Aqidah Aswaja An Nahdliyah: Pilar Keislaman Moderat

Simbol Kesatuan dan Keseimbangan Iman A W

Pengantar Aqidah Aswaja

Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah landasan keyakinan yang dipegang teguh oleh umat Islam, khususnya yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU). Secara harfiah, Aswaja berarti "jalan dan golongan mayoritas." Dalam konteks teologi Islam, ia merujuk pada paradigma keyakinan yang mengikuti manhaj (metode) Rasulullah SAW dan para sahabat, serta para ulama salaf yang diakui kealimannya, seperti Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi dalam bidang kalam (teologi), serta Imam Abu Ja'far ath-Thahawi dalam bidang fikih teologis.

Aqidah Aswaja An Nahdliyah secara spesifik mengkristalkan pemahaman ini ke dalam bingkai tradisi keilmuan pesantren Nusantara. Ini adalah benteng pertahanan terhadap ekstremisme, baik dalam bentuk takhayul (berlebihan dalam ritual) maupun tafsir literal yang kaku. Inti dari manhaj ini adalah menjaga keseimbangan (tawazun), moderasi (wasatiyyah), dan tidak mengambil sikap yang ghuluw (melampaui batas) dalam memahami teks-teks agama.

Tiga Pilar Utama Aswaja

Aqidah yang dianut Nahdlatul Ulama dapat diringkas dalam tiga pilar utama yang saling menguatkan, yang menjadi ciri khas pemahaman keagamaan yang toleran dan inklusif.

1. Pengambilan Sumber Hukum (Manhaj)

Aswaja tidak hanya mengacu pada Al-Qur'an dan Hadis secara tekstual semata, tetapi juga secara metodologis mengakui otoritas Ijma' (kesepakatan ulama) dan Qiyas (analogi). Lebih jauh lagi, dalam konteks yang lebih luas, Aswaja menerima penetapan hukum dan panduan moral dari tradisi keilmuan yang mapan (Al-Urf as-Shahih) dan pandangan ulama mu'tabar (terpercaya). Ini menunjukkan kedalaman dan fleksibilitas dalam penerapan syariat agar relevan dengan konteks sosial tanpa merusak dasar-dasar pokok.

2. Aspek Teologi (Kalam)

Dalam pembahasan sifat-sifat Allah (Asma wa Sifat), Aswaja mengikuti madzhab Asy'ariyah atau Maturidiyah. Prinsip utamanya adalah Tafwid (menyerahkan makna hakiki sifat kepada Allah) tanpa melakukan Ta'thil (menolak keberadaan sifat) atau Tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan makhluk). Misalnya, ketika Al-Qur'an menyebut "tangan Allah," Ahlussunnah meyakini kebenarannya tanpa mencoba mengkonkretkan wujudnya, sebab hakikatnya hanyalah diketahui oleh Allah SWT. Hal ini menghindari perdebatan metafisik yang tak berujung.

3. Aspek Tasawuf (Spiritualitas)

Aqidah Aswaja juga mengintegrasikan dimensi tasawuf (akhlak) yang membimbing praktik spiritual. Tasawuf yang dimaksud di sini adalah tasawuf yang berlandaskan syariat, bukan tasawuf yang menyimpang (tasawuf palsu). Ini menekankan pentingnya pembersihan hati (tazkiyatun nufus) dari akhlak tercela dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji, seperti ikhlas, tawakkal, dan mahabbah (cinta) kepada Allah dan Rasul-Nya. Tasawuf ini berfungsi untuk menyeimbangkan rasionalitas teologi dengan kebutuhan spiritual manusia.

Moderasi Sebagai Ciri Khas

Kata kunci utama dalam pemahaman Aswaja An Nahdliyah adalah wasatiyyah atau moderasi. Ini terlihat jelas dalam penolakan NU terhadap dua kutub ekstrem:

  1. Ekstremitas Rasionalisme Kaku (Ahlul Bid'ah): Sikap yang terlalu mengedepankan akal hingga menolak hal-hal gaib atau tradisi yang sudah mapan tanpa dasar yang jelas.
  2. Ekstremitas Tekstualisme Buta (Kaum Literal): Sikap yang kaku dalam menafsirkan teks tanpa mempertimbangkan konteks historis, tujuan syariat (maqasid syariah), dan pandangan ulama terdahulu, seringkali berujung pada sikap intoleran.

Dengan menempuh jalan tengah ini, Aqidah Aswaja An Nahdliyah mampu melahirkan umat yang kokoh imannya, terbuka wawasannya, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Ia adalah warisan intelektual yang memastikan bahwa ajaran Islam dapat diamalkan secara autentik, damai, dan berkesinambungan di tengah dinamika zaman. Pemahaman ini menjadi fondasi penting bagi keberlanjutan Islam yang rahmatan lil 'alamin di Indonesia.

🏠 Homepage