Memahami Aqidah Ibnu Hajar Al Asqalani

Visualisasi pengetahuan dan kesatuan ilmu

Pengantar Tokoh Utama

Syaikhul Islam, Al-Hafizh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, adalah salah satu ulama besar Sunni yang paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Dikenal luas karena karyanya yang monumental dalam ilmu hadis, terutama syarahnya atas Shahih Al-Bukhari, Fathul Bari, warisan intelektualnya mencakup berbagai disiplin ilmu, termasuk pembahasan mendalam mengenai akidah atau teologi Islam.

Mempelajari aqidah Ibnu Hajar Al Asqalani berarti menyelami pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah dan Maturidiyah) yang matang, yang didasarkan pada penelusuran ketat terhadap dalil-dalil naqli (Al-Qur'an dan Sunnah) serta didukung oleh penalaran ('aql) yang seimbang.

Dasar-Dasar Akidah Beliau

Dalam penetapan akidah, Ibnu Hajar secara konsisten mengikuti manhaj Salaf (generasi awal Islam) dengan pemahaman para fuqaha dan muhadditsin terkemuka. Prinsip utama yang dipegang teguh adalah: menerima nash (teks agama) sebagaimana datangnya, tanpa takwil yang menyimpang (ta'thil), tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), atau takyif (mempertanyakan 'bagaimana' sifat-sifat Allah).

Beliau teguh dalam mengafirmasi sifat-sifat Allah (Itsbat) yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, seperti sifat yaddullah (tangan Allah), wajhullah (wajah Allah), dan istiwa' (bersemayam di atas Arsy). Mengenai aspek-aspek yang dianggap sensitif ini, Ibnu Hajar cenderung mengambil sikap tafwidh (menyerahkan makna hakikinya kepada Allah) sambil menafikan penyerupaan (Tafwidh al-Kaif), sebuah pendekatan yang lazim dalam mazhab Asy'ariyah.

Sikap Terhadap Kalam dan Filsafat

Salah satu ciri menonjol dari aqidah Ibnu Hajar Al Asqalani adalah sikap kehati-hatiannya terhadap ilmu Kalam (teologi rasionalistik) yang terlalu mendalam. Meskipun beliau hidup di masa ketika perdebatan kalam sangat intens, Ibnu Hajar, sebagai seorang muhaddits yang mendalam, lebih mengutamakan pemahaman yang didasarkan pada tradisi dan riwayat sahih.

Beliau tidak membangun akidahnya di atas spekulasi filosofis. Sebaliknya, beliau menggunakan 'aql (akal) sebagai alat untuk memahami dan mempertahankan dalil, bukan sebagai fondasi utama penetapan keyakinan. Pandangan ini menunjukkan kecenderungannya yang kuat kepada manhaj Ahlul Hadits dalam teologi.

Isu Khusus: Al-Qadar (Ketentuan Ilahi)

Dalam pembahasan takdir (qadar), Ibnu Hajar memegang teguh doktrin bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak dan pengetahuan Allah (Ilmu dan Iradah Allah). Ini sejalan dengan keyakinan Ahlus Sunnah bahwa manusia memiliki kehendak bebas (ikhtiyar) yang merupakan ciptaan Allah, namun perbuatan manusia tetap berada dalam kerangka qada dan qadar-Nya. Pembahasan ini sangat penting mengingat kontroversi seputar Qadariyah dan Jabariyah di masanya.

Kesimpulan Manhaj Akidah

Secara ringkas, aqidah Ibnu Hajar Al Asqalani merefleksikan sintesis antara kedalaman ilmu hadis dengan kematangan teologi Sunni klasik. Beliau adalah representasi ulama yang menjunjung tinggi teks suci, berhati-hati dalam interpretasi sifat-sifat Allah, dan memandang bahwa keselamatan akidah terletak pada mengikuti jejak para sahabat dan tabi'in. Pandangannya menjadi rujukan utama bagi banyak kalangan yang ingin memahami Islam berbasis tradisi yang kuat dan teruji.

🏠 Homepage