Representasi visual fokus pada pengetahuan dan ijtihad dalam aqidah.
Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradawi merupakan salah satu pemikir Islam kontemporer paling berpengaruh di abad ke-20 dan awal abad ke-21. Pemikirannya yang luas mencakup berbagai disiplin ilmu, namun fondasi utama dari seluruh diskursusnya terletak pada **aqidah** (teologi atau keyakinan Islam). Aqidah versi al-Qaradawi bukanlah sekadar seperangkat dogma yang kaku, melainkan sebuah sistem keyakinan yang hidup, dinamis, dan memiliki implikasi praktis yang mendalam terhadap kehidupan individu maupun masyarakat.
Bagi al-Qaradawi, aqidah tidak boleh dipisahkan dari realitas sosial, ekonomi, dan politik umat. Ia menolak pandangan yang membatasi iman hanya pada dimensi spiritual internal semata. Sebaliknya, aqidah harus berfungsi sebagai mesin penggerak (motor) yang mendorong seorang Muslim untuk berjuang menegakkan keadilan ('adl) dan mencegah kemungkaran (munkar) di muka bumi. Inilah yang sering disebut sebagai dimensi aksiologis atau aksiologi aqidah.
Aqidah yang benar, menurut pemikir asal Mesir ini, berakar kuat pada sumber-sumber otentik: Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah ﷺ. Ia menekankan pentingnya pemahaman yang wasatiyah (moderat) dan menjauhi ekstremitas, baik dari golongan yang terlalu textualis (literalistik kaku) maupun golongan yang terlalu rasionalis hingga mengabaikan teks. Pemahaman ini mengarah pada penolakan terhadap segala bentuk taklid buta (taqlid) dan mendorong umat untuk kembali pada proses ijtihad yang bertanggung jawab.
Salah satu ciri khas aqidah yang diusung al-Qaradawi adalah penekanannya pada konsep wasathiyyah. Wasathiyyah ini bukan berarti kompromi terhadap prinsip dasar keimanan, melainkan sebuah metode dalam berinteraksi dengan realitas. Dalam konteks keyakinan, ini berarti meyakini tauhid secara murni tanpa sirik, tetapi juga memahami bahwa Allah memberikan keluasan (rukhsah) dalam batasan-batasan syariat.
Al-Qaradawi seringkali mengkritik kelompok-kelompok yang menerapkan hukum agama secara kaku tanpa mempertimbangkan tujuan (maqasid) syariat. Misalnya, dalam masalah penetapan hukum kafir (takfir), ia sangat berhati-hati. Baginya, mengeluarkan seorang Muslim dari lingkaran Islam membutuhkan bukti yang sangat kuat dan penetapan dari otoritas keilmuan yang kompeten, bukan sekadar perbedaan pandangan fiqih atau politik. Aqidah yang sehat melahirkan sikap toleran terhadap perbedaan metodologis antar mazhab selama semuanya berpegang pada dasar yang sahih.
Aqidah Yusuf al-Qaradawi sangat erat kaitannya dengan pemikiran tajdid (pembaharuan). Ia meyakini bahwa kemandekan umat sering kali berasal dari stagnasi intelektual dalam merespons tantangan zaman. Jika aqidah adalah pemahaman tentang realitas ilahi, maka manifestasinya di dunia adalah upaya manusia untuk merealisasikan kehendak ilahi tersebut. Ini membutuhkan ijtihad.
Ijtihad yang dimaksud di sini adalah upaya rasional dan tekstual untuk menemukan solusi atas permasalahan kontemporer—mulai dari ekonomi syariah, tantangan sains modern, hingga isu-isu sosial—dengan mengacu pada kerangka aqidah Islam yang kokoh. Tanpa aqidah yang matang, ijtihad akan mudah terombang-ambing oleh ideologi atau kepentingan duniawi. Sebaliknya, aqidah yang kuat memberikan jangkar moral dan epistemologis bagi seorang mujtahid.
Kontribusi terbesar al-Qaradawi mungkin terletak pada upayanya menyambungkan aqidah dengan isu-isu praktis masyarakat Muslim. Ia menekankan bahwa keimanan yang sejati harus termanifestasi dalam kepedulian terhadap maslahah umum (kepentingan publik). Keseimbangan antara individu dan kolektif, antara dunia dan akhirat, harus dijaga melalui lensa aqidah.
Oleh karena itu, pembahasan tentang hak asasi manusia, peran wanita dalam masyarakat, kebebasan berpendapat, hingga konsep negara sipil dalam pandangan al-Qaradawi, semuanya dibingkai di bawah premis-premis teologis yang ia yakini sebagai inti dari ajaran Islam. Aqidah, bagi al-Qaradawi, adalah fondasi yang memvalidasi setiap gerakan reformasi sosial dan politik umat. Dengan demikian, pemikiran beliau menawarkan sebuah model aqidah yang progresif namun tetap berakar pada tradisi keilmuan Islam yang teruji.