Aqiqah adalah salah satu syariat Islam yang sarat makna, dilaksanakan sebagai bentuk syukur atas kelahiran seorang anak. Dalam kajian keislaman kontemporer, pandangan ulama besar seringkali menjadi rujukan utama umat. Salah satu tokoh yang sangat dihormati karena kedalaman ilmunya adalah Ustadz Adi Hidayat (UAH).
Ketika membahas mengenai **aqiqah menurut Adi Hidayat**, fokus utama seringkali tertuju pada pemahaman mendalam beliau mengenai dalil-dalil sahih, tujuan filosofis di balik ibadah ini, serta bagaimana pelaksanaannya harus selaras dengan tuntunan Rasulullah SAW.
Dasar Hukum dan Keutamaan Aqiqah
Ustadz Adi Hidayat menekankan bahwa aqiqah bukanlah sekadar tradisi, melainkan sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) berdasarkan hadis-hadis shahih. Beliau sering mengutip hadis yang menyebutkan bahwa aqiqah adalah penebus dari kegembiraan yang Allah berikan melalui kelahiran seorang hamba.
Menurut penjelasan UAH, pelaksanaan aqiqah mengandung dua aspek penting: penyembelihan hewan kurban sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah, dan pembagian dagingnya sebagai wujud kasih sayang kepada sesama. Beliau menekankan pentingnya pemahaman bahwa aqiqah berfungsi sebagai ‘tebusan’ spiritual bagi bayi yang baru lahir, memohon perlindungan dan keberkahan dari Allah SWT.
Secara spesifik, jumlah hewan yang disembelih menjadi poin penting yang sering disoroti. Mayoritas ulama menganjurkan dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan, sebagaimana panduan yang diperkuat dalam banyak riwayat. UAH cenderung berpegang pada panduan ini karena kesesuaiannya dengan praktik Nabi Muhammad SAW.
Ketentuan Hewan dan Pembagiannya
Dalam kajian mengenai **aqiqah menurut Adi Hidayat**, pembagian daging memegang peranan krusial. UAH seringkali membedakan antara pembagian daging kurban Idul Adha dan aqiqah. Meskipun ada ruang fleksibilitas, beliau menyarankan agar daging hasil aqiqah dibagi menjadi tiga bagian:
- Sepertiga untuk keluarga yang berhak (yang akan memakannya).
- Sepertiga untuk dihadiahkan (kepada tetangga atau kerabat yang tidak datang).
- Sepertiga untuk disedekahkan (kepada fakir miskin).
Persyaratan usia dan kondisi hewan aqiqah juga tidak luput dari penekanannya. Hewan harus memenuhi syarat sahnya hewan kurban (bebas dari cacat dan sudah mencapai usia yang disyaratkan), menunjukkan bahwa ritual ini harus dilakukan dengan standar kualitas ibadah yang tinggi.
Waktu Pelaksanaan yang Ideal
Kapan waktu terbaik melaksanakan aqiqah? Ustadz Adi Hidayat sering merujuk pada tradisi yang berkembang di masa sahabat. Waktu yang paling dianjurkan untuk melaksanakan aqiqah adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran anak. Hari ketujuh ini dianggap hari yang penuh keberkahan untuk memulai rangkaian ibadah syukur ini.
Jika karena alasan tertentu (misalnya kondisi ekonomi atau logistik) pelaksanaan di hari ketujuh tidak memungkinkan, UAH menjelaskan bahwa pelaksanaannya dapat diundur hingga hari keempat belas atau hari kedua puluh satu. Intinya adalah menunjukkan upaya maksimal dalam menunaikan sunnah ini segera setelah kondisi memungkinkan.
Hikmah di Balik Aqiqah
Mengapa aqiqah tetap relevan di zaman modern? Menurut kajian yang sering disampaikan UAH, ibadah ini memiliki hikmah sosial yang mendalam. Pertama, ia mengajarkan orang tua tentang tanggung jawab mereka dalam merawat titipan Allah. Kedua, ia mempererat tali silaturahmi dan ukhuwah Islamiyah melalui berbagi rezeki.
Ustadz Adi Hidayat juga menyoroti aspek pendidikan spiritual. Dengan melibatkan anak dalam acara aqiqah (meski ia masih bayi), orang tua secara simbolis memperkenalkan konsep syukur dan berbagi kepada lingkungannya sejak dini. Ini adalah langkah awal menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada generasi penerus.
Kesimpulannya, **aqiqah menurut Adi Hidayat** adalah ritual yang harus dipahami secara komprehensif, mencakup kepatuhan terhadap dalil, niat yang ikhlas, serta implementasi yang benar dalam pembagiannya. Ini adalah sarana validasi syukur seorang Muslim atas anugerah terindah berupa keturunan.