Ilustrasi Simbolis Persetujuan
Dalam konteks hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan pernikahan (akad nikah), dua istilah kunci yang wajib dipahami adalah Ijab dan Qobul. Kedua kata ini berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti penawaran dan penerimaan, namun dalam terminologi fiqih, keduanya memiliki bobot yang sangat sakral karena menjadi poros sah atau tidaknya suatu perjanjian, terutama perjanjian suci pernikahan.
Memahami lafaz yang digunakan dalam proses ini sangat krusial, sebab kesepakatan yang terucap harus jelas, tidak ambigu, dan menggunakan redaksi yang diakui oleh syariat. Kesalahan dalam pengucapan atau pemahaman dapat membatalkan seluruh rangkaian prosesi.
Ijab (الإيجاب) secara bahasa berarti 'mewajibkan' atau 'menetapkan'. Dalam konteks akad, Ijab adalah ungkapan penawaran atau pernyataan kesediaan dari salah satu pihak untuk mengikatkan diri pada suatu transaksi atau perjanjian. Dalam akad nikah, Ijab biasanya diucapkan oleh pihak wali mempelai wanita (atau yang mewakilinya) kepada calon suami.
Tujuan dari Ijab adalah membuka pintu kesepakatan. Kalimat yang diucapkan harus jelas menunjukkan kehendak untuk menyerahkan atau menawarkan sesuatu yang menjadi objek akad. Kejelasan ini adalah fondasi agar pihak kedua (yang menerima Ijab) dapat memberikan tanggapan yang pasti.
Qobul (القبول) adalah kebalikan dari Ijab, yang berarti 'penerimaan' atau 'persetujuan'. Setelah Ijab diucapkan, Qobul adalah jawaban tegas dari pihak yang dituju, yang menyatakan bahwa ia menerima penawaran yang diajukan.
Dalam pernikahan, Qobul adalah momen penentuan. Pihak laki-laki harus segera menanggapi Ijab yang disampaikan wali wanita dengan lafaz yang menunjukkan penerimaan penuh tanpa syarat atau penundaan yang berlebihan. Momentum antara Ijab dan Qobul harus terjadi secara berurutan dan berdekatan (muttashil) agar akad dianggap sah.
Meskipun para ulama berbeda pandangan mengenai lafaz spesifik yang wajib digunakan, mayoritas ulama bersepakat bahwa lafaz yang paling afdhol (utama) dan paling aman adalah yang menggunakan kata-kata yang jelas menunjukkan makna Ijab dan Qobul, yaitu dalam Bahasa Arab.
Wali nikah biasanya menggunakan kata kerja yang berarti 'menikahkan' atau 'menyerahkan':
(Zauwajtuka fulanata bintī)
Artinya: "Aku nikahkan engkau dengan Fulanah putriku."
Mempelai pria merespon dengan kata kerja yang berarti 'menerima nikah' atau 'mengambil diri':
(Qabiltu nikāḥahā)
Artinya: "Aku terima nikahnya."
Penggunaan lafaz lain yang memiliki makna setara juga diperbolehkan, asalkan kemurnian maknanya tetap terjaga. Dalam mazhab Syafi'i, penggunaan kata "Hadza tu'tika" (ini ku berikan kepadamu) untuk Ijab dan "Qabiltu" (aku terima) untuk Qobul juga sah.
Contoh alternatif Ijab dari wali:
(Bāraktu laka ‘alā ibnatī)
Artinya: "Aku berikan berkah kepadamu atas putriku." (Disambut Qobul seperti di atas).
Inti dari semua redaksi adalah kepastian hukum. Bahasa Arab dipilih karena ia adalah bahasa Al-Qur'an dan tradisi Rasulullah SAW, memberikan kekhususan dan kekhidmatan pada akad tersebut. Bahkan di banyak negara Muslim, meskipun bahasa lokal digunakan dalam pidato dan resepsi, lafaz Ijab dan Qobul tetap diwajibkan dalam Bahasa Arab untuk menjaga keabsahan syar'i.
Selain lafaz yang tepat, terpenuhinya beberapa syarat juga menentukan sahnya Ijab dan Qobul:
Singkatnya, Ijab dan Qobul adalah dua poros utama yang mengikat janji suci pernikahan. Penguasaan dan pemahaman terhadap lafaz Arabnya adalah langkah awal menuju pernikahan yang diridhoi Allah SWT.