Aqidah, atau keyakinan fundamental dalam Islam, adalah pilar utama yang menopang seluruh bangunan iman seorang Muslim. Meskipun dasar-dasar aqidah (seperti keesaan Allah, kenabian, hari akhir) tampak jelas dari Al-Qur'an dan Sunnah, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia, muncul berbagai pertanyaan mendalam yang seringkali menantang pemahaman konvensional. Pertanyaan-pertanyaan ini, meskipun sulit, sejatinya merupakan proses alami dalam memperkuat keyakinan melalui perenungan (tadabbur).
Menghadapi keraguan intelektual bukanlah tanda kelemahan iman, melainkan kesempatan untuk menggali lebih dalam sumber-sumber otentik Islam. Artikel ini akan menyajikan beberapa area di mana pertanyaan sulit mengenai aqidah sering muncul, mengajak pembaca untuk merenungkan kompleksitas konsep-konsep tauhid dan metafisika.
Salah satu area paling rumit adalah pemahaman tentang Sifatullah (Asmaul Husna). Ketika kita membahas sifat-sifat Allah yang tidak terbatas (seperti Kalam, Iradah, atau Wujud), akal manusia yang terikat oleh ruang dan waktu seringkali kesulitan memahaminya secara total. Pertanyaan klasik yang muncul adalah: "Jika Allah itu Maha Ada (Al-Wujud), bagaimana kita bisa mendefinisikan 'Ada' tanpa membandingkannya dengan keberadaan makhluk?"
Para ulama terdahulu mengajarkan kaidah fundamental: Tafwid (menyerahkan hakikat tanpa menafikan makna) dan Ta'wil (interpretasi kontekstual) harus digunakan dengan hati-hati. Kesulitan di sini adalah bagaimana mempertahankan keyakinan terhadap kesempurnaan Allah tanpa jatuh ke dalam antropomorfisme (menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk) atau penolakan mutlak (ta'thil). Aqidah yang kokoh mengajarkan bahwa pemahaman sempurna hanya milik Allah, dan tugas kita adalah mengimani tanpa bertanya 'bagaimana' secara dangkal.
Konsep takdir sering memicu dilema filosofis. Jika Allah telah menetapkan segala sesuatu yang akan terjadi (Qada dan Qadar), lalu di mana letak tanggung jawab manusia atas perbuatannya? Mengapa Allah memerintahkan amal baik jika hasilnya sudah ditentukan? Ini adalah pertanyaan yang sangat menguji keseimbangan dalam aqidah.
Jawaban aqidah yang diterima adalah adanya dua tingkatan kehendak: Kehendak Mutlak (Irada Kauniyyah) Allah yang meliputi segala sesuatu terjadi sesuai ilmu-Nya, dan Kehendak Syar'iyyah (Irada Syar'iyyah) Allah yang memerintahkan kebaikan. Allah memberikan 'Ikhtiyar' (kebebasan memilih yang terbatas) kepada manusia, dan manusia bertanggung jawab penuh atas pilihan ikhtiyari tersebut. Kesulitan muncul ketika kita mencoba mendamaikan ilmu Allah yang maha tahu dengan kebebasan yang Dia anugerahkan. Pemahaman yang benar menekankan bahwa ilmu Allah tidak memaksa; ilmu-Nya hanya mencakup apa yang akan kita pilih.
Filsafat alam sering berbenturan dengan aqidah, khususnya mengenai permulaan segala sesuatu. Meskipun Islam mengajarkan bahwa Allah adalah Al-Awwal (Yang Pertama) tanpa permulaan, sains modern terus mencari titik awal alam semesta (Big Bang). Pertanyaan kritisnya adalah: "Apa yang ada sebelum Allah menciptakan sesuatu?"
Jawaban teologisnya tegas: Konsep 'sebelum' adalah kategori waktu, dan waktu diciptakan oleh Allah. Bertanya tentang apa yang ada sebelum Allah adalah menerapkan kerangka waktu ciptaan pada Sang Pencipta waktu itu sendiri. Namun, secara intuitif, pikiran manusia terus mencari batas, dan menemukan bahwa Allah adalah Dzat yang melampaui batas ruang dan waktu adalah tantangan intelektual yang besar.
Mengapa orang baik menderita, sementara orang yang tampak jahat hidup makmur? Ini adalah pertanyaan yang menyentuh dimensi emosional dan spiritual. Aqidah mengajarkan bahwa dunia adalah tempat ujian (Darul Ikhtibar), dan penderitaan bisa menjadi sarana penghapus dosa atau peningkatan derajat.
Menghadapi pertanyaan ini memerlukan pemahaman aqidah bahwa keadilan Allah tidak selalu terwujud dalam skala waktu kehidupan duniawi. Seringkali, hikmah di balik peristiwa tersebut baru terungkap di Hari Pembalasan. Kesabaran (shabr) adalah respons iman yang paling kuat ketika akal gagal sepenuhnya memahami rentetan peristiwa yang tampak absurd di mata manusia.
Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan sulit tentang aqidah mendorong seorang mukmin untuk terus mencari ilmu, berpegang teguh pada metodologi pemahaman yang sahih dari ulama yang mumpuni, serta menumbuhkan kerendahan hati bahwa keterbatasan akal adalah bagian dari kondisi eksistensi manusia di hadapan Dzat yang Maha Luas Ilmu-Nya.