secara umum, mayoritas ulama, termasuk empat mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali), sepakat bahwa aqiqah hukumnya adalah sunnah muakkad. Namun, ada beberapa pandangan yang mengategorikannya mendekati wajib atau bahkan wajib jika merujuk pada beberapa hadis tertentu. Memahami kedudukan ini penting agar orang tua dapat melaksanakannya dengan penuh kesadaran akan nilai ibadah di dalamnya.

Dasar Hukum dan Perbedaan Pandangan

Aqiqah secara etimologi berarti memotong atau mencukur rambut bayi yang baru lahir. Secara istilah syar'i, aqiqah adalah penyembelihan hewan ternak sebagai tanda syukur atas kelahiran anak. Dasar utama pelaksanaan aqiqah bersumber dari hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.

Salah satu hadis yang sering dijadikan landasan adalah sabda Rasulullah SAW: "Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelih atas namanya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah).

Meskipun banyak yang menyebutnya sunnah, frasa "tergadai" dalam beberapa riwayat menimbulkan penafsiran bahwa ada konsekuensi jika amalan ini ditinggalkan. Bagi sebagian ulama, jika suatu amalan disebut dapat "menggadaikan" sesuatu (dalam konteks ini adalah hak anak atas orang tuanya), maka pelaksanaannya menjadi sangat ditekankan, mendekati tingkat kewajiban jika kondisi finansial mencukupi.

Apabila seseorang mampu secara finansial namun sengaja meninggalkannya tanpa alasan syar'i, maka ia telah menyia-nyiakan kesempatan besar untuk melaksanakan sunnah Nabi dan menunjukkan rasa syukur terbaiknya.

Tata Cara Pelaksanaan Wajib Aqiqah (Menurut Pandangan Mayoritas Sunnah)

Pelaksanaan aqiqah memiliki tata cara yang spesifik, meskipun terdapat sedikit variasi dalam detailnya. Berikut adalah poin-poin utama yang harus diperhatikan:

  1. Waktu Pelaksanaan: Idealnya dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Namun, jika tidak memungkinkan, ia tetap dapat dilaksanakan pada hari ke-14 atau ke-21.
  2. Jumlah Hewan: Untuk anak laki-laki, disunnahkan menyembelih dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan disunnahkan satu ekor kambing. Ini didasarkan pada hadis Ummu Kurz Al Ka’biyyah.
  3. Jenis Hewan: Hewan yang disembelih harus memenuhi syarat hewan kurban, yaitu cukup umur dan bebas dari cacat fisik yang signifikan.
  4. Prosesi: Setelah hewan disembelih sesuai syariat Islam (dengan menyebut nama Allah), dagingnya dimasak dan dibagikan. Tidak disarankan membagi daging mentah, karena inti dari aqiqah adalah berbagi makanan kepada sesama sebagai wujud syukur.

Hikmah di Balik Aqiqah

Lebih dari sekadar ritual formal, aqiqah menyimpan hikmah yang mendalam. Pertama, ia adalah wujud syukur otentik kepada Allah atas kelahiran titipan terindah-Nya. Kedua, aqiqah berfungsi sebagai penebus ‘tebusan’ bagi keselamatan bayi dari berbagai gangguan atau musibah, sesuai dengan makna bayi yang "tergadai".

Ketiga, pelaksanaan aqiqah melibatkan komunitas. Daging yang dibagikan adalah sarana mempererat tali silaturahmi dengan tetangga, fakir miskin, dan kerabat. Ini menjadikan momen kelahiran bukan hanya perayaan internal keluarga, tetapi juga momen berbagi kebahagiaan secara sosial.

Bagi orang tua yang merasa terbebani dengan istilah wajib aqiqah, penting untuk diingat bahwa niat utama adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui amal shaleh. Jika kondisi ekonomi memungkinkan, melaksanakan aqiqah sesuai sunnah adalah cara terbaik untuk mengawali kehidupan seorang Muslim dengan penuh keberkahan dan doa dari orang-orang yang menerima hidangan tersebut.

Kesimpulannya, meskipun status hukumnya mayoritas ulama adalah sunnah muakkad, urgensinya sangat tinggi. Meninggalkan aqiqah tanpa uzur syar'i dianggap sebagai kehilangan kesempatan emas dalam menyambut amanah baru dari Tuhan.

🏠 Homepage