Aqidah Salafi, sering kali diasosiasikan dengan nama "Wahabi" (berasal dari Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab), merujuk pada manhaj (metodologi) beragama yang mengklaim kembali kepada pemahaman para sahabat Nabi Muhammad SAW, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in—generasi awal umat Islam yang dikenal sebagai Salafush Shalih. Dalam konteks teologis, fokus utama dari gerakan ini adalah pemurnian tauhid (keesaan Allah) dari segala bentuk kesyirikan (polytheisme) dan bid'ah (inovasi dalam agama).
Inti dari ajaran Salafi adalah kembali kepada dua sumber utama syariat Islam: Al-Qur'an dan As-Sunnah (hadis-hadis sahih), dengan pemahaman yang sesuai dengan apa yang dipraktikkan oleh Salafush Shalih. Hal ini berarti penolakan tegas terhadap taklid buta (mengikuti tanpa dalil) dan penolakan terhadap berbagai penafsiran filosofis atau rasionalistik yang dianggap menyimpang dari makna tekstual yang jelas.
Aspek yang paling menonjol dalam pembahasan aqidah Salafi adalah penekanan pada Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma wa Sifat. Dalam hal Asma wa Sifat, mereka berpegang pada prinsip itsbat (penetapan) nama dan sifat Allah sebagaimana yang disebutkan dalam nash (teks Al-Qur'an dan Sunnah) tanpa melakukan ta'thil (penolakan sifat), tamtsil (menyerupakan dengan makhluk), atau takyif (mempertanyakan bagaimana sifat itu ada).
Gerakan ini sangat vokal dalam memerangi apa yang mereka anggap sebagai kesyirikan yang merayap masuk ke dalam praktik umat Islam setelah era kenabian. Ini mencakup penolakan terhadap praktik yang berkaitan dengan kuburan, seperti menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, meminta syafaat secara langsung kepada mayit, atau membangun kubah megah di atas makam. Semua tindakan ini dianggap sebagai jalan menuju syirik akbar yang telah diperingatkan oleh Nabi.
Selain syirik, bid'ah juga menjadi sasaran kritik utama. Bid'ah dipahami sebagai setiap amalan yang diklaim sebagai bagian dari agama namun tidak memiliki landasan sahih dari Al-Qur'an atau Sunnah. Oleh karena itu, berbagai tradisi lokal atau ritual yang tidak ditemukan contohnya pada masa Salafush Shalih cenderung ditolak keberadaannya dalam ranah ibadah.
Metodologi dakwah Salafi sangat menekankan pada ilmu (pengetahuan) dan mengutamakan ulama yang diakui integritas keilmuannya. Dalam memahami teks agama, mereka cenderung tekstualis, menghindari interpretasi alegoris yang dianggap terlalu bebas. Hal ini memberikan ciri khas pada diskusi teologis mereka yang cenderung terfokus dan mendalam pada sumber-sumber primer.
Aqidah Salafi mengajarkan pentingnya ketaatan pada pemimpin Muslim (selama mereka tidak memerintahkan maksiat) dan menjaga persatuan umat berdasarkan kesepakatan pada prinsip-prinsip dasar tauhid. Konsistensi dalam menjaga kemurnian aqidah ini, menurut penganutnya, adalah kunci keselamatan di akhirat. Dalam praktiknya, ini menuntut pemahaman yang mendalam dan komitmen yang kuat terhadap ajaran yang mereka yakini bersumber langsung dari Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Pemahaman mendalam terhadap aqidah ini penting agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai tujuan utama gerakan ini, yaitu mengembalikan umat Islam kepada pemahaman awal yang murni dan terbebas dari pengaruh pemikiran yang datang belakangan. Inilah yang menjadi landasan utama mereka dalam beragama dan berinteraksi dengan isu-isu kekinian.